Mohon tunggu...
Valiza Sabina Handini
Valiza Sabina Handini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Perempuan di Indonesia

6 Juli 2024   14:48 Diperbarui: 6 Juli 2024   14:57 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain menderita dan jatuh sakit akibat melihat kekerasan, korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya disalahkan atau merasa bertanggung jawab karena menghasut emosi laki-laki untuk menggunakan kekerasan. Mereka juga sering dilarang berkelahi atau tidak diperbolehkan berkelahi. Sementara anak perempuan akan belajar untuk menghindari berhubungan dengan laki-laki, mengembangkan fobia yang berhubungan dengan menikah atau memiliki anak laki-laki, dan mengalami bentuk kecemasan traumatis lainnya, anak-anak yang menyaksikan bahkan mereka yang juga menjadi korban kekerasan biasanya belajar untuk melakukan tindak kekerasan yang dilakukan ayah mereka. Oleh karena itu, insiden kekerasan dalam rumah tangga mengakibatkan sejumlah masalah psikologis yang berlangsung lama bagi korban, pelaku, atau keturunannya (Deborah, Muthmainnah, Herlinda & Tanawi, 2018).

Beberapa gerakan advokasi perempuan muncul sebagai akibat dari ketidakadilan terhadap perempuan dalam pandangan masyarakat terhadap mereka, salah satunya adalah gerakan feminis. Feminisme seringkali muncul dari keyakinan bahwa perempuan telah mengalami perlakuan yang tidak adil dalam masyarakat, dengan tujuan untuk mengedepankan pendapat laki-laki dan kepentingan mereka yang beragam mengenai gerakan sosial dan instrumen analisis. Banyak lagi cedera, baik fisik maupun non-fisik, juga disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga. Cedera fisik yang diderita oleh korban biasanya berkisar dari ringan hingga parah, memerlukan perhatian medis dari para profesional karena dapat berakibat fatal. Selain itu, pada kenyataannya, kekerasan dalam rumah tangga dapat mengakibatkan trauma psikologis dan kerusakan non-fisik dengan membuat korban takut akan bahaya yang serius (Rahmi & Suryaningsi, 2022).

Korban kekerasan dalam rumah tangga Hingga saat ini belum ada yang menggunakan haknya untuk didampingi oleh kuasa hukum, karena kebanyakan yang melakukannya adalah tersangka atau tergugat dalam kasus pidana. Perintah perlindungan belum diajukan ke pengadilan distrik setempat oleh siapa pun. Perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga harus tersedia sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang diuraikan dalam undang-undang. Penyelidik telah mengambil tindakan khusus untuk melindungi dan mengamankan korban selama penyelidikan. Tindakan tersebut antara lain menggelar penyidikan di ruangan khusus yang menjamin keamanan dan privasi korban, melibatkan polisi perempuan dalam semua penyidikan, meminta bantuan psikolog, menghubungkan korban dengan instansi terkait selama penyidikan, dan mengupayakan upaya hukum lain yang diperlukan.untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga terulang Kembali (Rahmi & Suryaningsi, 2022).

Peran Negara Dalam Mengatasi Pelanggaran HAM pada Perempuan

Setelah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi pada perempuan, yang bisa dilakukan oleh negara adalah berpegang teguh pada Undang-Undang. Penerapan dan penerapan UUD 1945 dapat berdampak pada bagaimana negara dan para pemimpinnya mendewasakan dan membentuk zaman. Hak asasi manusia dijamin oleh pasal-pasal UUD 1945 yang memajukan proses pembentukan kerangka hukum suatu bangsa, memperkuat kesepakatan rakyat dengan penguasanya, dan dapat menghidupkan kembali konstitusionalisme Indonesia. Kemampuan untuk bertindak secara sewenang-wenang dan jaminan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia dapat dibatasi dengan adanya amandemen. Artikel tentang hak asasi manusia mempromosikan kemajuan dan peradaban martabat manusia.

Masalah utama dengan hak asasi manusia adalah bahwa hak tersebut telah dideklarasikan tetapi tidak benar-benar dipraktikkan. Hak asasi manusia seringkali dibayangi oleh antusiasme umum melalui rapat, komite, deklarasi, dan formalitas lainnya, dengan sedikit atau tanpa dampak nyata dalam melindungi pemegang hak (De Gaay, 2006: 263). Akibatnya, diperlukan pemeriksaan menyeluruh terhadap proses implementasi, termasuk studi tentang dasar-dasar dan dinamika proses yang sebenarnya. khususnya dalam pemahaman hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia untuk kesejahteraan perempuan dan perlunya identifikasi atau tindak lanjut untuk mencegah kesalahan mencolok yang berkaitan dengan gender. Undang-undang hak asasi manusia di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Kebebasan bergerak perempuan, kemampuan untuk bekerja di luar rumah, dan perlindungan dari penyerangan adalah salah satu hak mereka yang paling mendasar. Namun, pada kenyataannya, diskriminasi terhadap perempuan masih lazim di banyak berita di seluruh dunia. Fakta bahwa isu-isu ini ada menunjukkan betapa sedikitnya penghargaan yang diterima hak-hak perempuan dalam interaksi sosial. Marsinah, seorang pekerja di Indonesia yang memperjuangkan haknya untuk menuntut kompensasi tenaga kerja yang lebih tinggi, adalah salah satu contoh bagaimana pelanggaran HAM di negara tersebut (Saputri & Rinenggo, 2023).

 Meskipun pekerja perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama di bawah norma-norma, status perempuan di bidang ketenagakerjaan secara keseluruhan belum sepenuhnya disikapi. Pelaksanaan perlindungan hak-hak perempuan dan penerapan hak asasi manusia terhadap perempuan harus terjadi jika UUD memuat jaminan yuridis formal atas hak-hak pekerja perempuan. Namun isu pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan tetap ada dan mengambil banyak bentuk, dengan laki-laki mengendalikan sebagian besar aktornya. Hak asasi manusia didefinisikan sebagai "...seperangkat hak yang melekat dalam kodrat dan eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan martabat dan martabat manusia" dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

Semua undang-undang dan peraturan harus sesuai dengan undang-undang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip yang digariskan di dalamnya untuk perlindungan hak asasi manusia. Penghapusan diskriminasi atas dasar agama, ras, suku, kelompok, kelas, kedudukan sosial, kedudukan ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan opini politik adalah salah satunya. Pasal 3 Ayat (3) undang-undang hak asasi manusia yang menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi" juga melarang diskriminasi. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) mengatur bidang ketenagakerjaan dan memberikan perlindungan kepada pekerja, laki-laki dan perempuan. Secara khusus, Pasal 5 dan 6 undang-undang ketenagakerjaan menyatakan bahwa ada persamaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan di pasar tenaga kerja, tanpa diskriminasi. "Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan tanpa diskriminasi," kata Pasal 5. Pasal 6 menyatakan bahwa "setiap pekerja / buruh berhak atas perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari atasan".

Berbagai aturan nasional dan internasional mengatur hak-hak perempuan yang bekerja. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dengan undang-undang No. 7 tahun 1984, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8 Per-04/Men/1989 tentang Syarat dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari, serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Kep. 224 / Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan Antara pukul 23.00 hingga 07.00 termasuk di antaranya (Adityarani, n.d.).

Legitimasi hukum menunjukkan bahwa, dalam konteks legitimasi hukum yang sah, masyarakat dapat dimintai pertanggungjawaban atas penerapan dan ketaatan terhadap wacana hak asasi manusia daripada menanggung akibatnya jika tidak (Diehl, et al., 2003: 52). Hak asasi manusia sebagai prinsip dasar hukum dapat membentuk masyarakat yang berintegritas. Hak asasi manusia yang ditetapkan secara hukum membutuhkan pemaksaan agar orang dapat menjalankan dan menjunjung tinggi hak tersebut. Selain itu, hak asasi manusia berfungsi sebagai alat politik dan sumber hukum. Dapat dipahami bahwa penggunaan hak asasi manusia sebagai alat politik menjadi acuan tindakan yang diambil untuk menjatuhkan kewajiban kepada mereka yang menggunakan haknya untuk memenuhi kewajibannya dan menuai keuntungan (Halpin, 1997: 90). Kebebasan pemegang hak untuk membuat undang-undang untuk mendapatkan hasil yang relevan. Agar persepsi tersebut benar-benar berorientasi pada aktivitas yang memajukan hak asasi manusia-tidak hanya dalam regulasi yang memaksa, tetapi juga dalam percakapan dengan pemegang hak-hak asasi manusia harus diidentifikasi secara induktif. Jika norma dan peraturan dipatuhi, hal ini dapat digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia, khususnya dalam pengaturan transisi (Hadiprayitno, 2009: 376).

Fokus gerakan hak asasi manusia telah beralih ke isu-isu perempuan. lima puluh tahun setelah adopsi Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia. "Manusia akan dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan haknya," kata yang pertama. Hukum hak asasi manusia dikritik oleh kaum feminis karena menengahi ranah publik dan privat. Hal ini menunjukkan bagaimana ketidakmampuan sistem hak asasi manusia untuk memajukan hak-hak perempuan bersumber dari kepatuhannya pada teori hukum bahwa sektor swasta eksis secara independen dari negara. Landasan hukum Konvensi Menentang Perempuan (CEDAW), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan Instrumen Nasional Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Bagian 9 yang memuat tujuh ketentuan mulai dari pasal 45 sampai dengan pasal 51.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun