"Cinta buta kek, bucin kek, semua oke kalau orang itu masih hidup, Kim. Yuda tinggal nama!" Mona bersikeras menyadarkan Kimaya yang terlalu tidak masuk akal.
Kaki Kimaya terasa kaku, lalu lemas. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa terdekat. Dia ingin menangis tapi air mata sudah habis di depan makam Yuda di Denpasar.
"Aku rindu dia, Mon," kata Kimaya lemas. Mona tidak berani mendekat, dia takut Kimaya akan meledak tangisnya. Itu nggak baik, pikirnya. Kami harus bicara baik-baik.
"Kamu bisa cari orang lain yang seperti dia, Kim," kata Mona pelan. "Buka hati kamu buat persahabatan dengan cowok. Jangan frigid gitu sama teman yang mau dekat. Yuda akan menghantui kamu terus tapi itu karena ciptaan kamu sendiri."
"Nggak ada orang kayak dia," Kimaya tidak kuat menyebut nama Yuda. Dia tahu, rasanya akan pingsan bila bibirnya menyebut namanya.
"Kamu masih merasa bersalah? Yuda memang minta kamu datang ke pentas permainan drumnya, tapi kan nggak papa kamu nggak bisa datang?" Mona mengulang kalimat yang selalu dia ucapkan waktu SD ketika Yuda tiada.
"Tapi itu permintaan terakhirnya! Dan aku selalu mengecewakan dia, sampai saat itu!" Kimaya hampir berteriak. Mona terhentak mendengar pernyataan baru pertama kali dia dengar. Itu ternyata permasalahan utamanya.
"Emangnya kamu ngapain?"
"Dia minta aku bisa main alat musik, at least gitar," bisik Kimaya lemah. "Lalu tentang janjiku bilang terima kasih sama orang tuaku, yang belum pernah aku lakukan sampai sekarang. Tentang ... ah, banyak Mon, aku nggak kuat."
"Ya, kamu sampai sekarang nggak bisa main musik apapun, memang mengecewakan. Bukan hanya Yuda yang kecewa, aku juga, ortumu juga. Mereka membelikan kamu gitar mahal, kan?" Mona membuka semua ingatan.
"Yuda yang membelikan ...," Kimaya memandang Mona dengan sayu. Akhirnya nama itu dia ucapkan, membuatnya kehilangan seluruh energi. Mona menutup mulutnya dengan tangannya, menyerah.