Kerukunan umat beragama ini, bila kita menilik catatan sejarah masa lampau. Ketika agama Hindu pada zaman kerajaan, di Indonesia berkembang pula agama Buda. Seperti pada zaman Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Maka dengan sendirinya disamping agama Hindu berkembang juga agama Budha berdampingan dalam perkembangannya. Diantara kedua agama itu, hampir tidak ada catatan terjadinya  permusuhan satu dengan yang lain.
Bahkan konon  raja sangat senang dengan adanya penganut agama Hindu dan Budha yang hidup berdampingan secara damai. Raja melindungi agama-agama yang ada, baik agama Hindu maupun agama Budha.
Keadaan itu merupakan salah satu penyebab mengapa rakyat hidup dengan tenteram. Mpu Tantular menggambarkan kehidupan kedua agama itu dengan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.
Semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut, semboyan tersebut di rumuskan oleh para pendiri bangsa, yang diadaptasi kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular sekitar abad ke-14, di bawah pemerintahan Raja Rjasanagara, yang juga dikenal sebagai Hayam Wuruk.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha
Oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, Kakawin Sutasoma. Dalam bahasa Jawa Kuno, kakawin artinya syair. Kakawin Sutasoma ditulis pada tahun 1851 dengan menggunakan aksara Bali, namun berbahasa Jawa Kuno.
Tepatnya kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap tertulis
"Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa, Â Bhinnki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Â Bhinnka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".
Kalimat tersebut berarti "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran"
Terjemahan tersebut didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr. Soewito Santoso melalui bukunya yang berjudul "a Study in Old Javanese Wajrayana 1975:578". Terbitan New Delhi: International Academy of Culture
Dalam frasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti "Berbeda-beda, namun tetap satu jua" .