Mohon tunggu...
Vera Damayanti
Vera Damayanti Mohon Tunggu... Novelis - Novelis Digital

Hanya seorang penulis dalam dunia digital yang ingin berbagi inspirasi dan imajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Legionnaire: Battle of The Heart #9

29 Januari 2025   09:56 Diperbarui: 29 Januari 2025   09:56 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramshad Ali and Taja (Source: two characters and background are generated by Meta AI, novel cover is designed by Vera Damayanti)

Bab 9 Tamu Tak Diundang

Taja mengamati wajahnya melalui sebuah cermin berukir. Mirip ibu, batinnya. Memang, ia mewarisi wajah sang ibu, tapi ciri raganya yang lain berasal dari darah sang ayah yang juga seorang pejuang. Mungkin karena perbedaan itu, maka suku Urcan di desanya dulu, tidak menyukai keberadaan keluarganya di tengah mereka.

Mengingat masa lalu, tanpa sadar menundukkan kepala. Sebelum matanya berkaca-kaca, suara Ramshad mengalihkan perhatiannya.

"Panglima, kita harus pergi sekarang."

Tergesa-gesa Taja membereskan sisa air mata yang belum sempat mengalir dari pelupuk matanya. "Ya, aku sudah siap."

Begitu membuka pintu, Ramshad tidak ada di sana karena semua orang telah bersiap di halaman istana.

Taja menuruni tangga. Mengenakan zirah kombinasi putih emas, penampilannya seperti dewi perang. Di halaman, seekor kuda putih telah menunggu, kuda pengganti Ramshi yang saat ini menjadi milik Ramshad. Semua anggota pasukan berkuda bersiap di belakang pria itu, sementara ia menyambut kehadiran sang panglima.

"Di mana Yang Mulia?"

Ramshad memberi isyarat mata. "Seperti biasa, menghilang bersama pasukan bayangan, tapi entah mengapa, aku yakin, dia ada di sini. Gunakan saja cincin itu."

Wanita itu menggeleng, "Kita tidak bisa melacak manusia 'gila'. Bukankah kau sendiri yang bilang begitu?" Lantas mulai memacu kudanya, diikuti Ramshad dan seluruh pasukan berkuda.

Rombongan bergegas menembus gerbang utama, melintasi tangga makam yang panjang. Satu-satunya tempat di Eyn yang bernilai sejarah baru sekaligus mengerikan, di mana setiap orang wajib melewatinya. Buah pikir 'kegilaan' Carlo Dante untuk mengingatkan musuh yang coba-coba mengganggu ketenteraman rakyatnya.

"Satu anak tangga, satu kepala," ucapnya dingin, ketika makam pertama selesai ditutup untuk mayat seorang raja diktator yang haus darah dan ingin 'mencicipi' hijaunya Kerajaan Eyn.

"Bagaimana dengan anggota tubuh lainnya?" tanya Ramshad.

"Sucikan dan gabungkan bersama kuburan massal pasukannya. Aku ingin mereka menyatu di neraka. Setidaknya ini adalah penghormatan terakhir kita dengan mengizinkan dia 'tinggal' di Eyn."

Dalam keadaan mati, lanjut Ramshad dalam hati. Ia yakin, adat baru itu bukan hobi, melainkan strategi pertahanan agar musuh berpikir ribuan kali sebelum berani menjejakkan kaki di bumi Eyn. Bagi mereka yang sudah mendengar adat ini, tentu tidak akan berani. Akan tetapi lain halnya dengan yang bernasib malang. Tiada asal mula yang menyebabkan mereka terhina melainkan karena kebodohan.

Jalur itu bukan satu-satunya yang harus dilalui pasukan pimpinan Taja. Ada gunung batu yang memiliki limpahan air terjun misterius, yaitu mampu membuka tabir airnya saat pasukan Eyn hendak melewatinya namun menjadi maut bila pasukan musuh menerobosnya. Banyak orang berkata bahwa Ratu Eyn Mayra-lah pengendali sistem pertahanan yang ajaib itu, sedangkan suaminya bertugas memenangkan perang.

Setelah gunung batu, masih ada wilayah pertahanan lain yang berbahaya sehingga tidak boleh sembarang orang, terutama rakyat Eyn, untuk melewatinya. Mereka memiliki jalur khusus yang dijaga ketat sehingga kecil kemungkinan penyusup yang berniat jahat bisa masuk. Penyebab lainnya adalah karena ciri khas dan karakter penduduk asli negeri itu. Kulit agak pucat, garis wajah halus serta bukan tipe bangsa petarung sangat memudahkan penjaga untuk membedakan mereka.

Tidak heran, semakin sedikit raja lain yang berniat merampas Eyn setelah Carlo Dante berkuasa. Dante mengubah Eyn menjadi negeri indah sekaligus kuburan bagi mereka yang tetap nekat, tepatnya sejak Zaghas Ardeth mampu menembus pertahanan dengan menggunakan teleportasi serta menguasai seluruh istana. Raja Kerajaan Hinnan tersebut memanfaatkan kepergian Dante, kemudian memengaruhi ratu dengan mantra seorang dukun wanita. Terakhir, membawa masuk seluruh pasukan Hinnan. Di bawah tekanan yang mempertaruhkan keselamatan sang ratu, Taja dan Ramshad hanya bisa menunggu rajanya yang kemudian datang dalam keadaan 'hancur'.

Setiap kali mengingat itu, hati Ramshad Ali tercabik-cabik. Satu-satunya peristiwa saat ia menyatakan dirinya telah gagal melindungi istana. Hingga kini ia bahkan tak habis pikir, mengapa rajanya membiarkan Zaghas Ardeth tetap hidup tanpa sekalipun membalas perbuatannya dengan melakukan ekspansi. Mudah bagi Ramshad menempatkan diri pada cara berpikir seseorang, tapi tidak berlaku pada otak Carlo Dante. Contohnya sekarang, Dante seharusnya memimpin pasukan, namun tak seorangpun tahu keberadaannya, termasuk Ramshad.

"Ingat, Ramshad, jika kau nekat membuntutiku setiap waktu, maka aku terpaksa menghabisimu." Ultimatum keras itu yang membuat Ramshad yakin bahwa Dante tidak butuh perlindungan apapun.

Sampai di tepi sungai, Taja memberi aba-aba untuk berhenti. Ramshad segera menyejajarkan Ramshi dengan kuda putih Taja.

"Ada apa?" tanyanya.

Taja tak langsung menjawab. Matanya tajam mengawasi sekitar. "Sebentar lagi kita akan masuk hutan dan keluar dari wilayah Eyn, tapi di mana pasukan bayangan? Andai aku tahu siapa komandannya, mungkin akan kupukul kepalanya. Kita tidak bisa maju tanpa arah. Ke mana Yang Mulia akan membawa kita?"

Ramshad tersenyum. "Jangan berlebihan. Kita hanya membawa pasukan kecil. Saranku, ikuti saja perintah raja. Kita harus tiba di perbatasan secepatnya."

"Bukankah mereka biasanya siaga di dalam hutan?"

"Mungkin ya, mungkin tidak. Bila kau tahu, buat apa mereka disebut pasukan bayangan?"

Mendengar itu, Taja mendengus kesal, lalu terpaksa memerintahkan pasukan untuk kembali meneruskan perjalanan. Baginya, peran pasukan bayangan tidak banyak membantu. Mereka butuh ruang gerak yang terbatas untuk bisa mengalahkan musuh, misalnya ketika berada di dalam hutan, dan yang paling mengecewakan, meskipun ia adalah seorang panglima, pasukan khusus ini bergerak langsung di bawah perintah raja. Belum jelas pula, siapakah pemimpin pasukan tersebut. Bahkan Ramshad pun mengaku tak punya urusan dengan mereka. Jadilah mereka tetap menembus hutan tanpa melihat mereka seorang pun.

Tiba di perbatasan, Taja melihat tiga utusan tak dikenal telah menunggu kedatangannya. Seluruh pasukan berhenti dalam kondisi waspada. Ia pun maju beserta kudanya, namun tetap menjaga jarak.

"Katakan, dari mana dan apa keperluan kalian?" tegasnya, mulai mengerti perintah Carlo Dante. Ternyata Eyn kedatangan tamu tanpa tahu apa niat mereka dan ia ditugaskan mencari tahu.

"Raja kami mengundang kalian untuk sekadar saling mengenal. Beliau menunggu di balik bukit," jawab salah satu utusan yang berada di tengah. Tampak dari zirahnya bahwa dia hanya komandan pasukan dan bukan panglima perang, tapi bukan berarti tidak ada pasukan besar dari arah yang ditunjuknya.

Mendengar itu, tanpa disuruh, Ramshad menghela kudanya menuju bukit.

"Saling mengenal? Hanya ada sembilan kerajaan besar yang kuketahui. Kerajaanmu baru?" selidik Taja, menangkap isyarat tangan Ramshad bahwa situasi aman, tidak ada pasukan besar di bawah sana.

Utusan itu terkekeh. "Huh, sembilan kerajaan besar. Bagaimana jadinya jika semua kerajaan kecil bersatu? Kalian tidak ada apa-apanya. Eyn, Hinnan, Rhoden, Thourgan, katakan saja. Bukankah kalian berperang satu sama lain? Ha ha ha ha!" oloknya, tapi itu kenyataan.

Taja tahu bahwa tidak ada gunanya membela diri. Ia ingin tahu lebih banyak. "Jadi, kalian adalah kerajaan-kerajaan kecil yang bersatu? Hm, menarik. Siapa raja kalian? Atau setidaknya, yang dianggap paling cerdas?" pancingnya kemudian. Ia masih belum percaya bahwa ketiga orang itu adalah utusan biasa. Sementara itu, Ramshad telah kembali ke posisinya.

Tiga utusan tersebut saling pandang.

"Setahuku, semua kerajaan kecil itu tidak diganggu karena tidak punya pasukan. Jika sebaliknya, maka ...." Taja sengaja tidak meneruskan kata-katanya, mencoba melihat reaksi mereka.

"Eh, ... maksudmu, kami pantas diserang?" Dia menjeda sebentar kalimatnya setelah Taja mengangguk sebagai jawabannya. "Sebaiknya, kalian ikut kami ke tenda raja. Sesudahnya, kalian akan paham kalau kami sama sekali tidak berniat jahat."

Taja mengerutkan alis, tanda tidak setuju dengan undangan itu. "Jika dia raja yang berani, maka bersikaplah seperti tamu yang disegani."

"Kami sudah mengirim tanda ke istana Eyn, tapi ternyata kalian tidak mengizinkan masuk, kemudian kalian datang bersama satu pasukan kecil bersenjata. Sekarang raja kami disuruh datang kemari? Eyn benar-benar sangat 'sopan'!"

"Lain kali, belajarlah memahami protokol kunjungan resmi, Tuan. Kalian tiba-tiba datang diikuti pasukan, bagi kami itu adalah isyarat perang. Jelaskan dengan baik pada Yang Mulia, kami bisa menunggu. Jika beliau tidak berkenan, maka kalian bisa balik arah dan pulang. Kami pun akan menunggu sampai rombongan kalian menghilang."

Tanpa beradu pendapat lagi, ketiga utusan itu mengarahkan kuda-kuda tunggangan untuk kembali ke tenda, melapor pada raja.

"Kurasa, inilah sebabnya mengapa Yang Mulia tidak bersedia menyambutnya. Mungkin saja mereka tidak serius atau pura-pura bodoh demi sesuatu," ujar Ramshad, usai mendekat.

Taja mengangguk setuju. "Satu pasukan kecil, kau yakin?" tanyanya, memastikan yang dilihat Ramshad sesuai dengan situasi yang sebenarnya.

"Ya. Jika ada pasukan besar di balik bukit-bukit yang lain, maka hewan-hewan di hutan sekitarnya akan gelisah, dan muncul tanda khusus dari pasukan bayangan. Meskipun bukan berarti kita bisa meremehkan tamu kita saat ini."

"Baiklah, bersiaplah, Ramshad. Kita harus tahu, raja macam apa yang akan kita hadapi. Siagakan pasukan."

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun