Pertanyaan itu akhirnya terjawab saat duduk bersama Ramshad di balkon istana kecil. Malam itu juga, mereka terpatung menatap bulan yang tampak pucat. Sama-sama menekuk dan memeluk lutut, mirip dua anak kecil yang mengalami trauma.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Suara Taja mendadak berubah lebih halus, akibat terus mengingat sosok mengerikan itu. Beruntung, Ramshad segera memulihkan kesadarannya dengan mengajaknya menjauh dari ruang senjata. Kini, wanita itu merasa lebih aman dan kembali pada kenyataan.
"Bagiku, bukan Sazzar yang menakutkan," ungkap Ramshad.
Taja menoleh ke arahnya. "Kau masih menuduh Yang Mulia?"
"Memangnya kau sebut apa seseorang yang memperlakukan Sazzar seperti mainannya? Tidakkah kau perhatikan, raja mengendalikan Sazzar dari jarak yang begitu dekat, tanpa terpengaruh sihir sedikitpun? Dia sudah gila! Raja kita sudah gila!"
Taja berusaha meredam emosi Ramshad yang justru melampaui dirinya, cukup dengan tidak melawan kata-kata pria itu lagi.
"Benar kata orang, sesuatu yang buruk mampu mengubah kepribadian seseorang. Kupikir, ada sangkut-pautnya dengan kehidupan raja ketika berada dalam penjara," lanjut Ramshad. "Atau mungkin, lebih dari itu. Entahlah. Satu hal yang pasti, Yang Mulia sudah berubah." Sejenak, ia kembali memusatkan perhatiannya pada raut wajah Taja sekiranya wanita itu akan berdusta. "Kulihat Yang Mulia mengatakan sesuatu padamu. Beritahu aku."
Taja bergeming, namun bola matanya tidak mampu menolak. Justru keraguan itu terbaca jelas oleh Ramshad.
"Aku sangat mengenalmu, Taja. Cepat katakan!" ulang Ramshad, lebih tegas.
Saat itu, Taja kembali ke sosok gadis delapan belas tahun yang lugu. Teringat masa-masa ketika Ramshad membantunya bangkit dari penderitaan usai kehilangan orang tua. Pria tersebut dengan sabar melatih serta mengajarinya banyak hal hingga tegar seperti sekarang. Satu-satunya orang yang peduli padanya jika sampai terjadi sesuatu. Kini, ia harus memilih, menjawab kepercayaan rajanya, atau jujur kepada Ramshad Ali.
"A-aku ...."