Adian menyesal banget ketika sampai di rumah Kimaya kantuknya tak tertahankan. Pikirnya ketika pergi ke Ubud, dengar ajakan Mona untuk check sound, kantuknya akan hilang. Eh, dia malah tepar dari sejak mobil bergerak pelan. Sebenarnya dia malu pada Kimaya.
"Penidur?" tanya Kimaya lagi setelah membentaknya dengan kata yang sama di luar mobil. Kali ini suara Kimaya lebih lembut, tak dinyana menggetarkan jantungnya. Kantuk pun hilang.
"Enggak, aku mau bantu-bantu ..." Adian tersenyum malu. Mona menepuk bahunya, dia bilang senyumnya jangan disebar sembarangan, nanti banyak cewek mendekat. Adian tergelak, kantuknya benar-benar lenyap. Dia tidak sadar bahwa Mona serius dengan peringatannya.
Dicarinya Kimaya. Seperti pesulap anak itu, cepat sekali menghilang. Setelah melihat berkeliling, ditemukannya Kimaya sedang duduk di atas kursi bar, tekun mendengar seorang musisi yang memetik gitar dengan nada lembut. Keduanya sendirian, tapi mereka berdua seperti tersambung satu benang merah yang tak tampak.Â
Kimaya terlihat terbius dengan petikan gitar tersebut. Adian yang duduk di sebelahnya pun tidak digubrisnya. Mona memberi tanda ke cowok itu. Adian mendekat.
"Jangan ganggu Kimaya," bisiknya pelan. "Lagu itu magis. Salah satu lagu permintaan Kimaya. Dia ingin Ben memainkan lagu itu dengan sempurna."
"Kenapa?"
"Kamu nggak ingin tahu, Di," Mona penuh tanda.
Adian malah cemas. Apakah alunan petikan gitar itu tentang Yuda? Sahabat Kimaya yang sudah tiada dan sepertinya berarti sungguh di kehidupan cewek itu. Adian merasa usahanya setahun ini akan sia-sia bila Kimaya kembali ke kenangan bersama Yuda.