Puisi penyemangat Iris yang sedang berkuliah di kota asing.
Pelipur Lara Orang Tua
Kenyataan itu pahit
Aku menjadi si Karyamin
Yang miskin itu. Ku pikir
Aku tidak. Ternyata sama saja.
Tanah tandus, uang tidak satu pun
Menumpuk setinggi gunung-gunung
Tandus penghasil minyak yang
Mendunia.
Aku, sudah kepala bau dari
Lahirnya. Ingin seperti ini dan itu
Tanpa memikirkan air-air
yang mengalir karena kekeringan
Yang tak berjeda.
Orang-orang di pesisir boleh
Marah karena rumahnya kebanjiran,
Boleh mengamuk karena gagal
Melaut, tapi mereka masih bisa makan.
Masih ada sisa uang menangkap ikan tuna.
Masih ada kepiting dan udang dan juga kerang
Yang bisa dicari saat
Air laut surut, sebelum
Hujan datang. Masih ada
Ikan asin yang bisa mereka
Jual. Tapi setelah Aku
Meneliti lagi, ternyata
Itu berlaku hanya untuk
Si besar modal
Saja.
Secarik kertas kosong di meja, sudah dipenuhi tinta pekat pemilik kamar. Gerimis pun turut memeriahkan kamar sepetak itu, kadang-kadang terdengar gemuruh kuat suara geledek yang tiba-tiba menyambar. Kadang pula suara kucing mengeong terdengar menggema dalam ruangan.Â
Puisi yang ditulis sudah diberi perekat, si pemilik kamar kemudian bangun dan melihat-lihat dinding bagian mana yang cocok untuk tempat puisi ditempelkan. Matanya dipusatkan ke tengah tembok, dipikir-pikir cocok juga kalau ditempel di tengah-tengah tembok selaras dengan meja belajar.Â
Sangat pas kalau perasaan sedang kalut tinggal melihat ke tengah-tengah tembok, kemudian bisa langsung membacanya. Puisi ditempelkan dan diberi aksesoris, pita hijau, pita merah, dan bunga kering. Ketika memperhatikan puisi yang sudah menempel ditembok. Dering ponselnya mengharuskan Ia kembali merasakan kekalutan lagi. Ibunya menelepon...
"Iris, sudah mama transfer untuk bulan ini. Makan dan biaya sekolahmu." Kata mama iris membuka percakapan dalam telepon.
"Iya, mama. Nanti Iris segera bayarkan." Jawab Iris.
"Iya, hemat-hemat ya di kota, Iris. Belum bisa nanam sayur kita." Keluh mama Iris
Telepon pun terputus, tapi kata terakhir mama Iris membuat perasaan Iris semakin kalut. Kepalanya kembali pusing. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur, memeluk boneka yang dibelikan mamanya untuk menemani tidurnya. Dipejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya Ia putuskan untuk keluar membeli makanan di warung seberang kos-kosanya.
Orang-orang membeli nasi dengan banyak lauk dipiring sedangkan Iris hanya membeli nasi dengan dua lauk sederhana, telur balado dan orek tempe. Diperhatikan satu persatu orang yang ada di dalam warung. Dua orang di belakang tampak seperti orang berada.Â
Dua orang di depannya juga sama beradanya. Di samping bangkunya ada empat orang yang tampak sederhana seperti dirinya, tetapi kelihatan bahagia-bahagia saja tanpa menunjukkan kebingungan. Yang duduk dipojok juga sama saja, tanpa pikiran dan kebingungan. Hanya Iris seorang yang tampak banyak pikiran, sedih, dan bingung sekaligus.Â
Di sepanjang perjalanan pulang Iris pun melihat-lihat orang yang dilihatnya di jalan pulang menuju kos-kosanya, mereka tampak baik-baik saja menjalani hidupnya. Saat menaiki tangga kos-kosanya pun Iris bertemu dengan beberapa orang yang menyapanya, mereka juga sama saja, tampak biasa-biasa saja tanpa beban apa pun.
Kembali ke kamar, Iris pun bercermin di kaca besar yang dibelinya di pasar tahun lalu. Iris berkaca menelisik tubuhnya, menerawang masa depannya, dan mengingat-ingat apa yang harus dilakukannya kini.Â
Mama bilang: kita belum bisa menanam sayuran lagi. Kemarau belum pergi, persediaan uang semakin menipis, dan Iris belum bisa membantu Ia terlalu pemalu dan takut memulai sesuatu yang baru. Hal yang lazim dilakukan anak desa. Dua kata yang menjadi tombak kehancuran: malu dan takut.
Sepanjang tahun, hujan tidak setiap hari turun dan kemarau selalu ada menghantui para petani di desa-desa penghasil sayuran dan beras. Dampak yang cukup besar dirasakan para petani kecil yang memang belum cukup modal untuk memenuhi kebutuhan bertani di kebun dan sawahnya.Â
Modal besar menghasilkan keuntungan yang besar, sebaliknya modal kecil menghasilkan keuntungan yang kecil pula. Kalau sedang mahal-mahalnya, petani kecil pun ikut untung besar. Kemudian mereka mulai mengembangkan lahannya meniru yang bermodal besar.Â
Namun, ketika harga jual lebih rendah dan biaya perawatan semakin mahal  mereka akan mengalami kerugian besar dan putus asa. Musim kemarau yang sudah datang tidak bisa dielakkan lagi, membuat petani-petani dengan bermodal kecil menunggu sampai musim hujan akan turun lagi.Â
Kedua-orang tua Iris pun begitu, mereka menunggu musim hujan turun lagi karena mereka petani kecil yang berusaha menyamakan kedudukan mereka dengan petani besar dengan modal besar dan tetap.
Iris tahu, bapak dan mama sedang mempersiapkan lahannya kembali untuk ditanami. Dibantu kakaknya, lahan itu diolah berdua dengan bapaknya yang sudah tua. mamanya turut membantu membersihkan lahan yang ditumbuhi rumput liar yang tampak layu dipayungi terik matahari. Mereka bertiga bekerja sama untuk mengolah lahan dengan sisa uang yang ada.Â
Di kota, Iris pun membantu mendoakan kedua orang-tuanya, berkuliah dengan benar, menghindari pergaulan bebas, dan mencari info tentang kegiatan apa saja yang bisa menghasilkan uang dengan jumlah berapa pun agar dapat meringankan kedua orang-tuanya.Â
Walaupun, kadang-kadang semua itu tidak sesuai rencananya. Rasa iri kerap tumbuh di dalam dirinya menimbulkan pertanyaan: kenapa harus aku, tidak yang lain saja.
Seingat Iris, setiap penceramah yang jam terbangnya tinggi selalu bilang begini "jadi orang miskin itu harus senang, harus bersyukur, tidak berat timbangannya. Kalau orang kaya, timbangannya sangat berat karena hartanya banyak.Â
Harus dihisab, ditanyai dulu dipakai apa saja uang yang dititipkan." Kemudian Iris melihat berita, mendengar radio, melihat jalan-jalan di pinggiran kota Jakarta.Â
Orang-orang miskin banyak susahnya, banyak melaratnya, banyak mencurinya, banyak menipunya, banyak tidak benarnya. Jadi, berat atau ringan timbangan menuju surga karena uang di dunia bukan masalahnya, tetapi bagaimana orangnya saja.Â
Kalau kaya dan miskin berkelakuan sama saja jahatnya, ketidakadilan pun merajalela. Jadi, Iris tidak setuju dengan poin penceramah itu. Mungkin Iris akan dianggap aneh dan menista agama karena pandangannya berbeda.
Iris membuang jauh-jauh pikirannya, kemudian menjatuhkan dirinya ke kasur dan menatap langit-langit kamarnya untuk membayangkan hal-hal indah yang belum pernah Ia lakukan dan terima. Berandai-andai adalah masa-masa terindah yang selalu Iris lakukan ketika kekalutan datang dan hidup berhenti di tempat.Â
Bagaimana kalau Aku jadi seperti mereka yang berada dilayar kaca, yang setiap hari muncul di beranda instagram, youtube, dan tiktok. Apakah benar sangat mudah?
Orang-orang selalu marah, kalau beras dan sayuran mahal. Apalagi pada si cabai merah atau cabai rawit. Mereka mengeluh seperti mama dan bapak Iris di kampung yang pontang panting mencari pinjaman agar beras dan sayurannya sehat. Iris hanya bisa menghela nafasnya berat.
Iris kembali berpikir, kenapa mama dan bapaknya tidak sekolah seperti mama dan bapak teman-temannya? Bukankah dulu pada zaman mereka semua serba murah meriah, kenapa mereka tidak sekolah? Sekolah murah pada zaman mereka, kenapa tidak dimanfaatkan untuk mengubah nasibnya kini. Nasib anak-anaknya yang juga ada yang tidak sekolah kecuali Iris seorang.
Iris terus termenung dalam berbagai ingatan dan khayalannya yang cukup untuk menggembirakan sesaat, kemudian tampak menyedihkan ketika Iris bercermin.
 "Bagaimana rasanya... punya segalanya... tanpa harus berdarah-darah?"
______________________________________________________________________________
Meja belajar, 03 September 2024
Pernah diikutsertakan pada lomba cerpen PDS HB Jassin 2024. Hanya sebagai peserta saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H