Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi Bukan Sekedar Basa-Basi, Perlu Diejawantahkan Sebagai Jaminan Keutuhan NKRI

22 Maret 2023   17:49 Diperbarui: 22 Maret 2023   18:49 18540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sumber gambar: maxmonroe.com

Begitu juga dengan Perayaan Tahun Baru Islam (Idul Fitri), kadang berdekatan (tidak bersamaan) perayaan Natal Umat Kristen. Menurut perhitungan BRIN, 25 Desember 2031 jatuh pada 10 Ramadan 1453 Hijriah. Sedangkan, 1 Syawal 1453 Hijriah diperkirakan jatuh pada 14 Januari 2032, sehingga, Hari Raya Idul Fitri tidak bertepatan dengan Natal pada 2031.  

Lebih lanjut menurut kesimpulan BRIN.  Sepanjang kemerdekaan Indonesia sudah dua kali Idul Fitri beriringan dengan Natal. Pertama, pada 21 Desember 1968. Kedua, pada 27 Desember 2000. Peristiwa berikutnya akan terjadi tanggal 23 Desember 2033 dan 29 Desember 2065.

Pemaknaan

Yang menjadi pertanyaan, apakah berdekatannya perayaan hari Raya (atau Hari besar) umat beragama dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi yang menggambarkan adanya harmonisasi dan terciptanya toleransi antar umat beragama di Indonesia. Jawabannya ya, namun jangan kebablasan  dan diartikan seperti frasa bahasa Jawa, yang dikenal dengan "otak-atik gathuk".

Minimal dengan adanya saling menghargai dan menghormati umat beragama untuk mempersiapkan diri, mejalankan ibadah dan merayakannya dengan khusuk adalah wujud nyata dari toleransi itu sendiri.

Contoh konkrit, dimana umat beragama lain setidaknya dapat menghormati Perayaan Hari Raya Nyepi di pulau Dewata (Bali), yang cukup ketat aturannya bahkan sudah dimulai sebelum jatuhnya tanggal perayaan. Misalnya pada Hari Raya Nyepi, harus dalam keadaan sunyi selama 24 jam, yang artinya dilakukan dengan tidak menyalakan lampu, listrik, berbicara, berangkat kerja atau sekolah  dan hal-hal lainnya yang bisa menimbulkan suara atau menunjukkan tanda kehidupan selama hari raya berlangsung.

Atau digambarkan dalam Catur Brata Penyepian meliputi 3 aturan Hari Raya Nyepi, yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), dan amati lelanguan (tidak berfoya-foya).

Pertanyaannya apakah di kediaman Umat beragama lain, melakukan hal yang sama? Tentu saja tidak. Akan tetapi mengambil intisarinya, misalnya tidak melantunkan musik yang "keras" sehingga terdengar minimal oleh tetangganya, apalagi yang bergama Hindu.

Sedangkan lebih luas daripada itu, Toleransi selama Peryaan Hari Raya Umat Beragama adalah praktek toleransi dalam kehidupan sehari sebagai warga negara yang baik sebagai bangsa yang besar dan memiliki nilai luhur dan fondasi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perlu menjadi penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan Pedoman Hidup Bangsa, Pandangan Hidup atau Falsafah Negara yang harus dijalankan dengan kesungguhan hati sebagai ideologi yang harus dijalankan tanpa merasa dipaksakan atau terbeban olehnya.

Sejarah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun