Bahkan mereka yang sejak semula menjadi orang pinggiran yang nakal, tak mau ketinggalan untuk berpesta, walau dengan mencopet dan atau membegal bagi yang nekat. Sedangkan bagi yang lemah dan nakal, demi lebaran jadi rajin mengemis, mengamen, dan sebagainya. Korbannya tentu yang dhuafa walau beriman.Â
Idulfitri versi lebaran pun dimanfaatkan  oleh para pedagang nakal, sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.
Yang nakal menimbun barang dan menaikkan harga. Termasuk perusahaan (yang hakikatnya) milik Negara tidak jarang ikut-ikutan menaikkan tarif.
Peran pemerintah yang diharapkan menjadi pelindung dan pembela rakyat kecil tidak membiarkan kaum dhuafa diterkam dan dilindas korporasi.
Sayangnya kaum rohaniawan yang membiarkan saja dijadikan korporasi untuk legitimasi  di televisi yang penuh dengan iklan-iklan komersil.
Mayoritas bangsa ini, termasuk diriku dahulu memang selalu merindukan Idulfitri sebagai sebuah pesta tahunan, saat mereka bisa merasakan kenikmatan makan, minum, pakaian baru, dan berpelisiran. Seperti diriku yang dulu dalam YouTube di bawah ini
Sedangkan di sisi lain, hasrat berpesta itu justru membuka peluang bagi para renten/ spekulan yang tidak berperikemanusiaan.
Akhirnta kujadikan Idulfitri sebagai momentum  dari lebaran menjadi kembali hidup menurut Fitrah Allah (Islam)Â
Ya, indahnya Islam yang saat ini masih bagaikan berada di dasar lautan. Belum dominan di permukaan. Karena Islam melarang sikap hura-hura. Kalaulah ada pesta yang dihalalkan dalam Islam, hanyalah pesta kepedulian golongan the have terhadap kalangan bawah.
Dalam  Idulfitri versi Al-Quran, terutama melalui zakat fithrah, merupakan pesta kepedulian dengan cara berbagi bahan makanan pokok.Â
Sebagaimana Indahnya gambaran hadits Rasulullah yang menegaskan: "Pada hari itu (Idulfitri) jangan sampai ada orang miskin yang tidak makan!". Hal ini pernah kualami di kampung halamanku. Semua orang miskin dan ayat Yatim dijamin oleh masjid kami.