Pernyataan ini diungkapkan Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina dalam froum diskusi terbatas yang diinsiasi oleh Archipelago Solidarity Foundation di Jakarta, Minggu (6/11/2022), yang dihadiri oleh beberapa cedikiawan yang berasal dari kawasan Timur Indonesia secara pribadi, antara lain dari Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku. Seperti di beritakan dua media online yaitu,
Sinarharapan.net (7/11/2022) dengan tajuk berita “Tidak Mau Miskin Permanen, Kawasan Timur Perlu Galang Solidaritas Oceania”
wartaekonomi.co.id ( (7/11/2022) dengan tajuk berita “Wejangan Buat G20 dan Next Jokowi, Oceania Dibutuhkan Guna Maksimalkan Potensi Indonesia Timur!”
Sebelum mengurai opini saya tentang judul berita yang perlu saya pribadi pahami secara baik, dengan mencerna hasi dari pertemuan tersebut, saya awali dengan pernyataan Engelina, sebagai inisiator pertemuan ini. Selengkapnya menurut Engelina
Kalau tidak paham kawasan timur, sebaiknya jangan coba-coba jadi capres atau cawapres, karena tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi, kalau hanya mau melanggengkan kekuasaan dan korporasi. Jangan begitu ya, karena persoalan di kawasan timur nyata adanya.
Pernyaatan yang blak-blakan, cenderung “keras” dapat dimaknai semua orang sesuai presepsinya masing-masing. Namun bagi saya yang belakangan ini mengikuti pernyataan-pernyataan Engelina yang tak kurang cukup keras juga, bukan saja saat ini, namun telah ia kemukakan dalam banyak pemberitaan, artikel yang secara umum memperjuangkan masalah sosial, ekonomi dan terlebih kemiskinan di kawasan Timur Indonesia, khususnya Maluku.
Apa sebabnya? Sebagai Peneliti, ekonom, Pemerhati berbagai bidang yang ia kuasai, dan tak lupa juga Engelina adalah seorang pegamat politik dan kebijakan pemerintah, karena berbagai latar belakang pengalamannya di bidang politik baik sebagai kader partai dan sempat menjadi anggota DPR/MPR serta memimpin Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Sehingga ia cukup paham tentang berbagai masalah nasional, internasional terutama juga kebijakan pemeritah
Sehingga syarat menjadi Capres dan Cawapres yang terucap olehnya, boleh jadi diartikan suatu akumulasi kekecewaan yang ia amati dan terjun langsung menelitinya, mengenai kondisi kawasan Timur Indonesia, yang sudah lama ia suarakan, dalam berbagai kesempatan yang secara nyata (baik laporan BPS maupun kenyataan dilapangan) stagnan dalam persoalan pemerataan pembangunan dan terelebih lagi kawasan ini merupakan kawasan yang termiskin di Indonesia dalam waktu yang cukup lama.
Tentu saja, Engelina mengharapkan suatu perbaikan yang sistmatis, strategis, terukur dalam program-program pemerintah akan datang. Jadi bagi saya cukup beralasan, jika calon Capres dan Cawapres medatang harus memahami persoalan di kawasan Timur Indonesia secara baik dan bila perlu menunjukan perhatian penuh. Karena Kawasan ini merupakan masa depan Indonesia bahkan dunia, karena berbagai faktor terkhususnya kekayaan alam baik di laut, di dalam laut maupun di darat.
Pernyataan Egelina ini, didukung dengan pernyataan salah satu peserta forum diskusi. kandidat Dr. Laus Calvin Rumayom.
Menurutnya, tiga negara besar sudah memasukkan kawasan timur dalam rencana pembangunan mereka untuk 150 tahun ke depan, tentu termasuk dengan rencana anggarannya. Untuk itu, katanya, sangat mengherankan, kalau Indonesia sendiri tidak memiliki rencana yang jelas untuk kawasan timur, baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Rencana negara lain, jelasnya, tentu ingin mengambil manfaat dari berbagai potensi kekayaan di kawasan timur.
“Ada tiga negara sudah memasukkan kawasan timur dalam RPJMN mereka untuk 150 tahun ke depan. Termasuk mengenai rencana tambang emas untuk jangka panjang,” katanya
Jika pernyataan Engelina dipenggal, dimana ada frasa “jangan coba-coba” adalah suatu harapan, penekanan dan tidak jauh dari amanat konstitusi, dimana dalam sumpah sebagai Capres dan Cawapres diawalai dengan dengan menyebutkan Nama “Tuhan Yang Maha Esa”. Sehingga sebagai Capres dan cawapres nanti, bertanggung jawab secara dunia dan akherat terhadap keadaan Bangsa ini.
Negara/Pemerintah sebagaimana diamanatkan undang-undang dasar 1945, Bahwa Melindungi segenap tumpah darah Indonesia merupakan salah satu dari beberapa tugas negara yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Frasa lengkapnya yaitu "Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Makna dari amanat tersebut, yang sempat saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya. Berdasarkan pengertian dan uraiannya sebagaimana dijelaskan dalam KBBI, dapat dipahami bahwa melindungi merupakan sebuah upaya yang dilakukan agar suatu hal terhindar dari hal lain yang bertentangan dengan fitrahnya.
Kemudian, selain sebuah upaya untuk menghindarkan (pencegahan), melindungi juga dimaknai sebagai sebuah upaya penyelamatan dari bahaya yang tidak dapat dihindari setelah upaya pencegahan dilakukan (penyelamatan atau pemulihan) Bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Jadi bagaimana, seorang Capres dan Cawapres nanti tidak memahami amanat yang diawali dengan sumpah yang sakral itu, dimana kawasan Indonesia Bagian Timur adalah bagian yang utuh dam tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertanyaan kritisnya, lalu bagaimana dengan Presiden dan Wakil Presiden serta para pembatu-pembantunya sebelumnya apakah tidak secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan di kawasan Indonesia bagian Timur ini?
Tentu saja ada, tetapi jika dikatakan tidak optimal dan berpihak. Wajar, lihat saja kenyataannya. sekalipun hal Ini dapat diperdebatkan.
Karena secara nyata tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan Indonesia bagian timur, tetap terpuruk dalam kemiskinan. Dan di bagian lain, kekayaan alam yang begitu luar biasa, selama ini dikelola untuk kepentingan siapa? Anda mungkin dapat menjawabnya sendiri.
Sampai di sini, tanpa maksud meluruskan pernyataan keras Engelina, apalagi tidak ada yang yang salah dalam hal ini, memangnya ada apa?.Tetapi secara rasional, saya berusaha memahami pernyataan tersebut.
Dimana dapat saja saya dapat saja menyajikan berbagai data atau hasil kajian, para akhli dari dalam dan luar negeri tentang masalah kemiskinan di kawasan indonesia bagian timur yang hingga saat ini yang tidak terselesaikan serta sejauh mana hasil pengelolaan kekayaan alam di kawasan ini seharusnya dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi wilayah, dan menyesejahterakan rakyat. Bagi saya ini adalah pertanyaan besar dan menjadi tanggung jawab dari capres dan cawapres mendatang. Namun cukup dari hasil pertemuan forum ini dapat menjadi evaluasi bersama.
Kita boleh melupakan yang telah berlalu, tetapi tidak melupakan catatan dan jejak yang ditinggalkan. Singkatnya, kedepan saya sepakat bahwa Capres dan Cawapres ke depan harus lebih baik dari yang terdahulu, bila perlu memprioritaskan kawasan ini.
Keberadaan Forum Sebagai Bagian dari Peran Civil Society
Menurut Engelina Pattiasina, forum tersebut sengaja dirancang untuk mengidentifikasi solusi dan akar persoalan, sehingga kawasan timur tidak semakin tertinggal dari kawasan lain. Dia mengatakan, kalau wilayah yang kaya secara sumber daya alam tetapi terpuruk dalam kategori termiskin selama bertahun-tahun, maka hal itu harus dihentikan, sehingga keterpurukan ini tidak berlanjut ke generasi kini dan mendatang.
Pertanyaan Kritisnya apakah peserta forum ini merupakan representative resmi pemerintah daerahnya masing-masing atau paling tidak mewakili suara dari dari rakyatnya dari daerahnya masing-masing? Sementara wakil rakyat di DPR dan DPD adalah representative resmi yang memiliki legitimasi masyarakat daerah pemilihannya?
Sejauh mana mereka berjuang di "Rumah Rakyat" dan berkoordinasi lewat partainya atau langsung dengan pemerintah dalam pemersalahan ini? Masyarkat pula yang dapat menilainnya dalam kerangka permasalahan yang diusung forum diksusi ini.
Bagi saya ini adalah pemikiran yang sempit, karena tidak memahami peran civil society di dalam penyelenggaraan negara yang demokratis. Sejauh forum-forum seperti ini tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.
Saya rasa tidak harus sejauh itu jika ada berbagai pihak yang merasa tidak diwakilkan dan merasa forum yang mengggunakan frasa “Terbatas” adalah cikal bakal suatu gerakan yang akan dilembagakan. Ini terlalu jauh. Frasa terbatas memiliki arti, para peserta yang di undang oleh penyelenggara atau insisiator memang terbatas dengan segala pertimbangan.
Siapa saja boleh menyelenggarakan forum diskusi seperti ini, seperti dimanatkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1954, disebutkan Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang
Pasal 28 UUD 1945 mengalami amandemen Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebelum diamandemen, pasal 28 UUD 1945 berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."
Makna yang terkandung dalam pasal 28 UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 yakni negara menjamin hak asasi manusia secara menyeluruh yang mencakup hak hidup, hak membentuk keluarga, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, perlakuan yang sama di mata hukum, hak memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya, dan hak-hak lainnya.
Menurut Ernest Gellner, Civil Society merujuk pada mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.
Sementara Cohen dan Arato mendefinisikan sebagai awilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik dan negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public goods).
Civil society terbentuk karenanya adanya interaksi dengan negara karenanya disebut pula dengan istilah civil government oleh Jhon Locke. Ada pun syarat keberadaan civil society itu sendiri terdiri dari partisipasi politik, asosiasi, perlindungan hukum bagi individu. Aspek civil society terdiri dari pertanggungjawaban negara, keterbukaan informasi, pengakuan HAM, inklusifitas (Nordholt, 2002)
Seperti juga diberitakan Detik.com (8/12/2011) Keberadaan masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam proses demokrasi suatu negara. Masyarakat sipil dinilai memiliki 3 fungsi utama, yakni advokasi, empowerment dan social control, yang menunjang terciptanya demokrasi yang matang.
"Tiga peran utama civil society, pertama peran sebagai advokasi. Dia ikut mempengaruhi apa yang seharusnya menjadi kebijakan publik," ujar pengamat politik internasional dari LIPI, Dewi Fortuna Anwar, dalam Lokakarya Bali Democracy Forum: Peran Masyarakat Sipil dan Media Sosial dalam Partisipasi Berdemokrasi di Nusa Dua, Bali, Rabu (7/12/2011).
Menurut Dewi, masyarakat sipil harus ikut menyampaikan aspirasi kepada elemen-elemen yang bisa membuat keputusan langsung. Elemen yang dimaksud salah satunya melalui DPR.
Lebih lanjut ia menambahkan, masyarakat sipil yang baik harus sadar akan hak dan kewajibannya secara konstitusional. Masyarakat sipil di Indonesia cenderung menjadikan dirinya sebagai pembantu masyarakat untuk mencegah agar kekuasaan tidak semena-mena. Hal ini harus terus dijaga.
Penjelasan singkat di atas ini, seharusnya dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Dimana dengan mudahnya menyuarakan aspirasinya, sekalipun perorangan melalui platform media sosial dalam batas-batas yang tidak melanggar peraturan peundang-undangan.
Jadi apa yang perlu dipersoalkan dengan keberadaan forum informal atas insiatif dari Archipelago Solidarity Foundation ini?
Wacana yang diusung peserta forum
Salah satu yang mengemuka dari forum ini adalah seperti yang dikemukakan Engelina, bahwa kawasan ini membutuhkan satu kebijakan khusus untuk mengubah situasi, sehingga tidak menjadi kawasan miskin permanen. “Kita bisa mengangkat situasi keterpurukan ini, termasuk dengan menjalin kerja sama dengan kawasan Oceania,” tegasnya.
Engelina mengatakan, sangat penting untuk membangun kolaborasi dengan kawasan Oceania, karena memang memiliki karakter wilayah yang sama sebagai kawasan dengan perairan laut, pulau-pulau kecil, dan memiliki kemiripan dalam budaya.
Sementara itu, Dr. Ing. Ignas Iryanto, dengan berbagai kekayaan alam yang di kawasan timur, sebenarnya kawasan ini tidak pantas menjadi kawasan miskin.
Ignas mengatakan, sangat penting untuk menjajaki kerjasama dengan kawasan Oceania, karena kawasan timur merupakan satu kawasan dalam gugusan Oceania, tentu memiliki kesamaan dalam keadaan geografis dan kultur.
Mengapa melirik kerjasama di kawasan Oceania yang dalam pemaham terbatas terdiri dari negara-negara merdeka yang letak geografisnya merupakan negara kepualauan, atau menurut Prof.Dr. Jan Sopahelawakan mengatkan bahwa “Kita itu sebenarnya sebagai Negara bahari, bukan Negara kepulauan. Karena ‘wilayah kepulauan’ merupakan sudut pandang orang kontinental,” katanya.
Lebi lanjut ia menjelaskan selama ini kawasan timur dikelola sama seperti pembangunan kawasan kontinental, sehingga melupakan karakter bahari dari kawasan ini. Menurutnya, orang kontinental akan melihat laut sebagai pemisah, sedangkan orang bahari akan melihat laut sebagai pemersatu. Kultur bahari itu sangat berbeda dengan kultur kontinental, karena masyarakat bahari sangat kental dengan keterbukaan dan saling percaya.
Untuk itu, katanya, keberagaman kebudayaan ini tidak tampak dalam berbagai kebijakan Negara, karena cenderung mengedepankan persatuan yang bisa dimaknai secara sempit sebagai keseragaman. Keberagaman hanya bisa terjadi, jika didukung dengan kebijakan desentralisasi asimetris.
Sampai di sini opini, wacana yang dibangun dari formum informal (terbatas dalam harafiahnya di undang secara khusus oleh inisiator), sedapatnya menjadi masukan kepada pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, Khususnya kepada calon Capres dan Cawapres mendatang. Bukan sebaliknya menaruh curiga dan menepis masukan-masukan yang berharga, bukan saja oleh forum ini namun dari aspirasi masyarakat sipil lainnya tentang yang mengusung isu yang sama.
Menjelang KTT G20 di Bali, salah satu peserta forum ini yaitu Dr. Ing. Ignas Iryanto, mengatakan bahwa dengan berbagai kekayaan alam yang di kawasan timur, sebenarnya kawasan ini tidak pantas menjadi kawasan miskin. Hal ini, kata Ignas, menjadi sangat ironi, karena G20 yang digelar di Bali, antara lain, mengusung leave no one behind sebagai salah satu komitmen global untuk memberantas kemiskinan dalam segala bentuknya.
Para peserta G20, jelas Ignas, sebenarnya perlu menyadari bahwa ada satu kawasan di Indonesia yang terpuruk dalam kemiskinan, tetapi memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. “Kalau memang komitmen global itu nyata, semestinya kawasan timur ini tidak boleh ditinggalkan. Tapi, kok dibiarkan dalam kemiskinan,” tegasnya
Pada akhirnya, saya mengulang apa yang mejadi dasar pemikiran Engelina mengundang para cendekiawan secara terbatas menghadiri forum non formal, sambil menjalin tali silahturahmi. Menurutnya, kawasan timur memiliki kekayaan alam yang sangat lengkap baik di darat, laut dan di dalam laut.
Pada masa keemasan rempah, juga tidak membawa perubahan di Maluku. Begitu juga dengan saat ini, dimana kekayaan sumber daya alam hanya dieksploitasi tetapi tidak membawa kemajuan bagi masyarakatnya. Justru, masuk sebagai kawasan termiskin, karena Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT hanya bergantian nomor urut kemiskinan.
Ini yang harusnya menjadi catatan penting agar ke depan, Capres dan Cawapres dapat memahaminya secara menyeluruh, dan menurut saya inilah syarat sekaligus tantangan Capres dan Cawapres yang akan datang.
Lebih lanjut silahkan membaca tautan yang saya berikan dari sumber beritanya.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI