Mohon tunggu...
Flower Nice
Flower Nice Mohon Tunggu... Penulis - Author

Flower nice adalah sebuah nama pena dari seseorang yang ingin menyampaikan pesan-pesan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jelmaan Sosok Ayah

29 Juni 2024   10:14 Diperbarui: 29 Juni 2024   10:28 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jelmaan Sosok Ayah

Udara berganti tiap tengah malam. Bukan lagi sejuk, melainkan dingin menusuk.


"Tenggorokanku sakit, Ma."


Mama Lena mengambil teko di sebelahnya, menuangkan air rempah hangat sepertiga cangkir, lalu mengulurkan pada bocah laki-laki berumur sepuluh tahun yang mulai kesulitan bernapas.


Bocah itu menenggak sampai tak bersisa. Dirapatkan selimut wol. Lena lalu mendekapnya erat.


"Lebih baik?"


"Sedikit."


Lena menghela napas karena tak bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan putranya. Tiap tengah malam, ketika udara berganti, kesakitan itu akan kambuh. Mulut bagian belakang sampai langit-langit tengah bagai tertusuk duri. Hidung tersumbat cairan. Lalu sekujur tubuh mulai gatal.


"Kapan matahari akan muncul, Ma?"

Pertanyaan polos yang sulit dijawab. Sejak Gunung Gong memuntahkan laharnya seminggu lalu, langit tiba-tiba saja berubah gelap. Abu beterbangan menutup jalan cahaya. Tentu saja semua yang semula hangat berubah menjadi dingin. Naasnya, tidak ada yang tahu kapan situasi itu akan berubah.


"Kita berdoa saja, ya."


Bocah itu menggelengkan kepalanya.


"Apa Dewa Gong akan mengabulkan permohonan kita setelah kemarahan besarnya?"


Lena memejamkan mata karena gagal memberi sedikit harapan pada putra yang teramat dicintainya itu. Tempo hari, dia merasa bersyukur karena Gunung Gong memuntahkan laharnya ke utara, berseberangan dengan pemukimannya di sebelah selatan gunung. Ternyata keadaan yang mereka alami sekarang tidak lebih baik.  Jika orang-orang utara tewas seketika tertimbun lahar, mereka mungkin akan mati perlahan karena kedinginan.


"Apa kita akan mati, Ma?" tanya bocah itu lagi seolah dapat membaca kekhawatiran ibunya.


"Tidak. Kita akan tetap hidup. Semua ini akan segera berakhir setelah seluruh pendosa itu mati," sergah Mama Lena dengan penuh keyakinan.


Tidak ada lagi lontaran pertanyaan karena bocah itu mulai menggigil. Mulutnya terbuka untuk mempertahankan napas. Tapi justru menyakitkan tenggorokannya yang langsung tertampar udara dingin.


Lena menumpuk bantal-bantal di atas tubuh putranya agar udara dingin tak menyentuh kulit. Ia juga menutup bagian muka dengan kerudung tipis. Dengan begitu, ia berharap putranya dapat menghirup udara yang lebih hangat.


Bantal-bantal itu bergetar. Putra Lena semakin menggigil. Kepanikan menjalari pikiran Lena. Cepat-cepat ia mencari ide untuk membuat rumah semi permanen miliknya menjadi lebih hangat.


API.


Sebuah ide muncul dan langsung dieksekusi. Ia mengambil apa saja yang bisa dibakar, memasukkan sedikit ke dalam baskom kuningan, lalu menyalakan korek. Rasa hangat memancar. Lena terus memasukkan kain-kain kecil ke dalam baskom ketika api mulai padam.


"Apa itu baju ayah yang tempo hari Kau robek-robek, Ma?"


Rupanya bocah yang kondisinya mulai membaik itu tidak tidur. Dia mengamati ibunya. Lena mengangguk.


"Apa sekarang lebih baik?" Tatap Lena memastikan kondisi.


Dia mendapatkan anggukan mantap. Rupanya api mampu mengusir udara dingin yang menjadi musuh terbesar putranya. Kamar itu berubah lebih hangat.


"Apa Kau sangat membenci Ayah Darma?"


Pertanyaan kali ini membuat Lena terpaku pada asap putih yang meliuk-liuk di atas jelaga merah. Bayangan suaminya muncul dari sana. Lena menambah potongan kain supaya lebih banyak asap yang tercipta dari api yang membara. Bayangan suaminya kian jelas seiring pekatnya asap. Ia ingin tahu keadaan lelaki yang menikahinya dua belas tahun lalu.
Sosok Darma terlihat sangat tampan, tersenyum pada Lena. Selalu saja, Lena terpesona pada senyum itu hingga dengan mudah menjatuhkan hatinya. Sosok itu menggenggam tangan Lena, menatap dengan mata sipitnya yang indah. Lalu mulai membelai rambut, mengajaknya memadu kasih.
Siapa pun akan terbuai bila Darma mulai menyentuh. Tidak akan ada wanita yang sanggup menolak. Sayang, sentuhan Darma tidak hanya untuk Lena. Wanita-wanita dari Pemukiman Utara yang terkenal cantik-cantik menjadi mangsa. Tidak semua, tapi banyak. Bahkan seorang gadis yang dinobatkan tercantik di Utara pun takluk oleh bualan Darma.


Semua kebejatan itu disembunyikan oleh Lena. Dia memang naf. Terlalu mudah menjatuhkan hati pada bualan kata dan tatapan mata penuh cinta. Lalu, tanpa menimbang apapun, bersedia menerima, memaafkan dan menuruti kemauan Darma untuk menyembunyikan kebejatannya.


Ada hukuman adat bagi penduduk Pemukiman Selatan yang berbuat bukan dengan istrinya. Tapi Darma yang berulangkali melanggar selalu lolos. Itu karena Lena pintar membuat alasan sehingga tetua tak mampu berkutik.
Sedangkan di Pemukiman Utara, kehidupan terlampau bebas. Itulah alasan ayah bocah itu memilih wanita-wanita utara. Selain cantik, mereka juga melakukan dengan sukarela. Tak pernah menuntut apapun setelah menenggak kesenangan bersama. Bahkan jika perut mereka terisi bakal anak yang terbentuk dari kesenangan sesaat itu, wanita utara lebih memilih menggugurkan daripada meminta pertanggung-jawaban.


Kepulan asap menipis, jelmaan sosok ayah Darma nyaris lenyap. Buru-buru Lena menambahkan kain ke dalam bara api. Ia ingin ditunggui lelakinya lebih lama.


"Cukup Mama! Api yang besar bisa membakar rumah kita," cegah Sang Putra ketika Mamanya terus memasukkan perca kain ke dalam api.


Kali ini Lena tergugu, sadar dari halusinasinya. Ternyata rasa itu masih sama. Rasa cinta itu menetap meski lara kerap dicecap.


Semula, ia mengira kalau rasa cintanya pada Darma berganti benci ketika suaminya mengaku tidak lagi mencintai dirinya. Darma mengeluh bosan pada Lena yang tak pandai bersolek. Kini, ada seorang wanita cantik dari utara yang bersedia melayani dan menghidupinya. Maka, Darma memutuskan ikatan pernikahan dengan Lena lantas melenggang pergi. Teriakan, permohonan dan sujud Lena di kaki Darma tidak mengubah keputusan lelaki amoral itu.


Lena yang terluka berdoa di puncak Gunung Gong. Ia memohon keadilan pada Sang Maha Pencipta. Ketika kembali, Lena merasakan getaran. Ternyata kawah Gunung Gong telah berubah menjadi bara yang hendak menjebol dinding utara.


Sebuah ide licik muncul di benak Lena.  Rasa sakit hati pada suami dan orang-orang utara membuat Lena  memasukkan obat tidur ke dalam minuman mereka yang sore itu melakoni pesta laknat. Itulah mengapa orang-orang utara bergeming ketika dengung Gong membahana, tanda datangnya bencana.  
Lena menyeringai ketika lahar membanjiri kawasan utara. Ia mengira sakit hatinya akan lenyap seiring kebinasaan suaminya dan manusia-manusia laknat dari utara yang menodai kesucian cintanya.


Kenyataannya, kini Lena justru bergelung dengan rindu. Tiap waktu mengidamkan sosok Darma dengan senyum tampan dan buaian manisnya. Lena semakin tergugu, larut dalam benci dan rindu yang berpadu. Seandainya membenci orang yang dicintai itu mudah, maka Lena tidak akan semenderita ini.


 "Mama, apinya nyaris padam!"


Lena kembali memasukkan kain-kain ke dalam baskom kuningan. Terlihat kepulan asap berwarna keabuan yang menjelma kembali menjadi sosok Darma yang tersenyum tampan. Bulir bening berjatuhan kala Lena menatap sosok Darma. Ia sangat menyesal. Sebesar apapun kesalahan Darma seharusnya ia tidak membunuhnya.  


Jelmaan sosok Darma itu merangkul Lena, membisikkan pesan terakhir, "Aku memaafkanmu. Rangkullah semua nestapa, agar hatimu menjadi lega."


Suara kokok ayam yang bersahutan menghentikan tangisan Lena. Ia menoleh pada putranya dengan dahi berkerut hingga kedua alisnya nyaris bertaut. Sang Putra justru menyunggingkan senyum semringah.

"Ayam selalu berkokok ketika melihat semburat jingga di ufuk timur. Artinya, mentari akan terbit. Kehidupan kita akan berlanjut, Mama."


Lena tampak bahagia melihat harapan memancar dari raut wajah putranya. Ia memeluk putranya erat-erat. Seperti itu pula Lena merengkuh seluruh nestapa dalam hidupnya. Memaafkan Darma dan dirinya sendiri untuk dapat melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

Bionarasi :
Penulis bernama pena Flower Nice. Melahirkan dua buku nonfiksi, satu novel dan beberapa antalogi. Penulis bisa dihubungi melalui sosial media instagram @flowernice89 dan facebook Flower Nice.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun