Mohon tunggu...
Valiza Sabina Handini
Valiza Sabina Handini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Perempuan di Indonesia

6 Juli 2024   14:48 Diperbarui: 6 Juli 2024   14:57 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Valiza Sabina Handini (202210415183), Mata Kuliah Ilmu Politik, Kelas4A2, Dosen Pengampu: Saeful Mujab, S.Sos., M. IKom. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

ABSTRAK

Menurut para ahli, hak asasi manusia adalah kebebasan dasar yang dianugerahkan kepada semua orang sejak lahir oleh Tuhan. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkannya sebagai hak yang melekat pada setiap orang, yang tanpanya hak asasi manusia tidak dapat dijamin atau dilindungi. Universalitas, atau gagasan bahwa semua orang memiliki hak yang sama tanpa memandang ras, agama, suku, atau kelas sosial mereka, adalah ciri utamanya. Konsep kebangsaan Pancasila menjadi landasan bagi proses hak asasi manusia di Indonesia, di mana nilai yang diharapkan merupakan faktor krusial bagi warga negara yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai warga negara. Pelanggaran HAM pada perempuan sering kali terjadi dan banyak sekali bentuknya. Contohnya ada pelecehan seksual, pernikahaan paksa dan lain sebagainya. Kemampuan untuk mengambil berbagai bentuk, seperti tindakan fisik, seksual, dan nonfisik (psikologis), dilakukan secara langsung atau tidak langsung (pasif), dan niat pelaku atau ketiadaan, itulah yang mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan. Korban mungkin mengalami kerugian fisik, seksual, atau psikologis sebagai akibat dari pelecehan tersebut, yang tidak diinginkan oleh korban. Perundang-undangan yang menyatakan tentang pidana pelanggaran HAM pun masih belum bisa melindungi hak-hak perempuan di Indonesia.

Kata Kunci: Hak asasi manusia, Perempuan, Diskriminasi, Perlindungan

Latar Belakang

Perempuan sering kali mendapatkan kekerasa secara fisik maupun seksual, hak asasi manusia terkadang tidak membantu untuk memberi keadilan kepada Perempuan. Tak jarang rasanya jika mendengar adanya kerugian yang hanya dialami Perempuan. Bahkan, pada pandangan sosial pun perempuan masih dipandang lemah dan selalu disalahkan. Mulai dari harus tunduk kepada laki-laki sebagai bentuk bakti, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena perempuan hanya akan berakhir menjadi ibu rumah tangga. Dengan adanya pembentukan sosial seperti itu dan bahkan sistem sosial tersebut dibuat oleh perempuan itu sendiri sehingga menggungkan hak asasi manusia untuk perempuan terasa sangat sulit dan tabu.

Menurut para ahli, hak asasi manusia adalah kebebasan dasar yang dianugerahkan kepada semua orang sejak lahir oleh Tuhan. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkannya sebagai hak yang melekat pada setiap orang, yang tanpanya hak asasi manusia tidak dapat dijamin atau dilindungi. Universalitas, atau gagasan bahwa semua orang memiliki hak yang sama tanpa memandang ras, agama, suku, atau kelas sosial mereka, adalah ciri utamanya. Konsep kebangsaan Pancasila menjadi landasan bagi proses hak asasi manusia di Indonesia, di mana nilai yang diharapkan merupakan faktor krusial bagi warga negara yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai warga negara (Julia Anggraeni, n.d.). Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan konvensi internasional lainnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tetap memiliki arti penting sebagai deklarasi hak asasi manusia. yang mana DUHAM menjadi sumber utama saat menyusun perjanjian hak asasi manusia internasional. Akibatnya, DURHAM sangat penting bagi perkembangan hak asasi manusia. Karena perkembangan ini, DURHAM sekarang menjadi komponen hukum adat internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara bertahap mendekati status hukum adat yang mengikat, yang juga bersifat mengikat secara politik. Dalam hal proklamasi ini dilanggar, maka diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia (Batuwael et al., 2023).

Kekejaman hak asasi manusia terhadap perempuan masih berlanjut hingga hari ini di Afghanistan di bawah Taliban. Di bawah bimbingan Mullah Umar, pemerintah Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan pada tahun 1966 dan berpegang pada interpretasi kaku pemerintah Taliban terhadap prinsip-prinsip Islam. rezim Taliban, yang mengakibatkan pemberlakuan undang-undang yang membatasi kebebasan rakyat di Afghanistan. Pada tahun 2001, kepemimpinan akhirnya berakhir, dan pemerintahan yang demokratis menggantikannya. Perempuan merasa agak lebih terbebaskan untuk berpartisipasi dalam kegiatan di bawah sistem demokrasi ini, meskipun ada batasan tertentu (Batuwael et al., 2023). Intinya, undang-undang yang berlaku merupakan cerminan dari sudut pandang sosial yang berlaku pada saat undang-undang tersebut dibuat. Hukum adalah produk budaya. Salah satunya adalah cara sistem hukum menanggapi kasus-kasus yang melibatkan pornografi terhadap perempuan hingga saat ini telah menunjukkan lebih banyak aspek budaya yang meresapi masyarakat dan menstigmatisasi serta lebih menekankan pada perempuan (Nurfitria et al., 2023). 

Pertanyaan Penulisan

  • Apa saja pelanggaran HAM pada perempuan?
  • Bagaimana peran negara menangani pelanggran HAM pada perempuan?

Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk pelanggararan HAM pada perempuan. Untuk menginformasikan peran negara terhadap pelanggaran HAM pada perempuan kepada pembaca sehingga pembaca dapat menghindari pelanggaran HAM pada perempuan.

Tinjuan pustaka

Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah seperangkat kebebasan mendasar yang tidak dapat dicabut oleh semua ciptaan Tuhan yang terhormat. Hak-hak ini harus ditegakkan, dipromosikan, dan dijaga dalam masyarakat, bangsa, dan negara oleh pemerintah, negara, hukum, dan setiap individu. Pernyataan bahwa hak asasi manusia bersifat universal didasarkan pada kenyataan bahwa penerapannya melampaui waktu, lokasi, dan batas-batas negara, dan bahwa tidak ada yang dapat mencuri, memisahkan, atau melanggarnya. Setiap manusia membutuhkan hak asasi manusia untuk menggunakannya sebagai alat pertahanan diri dan pelestarian martabat (Batuwael et al., 2023).

Hak asasi manusia juga dikenal sebagai norma hukum yang mendorong perlindungan semua orang di seluruh dunia dari pelanggaran atau pengabaian dalam konteks sosial, politik, dan hukum. Kita sampai pada masalah yang lebih mendasar ketika kita berbicara tentang hak asasi manusia. Kebebasan seseorang untuk melakukan atau memiliki apa pun adalah jenis hak. Hak-hak ini memberikan pembelaan terhadap mereka yang mungkin menyakiti individu atau menyebabkan kerusakan pada mereka. Hak asasi manusia sering dilanggar ketika masyarakat tidak menerima gagasan tersebut. Contoh pelanggaran tersebut antara lain perbudakan, ketidakadilan, intoleransi, diskriminasi, dan penindasan (Ahmad Agung Setya Budi, 2023).

HAM Pada Perempuan

Hak asasi manusia bagi perempuan adalah hak-hak yang menjadi hak perempuan karena dirinya adalah perempuan atau manusia (Handayani, 2015). Berbagai sistem hukum hak asasi manusia memberikan peraturan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia memiliki ketentuan yang berkaitan dengan pengakuan hak-hak perempuan (Kania, 2015). Kerangka hukum hak asasi manusia yang dipertimbangkan meliputi sistem nasional dan internasional (Aswandi & Roisah, 2019) (Aniqurrohmah, 2023).

Adapun klasifikasi komponen besar yang merupakan jenis-jenis hak perempuan antara lain hak perempuan dalam politik, hak perempuan dalam kewarganegaraan, hak perempuan dalam pekerjaan, hak perempuan dalam kesehatan, hak perempuan di mata hukum, hak perempuan dalam pernikahan dan lain-lain. Ada banyak jenis hak-hak perempuan yang terkandung dalam pengaturan sistem hukum baik dalam instrumen internasional maupun hukum nasional (Hamzah & Salsabila, 2024).

Metode Penulisan

Artikel ini ditulis dengan metode penulisan kepustaan dengan menggunakan jurnal-jurnal ilmiah dan buku untuk menyusun artikel ini. Menurut Miqzaqon T. dan Purwoko, penelitian perpustakaan merupakan kajian yang menggunakan berbagai sumber perpustakaan, antara lain dokumen, buku, majalah, cerita sejarah, dan lainnya, untuk mengumpulkan informasi dan data. Menurut Asmendri (2020), pengumpulan data sekunder digunakan dalam penelitian ini. Secara khusus, data diperoleh secara tidak langsung melalui literatur, buku, dan jurnal terkait diskusi. Setelah pengumpulan data, materi dianalisis dengan menggunakan temuan analisis deskriptif dari studi pustaka (Abduh et al., 2022).

Hasil dan Pembahasan

Pelanggaran HAM pada perempuan sering kali terjadi dan banyak sekali bentuknya. Contohnya ada pelecehan seksual, pernikahaan paksa dan lain sebagainya. Kemampuan untuk mengambil berbagai bentuk, seperti tindakan fisik, seksual, dan nonfisik (psikologis), dilakukan secara langsung atau tidak langsung (pasif), dan niat pelaku atau ketiadaan, itulah yang mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan. Korban mungkin mengalami kerugian fisik, seksual, atau psikologis sebagai akibat dari pelecehan tersebut, yang tidak diinginkan oleh korban. Sepanjang sejarah manusia, kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fenomena yang tersebar luas dan mendunia selama berabad-abad. Ada beberapa konteks kekerasan semacam ini dalam kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Memang, dalam kasus tertentu, kekerasan ini dapat dikualifikasikan sebagai masalah transnasional (Hamzah & Salsabila, 2024).

Pelecehan seksual adalah pelanggaran HAM paling sering dialami perempuan. Contohnya adalah revenge porn. Tindakan mempublikasikan gambar atau video eksplisit orang lain secara online tanpa izin orang tersebut dalam upaya untuk mempermalukan atau membalas dendam dikenal sebagai revenge porn atau porno balas dendam. Jelas bahwa ini melanggar hak seseorang atas keamanan dan privasi. Tahun 2014 melihat pengenalan hukuman pidana untuk pornografi balas dendam di California, sebuah langkah yang kemudian diadopsi oleh beberapa negara bagian dan negara lain di seluruh dunia. Namun, pornografi balas dendam masih legal di banyak negara. Meskipun pornografi balas dendam tidak secara khusus menyebutkan hak asasi manusia, hal itu tetap melanggar hak masyarakat atas privasi, keamanan, otonomi, dan martabat. Sejumlah perjanjian hak asasi manusia internasional, termasuk Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, mengakui dan membela hak-hak ini. Sebagian besar negara di dunia memandang balas dendam porno sebagai semacam pelecehan seksual dan melarangnya sebagai kejahatan. Selain itu, banyak negara telah memberlakukan undang-undang yang secara khusus menargetkan pelaku balas dendam porno. Tetapi untuk menghentikan revenge porn, orang perlu berhati-hati saat mengungkapkan informasi pribadi dan waspada terhadap virus dan spyware yang dapat digunakan untuk menangkap atau mencuri gambar atau video (Nurfitria et al., 2023).

Mengenai pembelaan hak asasi manusia, sangat penting untuk melindungi perempuan dan anak-anak karena mereka memiliki hak untuk hidup dan kebebasan dari perbudakan atau bentuk kerja paksa lainnya. Hak-hak ini dipandang sebagai hak asasi manusia yang abadi dan dapat diterapkan secara universal, yang menyiratkan bahwa setiap orang berhak atasnya tanpa memandang usia, jenis kelamin, asal usul, atau agamanya. Oleh karena itu, setiap negara dituntut untuk menjunjung tinggi hak-hak tersebut tanpa terkecuali (Hamzah & Salsabila, 2024).

Beberapa negara telah memberlakukan undang-undang yang melarang pornografi balas dendam dan mengakui martabat manusia dan hak privasi melalui tindakan pencemaran nama baik dan perlindungan privasi. Pornografi pembalasan tidak secara khusus legal di negara lain, sehingga sulit untuk menghukum pelanggar. Meskipun tidak ada peraturan eksplisit yang berkaitan dengan pornografi balas dendam, mereka yang terlibat di dalamnya dapat menghadapi hukuman pidana berdasarkan aturan relevan berikut:

  • Menurut Pasal 281 KUHP (KUHP), jika seseorang dengan sengaja melanggar kesusilaan di depan orang yang hadir tanpa persetujuannya, dapat dikenakan denda atau hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Lebih jauh, Pasal 282 pada dasarnya menjelaskan larangan mentransmisikan, menampilkan, atau menggunakan gambar atau artefak yang isinya dianggap menjijikkan secara moral.
  • Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik diubah dengan UU No. 19 tahun 2016. Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (1), siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa izin membuat dokumen yang memuat konten asusila dapat diakses, dikirimkan, atau disebarluaskan dapat menghadapi pidana penjara hingga enam tahun dan/atau denda sebesar satu juta rupiah. Pendistribusian dapat dilihat sebagai tindakan menggunakan sistem elektronik untuk mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi atau dokumen elektronik kepada banyak penerima.
  • UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi. Menurut Pasal 29, jika seseorang membuat, mereproduksi, memproduksi, menyiarkan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit atau implisit mengandung ketelanjangan, alat kelamin, onani atau onani, persetubuhan, dan hal-hal lain sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), mereka berisiko dipenjara untuk jangka waktu antara enam bulan sampai dua belas tahun atau denda sebesar Rp. 250.000.000 hingga Rp. 6.000.000.000.

Masih banyak korban kejahatan porno balas dendam, terutama perempuan, yang mendapat tekanan fisik dan psikologis. Banyak korban yang masih belum mengetahui apa yang harus dilakukan jika merasa terancam menyebarkan konten yang menyinggung. Selain itu, banyak korban tetap takut untuk memberikan informasi kepada pihak berwenang karena kurangnya perlindungan hukum yang memadai dan kemungkinan menghadapi tuntutan pidana karena berbagi konten pornografi. Masih banyak korban kejahatan porno balas dendam, terutama perempuan, yang mendapat tekanan fisik dan psikologis. Banyak korban yang masih belum mengetahui apa yang harus dilakukan jika merasa terancam menyebarkan konten yang menyinggung. Selain itu, banyak korban tetap takut untuk memberikan informasi kepada pihak berwenang karena kurangnya perlindungan hukum yang memadai dan kemungkinan menghadapi tuntutan pidana karena berbagi konten pornografi (Nurfitria et al., 2023).

Ketidakcukupan perlindungan hukum dalam kaitannya dengan rumitnya situasi yang melibatkan pelecehan seksual menyebabkan impunitas, pengulangan, dan frustrasi korban dalam mengejar keadilan, kebenaran, dan reparasi. Jumlah kasus kekerasan seksual tidak berkorelasi dengan adanya kerangka hukum yang lengkap. Negara masih belum menganggap serius perlindungan perempuan Indonesia dari kekerasan berbasis gender. Undang-undang menjadi tidak peka terhadap kesulitan perempuan karena paradigma hukum yang baru tidak dapat mengimbangi evolusi masyarakat yang pesat (Khristianti Weda Tantri, 2021).

Selain revenge porn, contoh pelanggran HAM pada perempuan adalah pernikahan paksa. Kawin paksa sebenarnya bertentangan dengan hak asasi manusia karena dilakukan atas keinginan salah satu atau kedua belah pihak, melainkan di bawah tekanan atau bahkan ancaman. Di sisi lain, diakui dengan baik bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing, yang dijamin oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang kawin paksa, misalnya Anis Aljalis Rahmah dkk. Penelitian menjelaskan bahwa orang tua yang menikahkan anaknya bertentangan dengan keinginannya melakukannya untuk meringankan beban materi dan tanggung jawabnya karena, dari sudut pandang mereka, ketika anaknya menikah, mereka tidak lagi bertanggung jawab atas anaknya (Rahmah, Sumadi, dan Rudi 2020). Ini menunjukkan dengan tegas bahwa beberapa orang tua masih percaya bahwa membesarkan anak adalah beban dan kewajiban bagi mereka, dan bahwa cara terbaik untuk membebaskan mereka dari beban ini adalah dengan memaksa pria pilihan mereka untuk menikahi putri mereka sesegera mungkin (Ahmad Agung Setya Budi, 2023).

Karena banyaknya perkawinan paksa, maka banyak juga perkawinan yang dilangsungkan oleh orang tua kepada anaknya yag masih dibawah umur. Perempuan sering menghadapi diskriminasi, terutama di daerah pedesaan di mana pernikahan remaja merupakan hal yang tabu secara sosial yang mengabaikan hak-hak perempuan. Sudah waktunya bagi perempuan untuk mengalami perubahan paradigma di mana mereka diperlakukan secara adil, diberi status yang setara, dan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dengan laki-laki. Paksaan perempuan berbentuk pernikahan di bawah umur. Alasannya karena wanita yang menikah sebelum mencapai usia dewasa harus memikul tanggung jawab fisik atau psikologis. Hak-hak anak dilanggar, terutama bagi perempuan yang sudah menikah (Junida Maudian et al., n.d.).

Menurut justifikasi yang diberikan di atas, pernikahan di bawah umur melanggar hak-hak perempuan dan terkait dengan hak asasi manusia, artinya hak-hak perempuan tidak dijaga. Penegasan hak-hak perempuan dalam UUD 1945 harus dihormati. "Perempuan berhak atas perlindungan khusus dalam menjalankan usaha atau profesinya dari masalah-masalah yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatannya sehubungan dengan masalah reproduksi fungsi perempuan," demikian Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. "Hak-hak khusus yang melekat pada perempuan karena peran reproduksinya, dijamin dan dilindungi undang-undang," menurut Pasal 49 ayat 3. Selanjutnya, "setiap orang yang sehat, baik jasmani, rohani, maupun sosial, dapat membiarkan dirinya menjalani kehidupan yang produktif secara sosial," menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (Junida Maudian et al., n.d.).

Setiap negara diwajibkan untuk menjamin bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal memasuki lembaga perkawinan dan memilih pasangan dengan kebebasan dan kepenuhan yang utuh, menurut undang-undang No. 7 tahun 1984. Oleh karena itu, kawin paksa dipandang sebagai pelanggaran hukum internasional yang perlu diakhiri dan dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan undang-undang dasar Indonesia, yang melindungi dari diskriminasi dan menjamin kebebasan dari segala macam perlakuan diskriminatif, bahkan dalam hal memilih pernikahan. Lebih jauh, diyakini bahwa setiap orang memiliki hak yang tidak dapat dicabut atas kebebasan hati nurani dan berpikir, yang tidak dapat dibatasi dengan cara apa pun (Marzuki & Siroj, n.d.).

Selain pelecehan dan kekerasan seksual, kekerasan domestik juga menjadi salah satu pelanggaran HAM yang terjadi pada perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi pada perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga berasal dari perselisihan antara pasangan atau antara orang tua dan anak-anaknya yang terjadi di dalam rumah dan memicu kekerasan. Dalam sebuah keluarga, konflik di rumah sangat sering terjadi; yang berbeda adalah bagaimana masalah ini ditangani dan diselesaikan. Setiap anggota keluarga akan mendapat pelajaran penting dari tantangan tersebut jika diselesaikan dengan benar. Di sisi lain, kekerasan dalam rumah tangga akan diakibatkan oleh resolusi konflik yang tidak sehat, yang akan membuat konflik semakin sering terjadi (Wibowo, 2021).

Ada perbedaan antara pria dan wanita. Perempuan secara konsisten menempati peringkat kedua dalam berbagai kegiatan, dan diskriminasi terhadap mereka terus berlanjut dan seringkali cukup rentan. Faktanya, karakter pria dan wanita sangat berbeda satu sama lain saat ini. Telah terjadi kekerasan terus-menerus terhadap perempuan sejak lama, yang membuat banyak dari mereka terus-menerus dirugikan dan kecewa sepanjang hidup mereka. Jika situasi seperti ini dibiarkan berlanjut, perempuan akan menderita untuk jangka waktu yang lebih lama karena mereka akan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk tumbuh sebagai individu, berkontribusi pada pembangunan, dan menikmati buah dari kemajuan bangsanya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), terjadi peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tiga tahun terakhir. Pada kenyataannya, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur yang berada dalam kesulitan hukum. KAPPA mendokumentasikan 9.637 insiden kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2018. Terjadi peningkatan sebanyak 11.105 instans pada tahun 2019. Mulai tahun 2020, terdapat 523 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 787 kasus kekerasan terhadap perempuan antara tanggal 29 Februari 2020 hingga 10 Juni 2020 (Wibowo, 2021).

Selain menderita dan jatuh sakit akibat melihat kekerasan, korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya disalahkan atau merasa bertanggung jawab karena menghasut emosi laki-laki untuk menggunakan kekerasan. Mereka juga sering dilarang berkelahi atau tidak diperbolehkan berkelahi. Sementara anak perempuan akan belajar untuk menghindari berhubungan dengan laki-laki, mengembangkan fobia yang berhubungan dengan menikah atau memiliki anak laki-laki, dan mengalami bentuk kecemasan traumatis lainnya, anak-anak yang menyaksikan bahkan mereka yang juga menjadi korban kekerasan biasanya belajar untuk melakukan tindak kekerasan yang dilakukan ayah mereka. Oleh karena itu, insiden kekerasan dalam rumah tangga mengakibatkan sejumlah masalah psikologis yang berlangsung lama bagi korban, pelaku, atau keturunannya (Deborah, Muthmainnah, Herlinda & Tanawi, 2018).

Beberapa gerakan advokasi perempuan muncul sebagai akibat dari ketidakadilan terhadap perempuan dalam pandangan masyarakat terhadap mereka, salah satunya adalah gerakan feminis. Feminisme seringkali muncul dari keyakinan bahwa perempuan telah mengalami perlakuan yang tidak adil dalam masyarakat, dengan tujuan untuk mengedepankan pendapat laki-laki dan kepentingan mereka yang beragam mengenai gerakan sosial dan instrumen analisis. Banyak lagi cedera, baik fisik maupun non-fisik, juga disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga. Cedera fisik yang diderita oleh korban biasanya berkisar dari ringan hingga parah, memerlukan perhatian medis dari para profesional karena dapat berakibat fatal. Selain itu, pada kenyataannya, kekerasan dalam rumah tangga dapat mengakibatkan trauma psikologis dan kerusakan non-fisik dengan membuat korban takut akan bahaya yang serius (Rahmi & Suryaningsi, 2022).

Korban kekerasan dalam rumah tangga Hingga saat ini belum ada yang menggunakan haknya untuk didampingi oleh kuasa hukum, karena kebanyakan yang melakukannya adalah tersangka atau tergugat dalam kasus pidana. Perintah perlindungan belum diajukan ke pengadilan distrik setempat oleh siapa pun. Perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga harus tersedia sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang diuraikan dalam undang-undang. Penyelidik telah mengambil tindakan khusus untuk melindungi dan mengamankan korban selama penyelidikan. Tindakan tersebut antara lain menggelar penyidikan di ruangan khusus yang menjamin keamanan dan privasi korban, melibatkan polisi perempuan dalam semua penyidikan, meminta bantuan psikolog, menghubungkan korban dengan instansi terkait selama penyidikan, dan mengupayakan upaya hukum lain yang diperlukan.untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga terulang Kembali (Rahmi & Suryaningsi, 2022).

Peran Negara Dalam Mengatasi Pelanggaran HAM pada Perempuan

Setelah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi pada perempuan, yang bisa dilakukan oleh negara adalah berpegang teguh pada Undang-Undang. Penerapan dan penerapan UUD 1945 dapat berdampak pada bagaimana negara dan para pemimpinnya mendewasakan dan membentuk zaman. Hak asasi manusia dijamin oleh pasal-pasal UUD 1945 yang memajukan proses pembentukan kerangka hukum suatu bangsa, memperkuat kesepakatan rakyat dengan penguasanya, dan dapat menghidupkan kembali konstitusionalisme Indonesia. Kemampuan untuk bertindak secara sewenang-wenang dan jaminan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia dapat dibatasi dengan adanya amandemen. Artikel tentang hak asasi manusia mempromosikan kemajuan dan peradaban martabat manusia.

Masalah utama dengan hak asasi manusia adalah bahwa hak tersebut telah dideklarasikan tetapi tidak benar-benar dipraktikkan. Hak asasi manusia seringkali dibayangi oleh antusiasme umum melalui rapat, komite, deklarasi, dan formalitas lainnya, dengan sedikit atau tanpa dampak nyata dalam melindungi pemegang hak (De Gaay, 2006: 263). Akibatnya, diperlukan pemeriksaan menyeluruh terhadap proses implementasi, termasuk studi tentang dasar-dasar dan dinamika proses yang sebenarnya. khususnya dalam pemahaman hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia untuk kesejahteraan perempuan dan perlunya identifikasi atau tindak lanjut untuk mencegah kesalahan mencolok yang berkaitan dengan gender. Undang-undang hak asasi manusia di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Kebebasan bergerak perempuan, kemampuan untuk bekerja di luar rumah, dan perlindungan dari penyerangan adalah salah satu hak mereka yang paling mendasar. Namun, pada kenyataannya, diskriminasi terhadap perempuan masih lazim di banyak berita di seluruh dunia. Fakta bahwa isu-isu ini ada menunjukkan betapa sedikitnya penghargaan yang diterima hak-hak perempuan dalam interaksi sosial. Marsinah, seorang pekerja di Indonesia yang memperjuangkan haknya untuk menuntut kompensasi tenaga kerja yang lebih tinggi, adalah salah satu contoh bagaimana pelanggaran HAM di negara tersebut (Saputri & Rinenggo, 2023).

 Meskipun pekerja perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama di bawah norma-norma, status perempuan di bidang ketenagakerjaan secara keseluruhan belum sepenuhnya disikapi. Pelaksanaan perlindungan hak-hak perempuan dan penerapan hak asasi manusia terhadap perempuan harus terjadi jika UUD memuat jaminan yuridis formal atas hak-hak pekerja perempuan. Namun isu pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan tetap ada dan mengambil banyak bentuk, dengan laki-laki mengendalikan sebagian besar aktornya. Hak asasi manusia didefinisikan sebagai "...seperangkat hak yang melekat dalam kodrat dan eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan martabat dan martabat manusia" dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

Semua undang-undang dan peraturan harus sesuai dengan undang-undang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip yang digariskan di dalamnya untuk perlindungan hak asasi manusia. Penghapusan diskriminasi atas dasar agama, ras, suku, kelompok, kelas, kedudukan sosial, kedudukan ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan opini politik adalah salah satunya. Pasal 3 Ayat (3) undang-undang hak asasi manusia yang menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi" juga melarang diskriminasi. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) mengatur bidang ketenagakerjaan dan memberikan perlindungan kepada pekerja, laki-laki dan perempuan. Secara khusus, Pasal 5 dan 6 undang-undang ketenagakerjaan menyatakan bahwa ada persamaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan di pasar tenaga kerja, tanpa diskriminasi. "Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan tanpa diskriminasi," kata Pasal 5. Pasal 6 menyatakan bahwa "setiap pekerja / buruh berhak atas perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari atasan".

Berbagai aturan nasional dan internasional mengatur hak-hak perempuan yang bekerja. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dengan undang-undang No. 7 tahun 1984, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8 Per-04/Men/1989 tentang Syarat dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari, serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Kep. 224 / Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan Antara pukul 23.00 hingga 07.00 termasuk di antaranya (Adityarani, n.d.).

Legitimasi hukum menunjukkan bahwa, dalam konteks legitimasi hukum yang sah, masyarakat dapat dimintai pertanggungjawaban atas penerapan dan ketaatan terhadap wacana hak asasi manusia daripada menanggung akibatnya jika tidak (Diehl, et al., 2003: 52). Hak asasi manusia sebagai prinsip dasar hukum dapat membentuk masyarakat yang berintegritas. Hak asasi manusia yang ditetapkan secara hukum membutuhkan pemaksaan agar orang dapat menjalankan dan menjunjung tinggi hak tersebut. Selain itu, hak asasi manusia berfungsi sebagai alat politik dan sumber hukum. Dapat dipahami bahwa penggunaan hak asasi manusia sebagai alat politik menjadi acuan tindakan yang diambil untuk menjatuhkan kewajiban kepada mereka yang menggunakan haknya untuk memenuhi kewajibannya dan menuai keuntungan (Halpin, 1997: 90). Kebebasan pemegang hak untuk membuat undang-undang untuk mendapatkan hasil yang relevan. Agar persepsi tersebut benar-benar berorientasi pada aktivitas yang memajukan hak asasi manusia-tidak hanya dalam regulasi yang memaksa, tetapi juga dalam percakapan dengan pemegang hak-hak asasi manusia harus diidentifikasi secara induktif. Jika norma dan peraturan dipatuhi, hal ini dapat digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia, khususnya dalam pengaturan transisi (Hadiprayitno, 2009: 376).

Fokus gerakan hak asasi manusia telah beralih ke isu-isu perempuan. lima puluh tahun setelah adopsi Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia. "Manusia akan dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan haknya," kata yang pertama. Hukum hak asasi manusia dikritik oleh kaum feminis karena menengahi ranah publik dan privat. Hal ini menunjukkan bagaimana ketidakmampuan sistem hak asasi manusia untuk memajukan hak-hak perempuan bersumber dari kepatuhannya pada teori hukum bahwa sektor swasta eksis secara independen dari negara. Landasan hukum Konvensi Menentang Perempuan (CEDAW), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan Instrumen Nasional Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Bagian 9 yang memuat tujuh ketentuan mulai dari pasal 45 sampai dengan pasal 51.

Kesimpulan

Pelanggaran HAM kepada perempuan masih sering terjadi, walau ada beberapa undung-undang yang mengatur tentang HAM pada perempuan, nyatanya masih banyak perempuan yang merasa terintimidasi sehingga takut untuk melapor. Beberapa pelanggaran HAM pada perempuan terbilang cukup tabu di negara ini, sehingga banyak perempuan yang malu dan enggan untuk melapor karena takut dikucilkan. Pelanggaran HAM pada perempuan yang harusnya menjadi masalah besar malah dibiarkan begitu saja. Karena banyaknya normalisasi dan tidak ada aksi dari korbannya itu sendiri.

Pelecehan seksual, KDRT, hingga nikah paksa yang dialami oleh sebagian persen perempuan membuat perempuan merasa tidak aman dan selalu was-was kemanapun mereka pergi. Pelanggaran HAM dapat dicegah dengan kesadaran oleh masyarakat umum dan membantu menyuarakan keadilan dari diskriminasi hak asasi manusia, khusunya perempuan.

Saran

Sebagai masyarakat umum, kita harus mulai menyadari dan melaporkan jika ada pelanggaran HAM pada perempuan di sekitar kita. Mulai peka dan bantu sebisa kita sudah cukup untuk memutus rantai diskriminasi hak-hak asasi perempuan. Kuatkan hukum dan pidana yang sudah ada di undang-undaung yang sudah disertakan penulis di tulisan ini agar perempuan mendapatkan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M., Alawiyah, T., Apriansyah, G., Sirodj, R. A., & Afgani, M. W. (2022). Survey Design: Cross Sectional dalam Penelitian Kualitatif. Jurnal Pendidikan Sains Dan Komputer, 3(01), 31--39. https://doi.org/10.47709/jpsk.v3i01.1955

Adityarani, N. W. (n.d.). Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan Sebagai Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Dan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Di Indonesia.

Ahmad Agung Setya Budi. (2023). Kawin Paksa Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Konteks Kajian Hak Asasi Manusia. Jurnal Dunia Ilmu Hukum (JURDIKUM), 1(2), 44--49. https://doi.org/10.59435/jurdikum.v1i2.168

Aniqurrohmah, S. F. L. (2023). Kesetaraan Gender Dan Nilai Nilai Yang Terkandung Di Dalamnya Menurut Hak Asasi Manusia. Jurnal Dunia Ilmu Hukum (JURDIKUM), 1(2), 50--56. https://doi.org/10.59435/jurdikum.v1i2.170

Batuwael, V., Hanafia, I. H., & Leatemia, W. (2023). Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perempuan Dan Tanggung Jawab Negara. Study Review, 1, 103--113. https://doi.org/10.56301/awl.v4i1.256

Hamzah, M., & Salsabila, M. (2024). Pemberdayaan Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia. Jurnal Locus Penelitian Dan Pengabdian, 3(4), 343--356. https://doi.org/10.58344/locus.v3i4.2567

Wibowo, D. (2021). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAPKORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HAK ASASI MANUSIA SELAMA PROSES PENYIDIKAN. Jurnal USM Law Review, 4(2).

Julia Anggraeni, E. (n.d.). TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KEKERASAN PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (OVERVIEW OF HUMAN RIGHTS AGAINST WOMEN'S VIOLENCE IN LEGAL REGULATIONS). Maret, 2(1), 27--38.

Junida Maudian, F., Muslimin, A., & Shulton, H. (n.d.). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK PEREMPUAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM). Ilmu Syari'ah, 4, 2023.

Khristianti Weda Tantri, L. M. (2021). Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia. Media Iuris, 4(2), 145. https://doi.org/10.20473/mi.v4i2.25066

Marzuki, I., & Siroj, A. M. (n.d.). PEMAKSAAN PERKAWINAN DALAM KONTEKS KAJIAN HAK ASASI MANUSIA DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL.

Nurfitria, D., Anggraeni, I., Ramadhani, N., & Maulida, W. (2023). REVENGE PORN TIDAK MENDAPAT PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA. ADVANCES in Social Humanities Research, 1(5).

Rahmi, A. H., & Suryaningsi, S. (2022). Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Samarinda. Nomos: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, 2(3), 82--92. https://doi.org/10.56393/nomos.v1i5.581

Saputri, R. M., & Rinenggo, A. (2023). Pengaturan Hak Asasi Manusia bagi Perempuan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. 11(01). https://ejournal.undaris.ac.id/index.php/waspada

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun