Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi Bukan Sekedar Basa-Basi, Perlu Diejawantahkan Sebagai Jaminan Keutuhan NKRI

22 Maret 2023   17:49 Diperbarui: 22 Maret 2023   18:49 18540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sumber gambar: maxmonroe.com

"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

 - Bung Karno -

Toleransi antar umat beragama adalah Nilai Luhur Bangsa yang perlu diejawantahkan  sebagai Jaminan Keutuhan NKRI dalam jangka panjang yang akan melalui berbagai tantangan yang akan dihadapi negara, baik segenap warga negara serta penyelenggara negara. 

Tantangan-tangan tersebut, bukanlah hal mudah. Oleh karena itu memerlukan, komitmen, penegakan hukum dan kesadaran penuh seluruh komponen negara di era globalisasi yang kadang tidak menentu. Terlebih lagi kewaspadaan akan ancaman yang berasal dari dalam negeri sendiri.

Perayaan Hari Besar umat beragama dapat dimungkinkan hampir bersamaan, atau berdekatan. Belum tentu jatuh pada tanggal yang sama,  namun pada umumnya perayaan kegiataan keagamaan yang juga dianggap suci (diluar Peryaan Hari Raya) berdasarkan penanggalan dan sistim kalender khusus yang menjadi pedoman agamanya masing-masing yang tidak dirayakan secara nasional yang ditandai dengan hari Raya Umat Beragama yang biasanya menjadi hari libur nasional.

Namun demikian, berdekatannya perayaan hari besar umat beragama, khususnya dikarenakan Agama Islam menggunakan Kalender Hijriah atau Kalender Islam yang merupakan kalender yang sistemnya dimulai sejak masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan tahun pertamanya yaitu pada saat Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622.

Menurut BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)  yang diberitakan viva.co.id (4/01/2023), hal ini berbeda dengan kalender masehi, dikarenakan panjang tahun Hijriah sebesar 12 kali periode Bulan mengorbit Bumi yakni 354,367 hari. Sementara panjang tahun Masehi didasarkan pada periode Bumi mengorbit Matahari yakni 365,242 hari.

Sedangkan peryaan Hari Raya Nyepi,  dimana berasal dari kata sepi (artinya sunyi, senyap). Yang merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan pada kalender Caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Dalam perhitungan kalender Caka, satu tahun memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa. Begitu pula pedoman kalender dari masing-masing agama lainnya.

Sehingga kebetulan saja, sesuai penanggalan Agama Islam. Pada tahun ini, perayaan Hari Raya Nyepi jatuh pada hari ini 22 Maret 2023 dan   "berdekatan" dengan diawalinya Bulan Ramadan yang jatuh pada tanggal 23 Maret 2023.

Begitu juga dengan Perayaan Tahun Baru Islam (Idul Fitri), kadang berdekatan (tidak bersamaan) perayaan Natal Umat Kristen. Menurut perhitungan BRIN, 25 Desember 2031 jatuh pada 10 Ramadan 1453 Hijriah. Sedangkan, 1 Syawal 1453 Hijriah diperkirakan jatuh pada 14 Januari 2032, sehingga, Hari Raya Idul Fitri tidak bertepatan dengan Natal pada 2031.  

Lebih lanjut menurut kesimpulan BRIN.  Sepanjang kemerdekaan Indonesia sudah dua kali Idul Fitri beriringan dengan Natal. Pertama, pada 21 Desember 1968. Kedua, pada 27 Desember 2000. Peristiwa berikutnya akan terjadi tanggal 23 Desember 2033 dan 29 Desember 2065.

Pemaknaan

Yang menjadi pertanyaan, apakah berdekatannya perayaan hari Raya (atau Hari besar) umat beragama dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi yang menggambarkan adanya harmonisasi dan terciptanya toleransi antar umat beragama di Indonesia. Jawabannya ya, namun jangan kebablasan  dan diartikan seperti frasa bahasa Jawa, yang dikenal dengan "otak-atik gathuk".

Minimal dengan adanya saling menghargai dan menghormati umat beragama untuk mempersiapkan diri, mejalankan ibadah dan merayakannya dengan khusuk adalah wujud nyata dari toleransi itu sendiri.

Contoh konkrit, dimana umat beragama lain setidaknya dapat menghormati Perayaan Hari Raya Nyepi di pulau Dewata (Bali), yang cukup ketat aturannya bahkan sudah dimulai sebelum jatuhnya tanggal perayaan. Misalnya pada Hari Raya Nyepi, harus dalam keadaan sunyi selama 24 jam, yang artinya dilakukan dengan tidak menyalakan lampu, listrik, berbicara, berangkat kerja atau sekolah  dan hal-hal lainnya yang bisa menimbulkan suara atau menunjukkan tanda kehidupan selama hari raya berlangsung.

Atau digambarkan dalam Catur Brata Penyepian meliputi 3 aturan Hari Raya Nyepi, yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), dan amati lelanguan (tidak berfoya-foya).

Pertanyaannya apakah di kediaman Umat beragama lain, melakukan hal yang sama? Tentu saja tidak. Akan tetapi mengambil intisarinya, misalnya tidak melantunkan musik yang "keras" sehingga terdengar minimal oleh tetangganya, apalagi yang bergama Hindu.

Sedangkan lebih luas daripada itu, Toleransi selama Peryaan Hari Raya Umat Beragama adalah praktek toleransi dalam kehidupan sehari sebagai warga negara yang baik sebagai bangsa yang besar dan memiliki nilai luhur dan fondasi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perlu menjadi penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan Pedoman Hidup Bangsa, Pandangan Hidup atau Falsafah Negara yang harus dijalankan dengan kesungguhan hati sebagai ideologi yang harus dijalankan tanpa merasa dipaksakan atau terbeban olehnya.

Sejarah

Kerukunan umat beragama ini, bila kita menilik catatan sejarah masa lampau. Ketika agama Hindu pada zaman kerajaan, di Indonesia berkembang pula agama Buda. Seperti pada zaman Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Maka dengan sendirinya disamping agama Hindu berkembang juga agama Budha berdampingan dalam perkembangannya. Diantara kedua agama itu, hampir tidak ada catatan terjadinya  permusuhan satu dengan yang lain.

Bahkan konon  raja sangat senang dengan adanya penganut agama Hindu dan Budha yang hidup berdampingan secara damai. Raja melindungi agama-agama yang ada, baik agama Hindu maupun agama Budha.

Keadaan itu merupakan salah satu penyebab mengapa rakyat hidup dengan tenteram. Mpu Tantular menggambarkan kehidupan kedua agama itu dengan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.

Semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut, semboyan tersebut di rumuskan oleh para pendiri bangsa, yang diadaptasi kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular sekitar abad ke-14, di bawah pemerintahan Raja Rjasanagara, yang juga dikenal sebagai Hayam Wuruk.

Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha

Oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, Kakawin Sutasoma. Dalam bahasa Jawa Kuno, kakawin artinya syair. Kakawin Sutasoma ditulis pada tahun 1851 dengan menggunakan aksara Bali, namun berbahasa Jawa Kuno.

Tepatnya kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap tertulis

"Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa,  Bhinnki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,   Bhinnka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".

Kalimat tersebut berarti "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran"

Terjemahan tersebut didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr. Soewito Santoso melalui bukunya yang berjudul "a Study in Old Javanese Wajrayana 1975:578". Terbitan New Delhi: International Academy of Culture

Dalam frasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti "Berbeda-beda, namun tetap satu jua" .

Bhinneka artinya beragam, Tunggal artinya satu, Ika artinya itu, yakni beragam satu itu. Konon, pendiri bangsa yang pertama kali menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah Moh Yamin. Dia mengucapkannya di sela-sela sidang BPUPKI. Sontak, I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh yang berasal dari Bali, menyahut dengan ucapan "Tan hana dharma mangrwa".

Dalam pendapat lain, Bung Hatta mengatakan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan Bung Karno. Gagasan tersebut secara historis diusulkan setelah Indonesia merdeka, saat momen munculnya kebutuhan untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Sebagaimana bunyi Pasal 5 sebagai berikut "Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA."

Oleh sebab itu pada alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak diamademen mempertahakankan keasliannya, ...." maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"

Maka selanjutnya kita kenal dengan Pancasila. Melalui situs Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengandung makna bahwa semua aktivitas kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari harus sesuai dengan Pancasila. Menyebutkan salah satu fungsi Pancasila, pada butir ke empat adalah bahwa bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup bisa mempersatukan masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, nilai-nilai luhur toleransi sebenarnya sudah sejak lama dijalankan secara suci dan mengikat. Salah satunya Tradisi yang penting dalam kehidupan masyarakat Maluku Tengah secara historis dan kultural adalah Pela Gandong. Tradisi Pela-Gandong pada hakikatnya merupakan hasil dan buah dariproses interaksi sosial masyarakat di kepulauan sekitar Maluku Tengah.

Tradisi Tolerasi di Budaya Masyarakat

Menurut, Althien J Pesurnay. Dalam jurnalnya berjudul. Muatan Nilai dalam Tradisi Pela Gandong di Maluku Tengah. Menjelaskan lebih lanjut menyebutkan bahwa nilai yang terkandung dalam Pela Gandong jika dilihat dari pandangan tersebut merupakan buah dari sosialitas dan kehidupan masyarakat Maluku. 

Makna dari nilai-nilai dalam Pela Gandong dalam perspektif Axiologi Max Scheler berada pada taraf nilai Vital. Nilai vital dan spiritual berarti nilai yang tidak tergantung dan tidak dapat direduksi menjadi hanya persoalan kenikmatan. Suatu nilai dapat berada lebih tinggi dari nilai lain ketika nilai tersebut menjadi dasar bagi nilai yang lain itu. Nilai Vital dalam kehidupan masyarakat Maluku muncul dalam interaksi dan sosialitasnya untuk proyeksi untuk menghadapi tantangan yang dinamis.

Pela Gandong juga dapat diposisikan ada pada taraf nilai spiritual sebab menyangkut sesuatu yang suci. Ikatan sosial yang dijalin dalam Pela Gandong mengandaikan intuisi kepada yang spiritual, tinggi, suci, suatu yang absolut. Atas dasar itulah ikatan Pela tidak pudar dan tergerus oleh ruang dan waktu.

Nilai spiritual menjadi dasar penting karena dalam kehidupan masyarakat Maluku tengah mayoritas menganut dua agama yakni Islam dan Kristen. Konsekuensinya nilai spiritual dalam komunitas kelompok yang memiliki keyakinan religi prinsip spiritualitas menjadi landasan. Setiap perjumpaan ikatan Pela dan Gandong mengandaikan landasan-landasan spiritual. 

Masyarakat antara negeri dengan sadar membangun rasa toleran yang sangat tinggi karena ikatan Pela Gandong merupakan sumpah dan perjanjian yang sungguh-sungguh. Perjanjian tersebut lantas ditaati. Dalam kehidupan masyarakat yang diikat Pela tidak terdapat sedikitpun permasalahan dalam kehidupan bersama. Nilai yang terdapat dalam tradisi Pela Gandong terwujud dalam pemaknaan sosialitas masyarakat Maluku Tengah.

Wujudnya tampak dalam praktik yang memuat prinsip-prinsip kegotongroyongan, kebersamaan, kesadaran untuk saling membantu. Sampai sekarang tradisi ini terus ada upaya agar tradisi dilestarikan dan diwariskan demi kehidupan masyarakat di Maluku Tengah hingga saat ini.

Tantangan

Kita perlu ingat pesan sang proklamator Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta, atau dikenal dan disapa Bung Hatta

Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri."

Kompleksitas persoalan yang dialami bangsa Indonesia merupakan akibat sistem penegakan hukum dan kebijakan publik yang buruk. Persoalan dalam tataran paradigmatik melahirkan masalah turunan yang pelik dan kompleks. Adab politik yang rendah, sistem pemerintahan yang lemah dan koruptif mengakibatkan stagnasi pembangunan di level lokal.

Marjinalisasi terjadi di berbagai daerah mengakibatkan ketidakmerataan pembangunan di seluruh pelosok wilayah negara. Terdapat disparitas tinggi bidang sosial-ekonomi. Selain itu kompetisi dan dominasi ekonomi yang tidak sehat ikut merusak kesatuan organik antar kelompok komunitas. Dampak buruk dari keadaan tersebut otomatis melemahkan integrasi sosio-kultural.

Ketahanan bangsa tergantung dari seberapa besar kesungguhan mempraktikkan puncak- puncak kearifan lokal yang tersebar di nusantara. Bangsa Indonesia dibangun dari nilai budaya dan kearifan yang ada di nusantara. Nilai budaya dan kearifan tersebut menjadi unsur dan bahan bagi perumusan falsafah bangsa. 

Nilai hidup masyarakat nusantara diabstraksikan sehingga berfungsi sebagai kompas bagi jalannya kehidupan bangsa. Cita cita dan arah pembangunan nasional secara legal termuat sistem hukum yang bersifat hirarkis yang mengatur kehidupan masyarakat dari tingkat pemerintah pusat sampai unit-unit kecil di tiap desa di Indonesia.

Kewajiban etis bagi praktik kehidupan berbangsa didasarkan oleh nilai-nilai kesosialan dan moralitas kebangsaan yang juga termaktub dalam Nilai-Nilai Pancasila.

Namun perlu diakui, wawasan nusantara dan integrasi sosial-budaya semakin hari semakin pudar bahkan setelah bangsa Indonesia mampu keluar dari rezim otoriter. Era yang dikenal dengan nama reformasi, dengan kata lain perubahan forma dari kekuasaan negara yang ditandai dengan runtuhnya Orde Baru. Reformasi hanya membuka ruang pluralitas budaya tetapi belum memberi kerangka kerja budaya.

Dampaknya belum tampak perbaikan nasib budaya bangsa yang wujudnya adalah budaya-budaya daerah. Pasca reformasi bermunculan konflik-konfik horizontal, gerakan-gerakan berdasarkan chauvinisme dan fundamentalisme agama yang ekstrim. Reformasi membuka ruang demokrasi bagi seluruh elemen bangsa tapi belum ada praktik sosial yang etis dan dasar hukum yang kuat

Gerak kepentingan dalam ruang demokrasi bias kepentingan kelompok oleh karenanya justru membahayakan kesatuan bangsa. Muncul fanatisme golongan, kelompok, etnisitas, serta agama dijadikan komoditas meraih kekuatan politik. Akibatnya banyak terjadi kasus intoleransi.

Semua ini harus dievaluasi dan diperkuat dengan kesadaran seluruh komponen bangsa. Bahwa tantangan ke depan tidaklah mudah bila praktek-praktek inteoleransi semakin liar, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui wadah atau sarana teknologi informasi dan komunukasi yang sangat cepat berkembang.

Kebebasan ditoleransi tanpa filter yang benar dengan tindakan pencegahan maupun tindakan nyata sesuai hukum terlebih lagi nilai-nilai budaya yang luhur yang dijabarkan lebih luas dalam butir-butir Pancasila. Kebebasan dituntut oleh masyarakat sebagai hak mendasar, tanpa menyadari kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan umum (atau media publik), harus di berikan kesadaran adanya pembatasan secara undang-undang yang berlaku secara tegas dan mengikat.

Sehingga pada kesimpulan sementara pada akhir tulisan ini, toleransi tidak hanya bisa digabarkan dengan adanyanya jarak waktu yang dekat dari perayaan besar Keagamaan satu dengan lainnya. Namun lebih dari itu, toleransi harus dijalankan dengan kesadaran penuh,  serius, suci dan konsekwen termasuk penghargaan dan penghormatan pada perbedaan suku dan ras.  

Negara ini begitu luas, sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, yang secara geopolitik sangat rentan pada disintegrasi. Bila berkaca pada berbagai negara-negara yang bubar dan menderita karena konflik yang berkepanjangan, sejujurnya kita masih beruntung. 

Oleh karena itu selain kesadaran seluruh komponen bangsa, perlu juga dikawal dengan penegakan hukum yang diawali dengan pendekatan-pendekatan budaya oleh penyelenggara negara. Jika tidak akan terbuka lebar jurang disintegrasi bangsa ke depan,

Buat Saudara-saudaraku yang beragama Hindu izinkan saya mengucapkan

Rahajeng Rahina Nyepi Warsa Anyar Saka 1945. Ngiring nargiang rahina puniki antuk kasunian lan katreptian jagat.

Dan tak lupa untuk Saudara-Saudaraku yang Beragama Muslim, Izinkan saya mengucapkan

Marhaban Ya Ramadhan Sahabat Muslim! Selamat Berbahagia menjalani Ibadah Puasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun