Mohon tunggu...
Valiza Sabina Handini
Valiza Sabina Handini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Perempuan di Indonesia

6 Juli 2024   14:48 Diperbarui: 6 Juli 2024   14:57 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual adalah pelanggaran HAM paling sering dialami perempuan. Contohnya adalah revenge porn. Tindakan mempublikasikan gambar atau video eksplisit orang lain secara online tanpa izin orang tersebut dalam upaya untuk mempermalukan atau membalas dendam dikenal sebagai revenge porn atau porno balas dendam. Jelas bahwa ini melanggar hak seseorang atas keamanan dan privasi. Tahun 2014 melihat pengenalan hukuman pidana untuk pornografi balas dendam di California, sebuah langkah yang kemudian diadopsi oleh beberapa negara bagian dan negara lain di seluruh dunia. Namun, pornografi balas dendam masih legal di banyak negara. Meskipun pornografi balas dendam tidak secara khusus menyebutkan hak asasi manusia, hal itu tetap melanggar hak masyarakat atas privasi, keamanan, otonomi, dan martabat. Sejumlah perjanjian hak asasi manusia internasional, termasuk Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, mengakui dan membela hak-hak ini. Sebagian besar negara di dunia memandang balas dendam porno sebagai semacam pelecehan seksual dan melarangnya sebagai kejahatan. Selain itu, banyak negara telah memberlakukan undang-undang yang secara khusus menargetkan pelaku balas dendam porno. Tetapi untuk menghentikan revenge porn, orang perlu berhati-hati saat mengungkapkan informasi pribadi dan waspada terhadap virus dan spyware yang dapat digunakan untuk menangkap atau mencuri gambar atau video (Nurfitria et al., 2023).

Mengenai pembelaan hak asasi manusia, sangat penting untuk melindungi perempuan dan anak-anak karena mereka memiliki hak untuk hidup dan kebebasan dari perbudakan atau bentuk kerja paksa lainnya. Hak-hak ini dipandang sebagai hak asasi manusia yang abadi dan dapat diterapkan secara universal, yang menyiratkan bahwa setiap orang berhak atasnya tanpa memandang usia, jenis kelamin, asal usul, atau agamanya. Oleh karena itu, setiap negara dituntut untuk menjunjung tinggi hak-hak tersebut tanpa terkecuali (Hamzah & Salsabila, 2024).

Beberapa negara telah memberlakukan undang-undang yang melarang pornografi balas dendam dan mengakui martabat manusia dan hak privasi melalui tindakan pencemaran nama baik dan perlindungan privasi. Pornografi pembalasan tidak secara khusus legal di negara lain, sehingga sulit untuk menghukum pelanggar. Meskipun tidak ada peraturan eksplisit yang berkaitan dengan pornografi balas dendam, mereka yang terlibat di dalamnya dapat menghadapi hukuman pidana berdasarkan aturan relevan berikut:

  • Menurut Pasal 281 KUHP (KUHP), jika seseorang dengan sengaja melanggar kesusilaan di depan orang yang hadir tanpa persetujuannya, dapat dikenakan denda atau hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Lebih jauh, Pasal 282 pada dasarnya menjelaskan larangan mentransmisikan, menampilkan, atau menggunakan gambar atau artefak yang isinya dianggap menjijikkan secara moral.
  • Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik diubah dengan UU No. 19 tahun 2016. Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (1), siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa izin membuat dokumen yang memuat konten asusila dapat diakses, dikirimkan, atau disebarluaskan dapat menghadapi pidana penjara hingga enam tahun dan/atau denda sebesar satu juta rupiah. Pendistribusian dapat dilihat sebagai tindakan menggunakan sistem elektronik untuk mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi atau dokumen elektronik kepada banyak penerima.
  • UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi. Menurut Pasal 29, jika seseorang membuat, mereproduksi, memproduksi, menyiarkan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit atau implisit mengandung ketelanjangan, alat kelamin, onani atau onani, persetubuhan, dan hal-hal lain sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), mereka berisiko dipenjara untuk jangka waktu antara enam bulan sampai dua belas tahun atau denda sebesar Rp. 250.000.000 hingga Rp. 6.000.000.000.

Masih banyak korban kejahatan porno balas dendam, terutama perempuan, yang mendapat tekanan fisik dan psikologis. Banyak korban yang masih belum mengetahui apa yang harus dilakukan jika merasa terancam menyebarkan konten yang menyinggung. Selain itu, banyak korban tetap takut untuk memberikan informasi kepada pihak berwenang karena kurangnya perlindungan hukum yang memadai dan kemungkinan menghadapi tuntutan pidana karena berbagi konten pornografi. Masih banyak korban kejahatan porno balas dendam, terutama perempuan, yang mendapat tekanan fisik dan psikologis. Banyak korban yang masih belum mengetahui apa yang harus dilakukan jika merasa terancam menyebarkan konten yang menyinggung. Selain itu, banyak korban tetap takut untuk memberikan informasi kepada pihak berwenang karena kurangnya perlindungan hukum yang memadai dan kemungkinan menghadapi tuntutan pidana karena berbagi konten pornografi (Nurfitria et al., 2023).

Ketidakcukupan perlindungan hukum dalam kaitannya dengan rumitnya situasi yang melibatkan pelecehan seksual menyebabkan impunitas, pengulangan, dan frustrasi korban dalam mengejar keadilan, kebenaran, dan reparasi. Jumlah kasus kekerasan seksual tidak berkorelasi dengan adanya kerangka hukum yang lengkap. Negara masih belum menganggap serius perlindungan perempuan Indonesia dari kekerasan berbasis gender. Undang-undang menjadi tidak peka terhadap kesulitan perempuan karena paradigma hukum yang baru tidak dapat mengimbangi evolusi masyarakat yang pesat (Khristianti Weda Tantri, 2021).

Selain revenge porn, contoh pelanggran HAM pada perempuan adalah pernikahan paksa. Kawin paksa sebenarnya bertentangan dengan hak asasi manusia karena dilakukan atas keinginan salah satu atau kedua belah pihak, melainkan di bawah tekanan atau bahkan ancaman. Di sisi lain, diakui dengan baik bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing, yang dijamin oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang kawin paksa, misalnya Anis Aljalis Rahmah dkk. Penelitian menjelaskan bahwa orang tua yang menikahkan anaknya bertentangan dengan keinginannya melakukannya untuk meringankan beban materi dan tanggung jawabnya karena, dari sudut pandang mereka, ketika anaknya menikah, mereka tidak lagi bertanggung jawab atas anaknya (Rahmah, Sumadi, dan Rudi 2020). Ini menunjukkan dengan tegas bahwa beberapa orang tua masih percaya bahwa membesarkan anak adalah beban dan kewajiban bagi mereka, dan bahwa cara terbaik untuk membebaskan mereka dari beban ini adalah dengan memaksa pria pilihan mereka untuk menikahi putri mereka sesegera mungkin (Ahmad Agung Setya Budi, 2023).

Karena banyaknya perkawinan paksa, maka banyak juga perkawinan yang dilangsungkan oleh orang tua kepada anaknya yag masih dibawah umur. Perempuan sering menghadapi diskriminasi, terutama di daerah pedesaan di mana pernikahan remaja merupakan hal yang tabu secara sosial yang mengabaikan hak-hak perempuan. Sudah waktunya bagi perempuan untuk mengalami perubahan paradigma di mana mereka diperlakukan secara adil, diberi status yang setara, dan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dengan laki-laki. Paksaan perempuan berbentuk pernikahan di bawah umur. Alasannya karena wanita yang menikah sebelum mencapai usia dewasa harus memikul tanggung jawab fisik atau psikologis. Hak-hak anak dilanggar, terutama bagi perempuan yang sudah menikah (Junida Maudian et al., n.d.).

Menurut justifikasi yang diberikan di atas, pernikahan di bawah umur melanggar hak-hak perempuan dan terkait dengan hak asasi manusia, artinya hak-hak perempuan tidak dijaga. Penegasan hak-hak perempuan dalam UUD 1945 harus dihormati. "Perempuan berhak atas perlindungan khusus dalam menjalankan usaha atau profesinya dari masalah-masalah yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatannya sehubungan dengan masalah reproduksi fungsi perempuan," demikian Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. "Hak-hak khusus yang melekat pada perempuan karena peran reproduksinya, dijamin dan dilindungi undang-undang," menurut Pasal 49 ayat 3. Selanjutnya, "setiap orang yang sehat, baik jasmani, rohani, maupun sosial, dapat membiarkan dirinya menjalani kehidupan yang produktif secara sosial," menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (Junida Maudian et al., n.d.).

Setiap negara diwajibkan untuk menjamin bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal memasuki lembaga perkawinan dan memilih pasangan dengan kebebasan dan kepenuhan yang utuh, menurut undang-undang No. 7 tahun 1984. Oleh karena itu, kawin paksa dipandang sebagai pelanggaran hukum internasional yang perlu diakhiri dan dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan undang-undang dasar Indonesia, yang melindungi dari diskriminasi dan menjamin kebebasan dari segala macam perlakuan diskriminatif, bahkan dalam hal memilih pernikahan. Lebih jauh, diyakini bahwa setiap orang memiliki hak yang tidak dapat dicabut atas kebebasan hati nurani dan berpikir, yang tidak dapat dibatasi dengan cara apa pun (Marzuki & Siroj, n.d.).

Selain pelecehan dan kekerasan seksual, kekerasan domestik juga menjadi salah satu pelanggaran HAM yang terjadi pada perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi pada perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga berasal dari perselisihan antara pasangan atau antara orang tua dan anak-anaknya yang terjadi di dalam rumah dan memicu kekerasan. Dalam sebuah keluarga, konflik di rumah sangat sering terjadi; yang berbeda adalah bagaimana masalah ini ditangani dan diselesaikan. Setiap anggota keluarga akan mendapat pelajaran penting dari tantangan tersebut jika diselesaikan dengan benar. Di sisi lain, kekerasan dalam rumah tangga akan diakibatkan oleh resolusi konflik yang tidak sehat, yang akan membuat konflik semakin sering terjadi (Wibowo, 2021).

Ada perbedaan antara pria dan wanita. Perempuan secara konsisten menempati peringkat kedua dalam berbagai kegiatan, dan diskriminasi terhadap mereka terus berlanjut dan seringkali cukup rentan. Faktanya, karakter pria dan wanita sangat berbeda satu sama lain saat ini. Telah terjadi kekerasan terus-menerus terhadap perempuan sejak lama, yang membuat banyak dari mereka terus-menerus dirugikan dan kecewa sepanjang hidup mereka. Jika situasi seperti ini dibiarkan berlanjut, perempuan akan menderita untuk jangka waktu yang lebih lama karena mereka akan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk tumbuh sebagai individu, berkontribusi pada pembangunan, dan menikmati buah dari kemajuan bangsanya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), terjadi peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tiga tahun terakhir. Pada kenyataannya, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur yang berada dalam kesulitan hukum. KAPPA mendokumentasikan 9.637 insiden kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2018. Terjadi peningkatan sebanyak 11.105 instans pada tahun 2019. Mulai tahun 2020, terdapat 523 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 787 kasus kekerasan terhadap perempuan antara tanggal 29 Februari 2020 hingga 10 Juni 2020 (Wibowo, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun