Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Telah Tiada

17 Februari 2023   18:24 Diperbarui: 17 Februari 2023   18:31 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Eric Ward, unsplash.com

Pertaruhan Kimaya

Dua tahun berlalu, ketika Kimaya akhirnya menyerahkan uang taruhan sebesar satu juta ke Nishi dan Vanah ketika pelepasan SMA. Dia tidak berhasil menaklukkan Adian, cowok idola satu sekolah. Dia memang tidak ingin, uang itu sudah disiapkan sejak pertaruhan dimulai. 

Adian sempat dekat dengannya ketika kelas dua. Mereka bahkan menghabiskan waktu bersama seharian selama beberapa kali. Kimaya menganggap cowok itu sebagai sahabat. Adian pun sebenarnya hanya penasaran tentang Kimaya yang sama sekali tidak tertarik padanya. Beda dengan cewek pada umumnya di sekolah.

Baca juga: Sehari Bersamamu

Adian tahu tentang taruhan itu namun itu tidak mengganggu Kimaya. Heran, pikir Adian. Ternyata memang Kimaya tidak ada usaha untuk memenangkan taruhan besar tersebut.

Lulus SMA, mereka semua berpisah ke perguruan tinggi yang berbeda. Bahkan beda kota. Kimaya kuliah di Bali. Cita-citanya belajar sambil wisata, paling sempurna kuliah di Bali.

Tidak dinyana, Kimaya bertemu sahabatnya ketika SD, Mona. Jurusannya pun sama, Arsitektur.

"Kamu dulu tidak ingin masuk Arsitektur kan, Kim?" Mona mulai menyelidik karena dia ingat sesuatu di masa lalu.

"Tidak, kedokteran hewan cita-citaku," kata Kimaya sambil melamun menikmati sunset Jimbaran. Kemudian suasana hening selama beberapa waktu. Kimaya tidak terlalu menyadarinya tapi Mona sangat sadar.

Baca juga: Pertaruhan Kimaya

"Apakah karena dia?" bisik Mona yang terdengar menggelegar di telinga Kimaya. Dia langsung menoleh ke arah sahabatnya dengan cepat.

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?" tanya Kimaya bingung. Dia sudah lama melupakan si dia, sahabat lain di SD yang sama juga.

"Yuda ...," bisik Mona lagi sambil menerawang ke atas. "Kamu sedang ngapain, Yud?"

Tiba-tiba Kimaya merasakan matanya panas. Dadanya sesak. Dia ingin lenyap dari situ. Dari suara ucapan Mona yang menguak semua luka hatinya. Luka batin sejak SD.

"Aku ingat sekali Yuda ingin jadi arsitek dan kamu dokter hewan, Kim," kata Mona tanpa ampun. Dia tidak mau tahu napas Kimaya sudah berubah pendek-pendek, tanda emosi.

Kimaya berhasil mengumpulkan energi untuk beranjak dari situ, kembali ke rumah kontrakan yang dia tinggali bersama Mona dan beberapa teman.

Sehari berlalu setelah nama itu disebut. Mona mendapati Kimaya membuka kalender, saat itu bulan Februari, ada satu tanggal yang disentuh jari Kimaya. Tanggal 11. Mona menghela napas, dia ingat itu tanggal lahir Yuda.

Kimaya lalu pergi, terlihat terburu-buru. Mona sudah bisa menebak ke mana Kimaya pergi. Sudah hampir setahun mereka tinggal di Bali, Kimaya belum pernah ke tempat itu.

Menjelang sore, Kimaya baru tiba kembali ke rumah.

"Kamu tadi ke sana?" Mona masih ingin menyelidik. Dia tahu, apa arti semua percakapan mereka.

Kimaya hanya diam. Mukanya murung. Matanya sembab, terlihat habis menangis.

"Buat apa kamu mengingat dia, Kim? Yuda sudah nggak ada," suara Mona sedikit tercekat mengatakan fakta itu. Dia juga kehilangan, dulu.

"Diam kamu, Mon!" Kimaya terkaget sendiri dia bisa berkata sekasar itu pada Mona. Semua di luar kesadarannya.

"Cinta buta kek, bucin kek, semua oke kalau orang itu masih hidup, Kim. Yuda tinggal nama!" Mona bersikeras menyadarkan Kimaya yang terlalu tidak masuk akal.

Kaki Kimaya terasa kaku, lalu lemas. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa terdekat. Dia ingin menangis tapi air mata sudah habis di depan makam Yuda di Denpasar.

"Aku rindu dia, Mon," kata Kimaya lemas. Mona tidak berani mendekat, dia takut Kimaya akan meledak tangisnya. Itu nggak baik, pikirnya. Kami harus bicara baik-baik.

"Kamu bisa cari orang lain yang seperti dia, Kim," kata Mona pelan. "Buka hati kamu buat persahabatan dengan cowok. Jangan frigid gitu sama teman yang mau dekat. Yuda akan menghantui kamu terus tapi itu karena ciptaan kamu sendiri."

"Nggak ada orang kayak dia," Kimaya tidak kuat menyebut nama Yuda. Dia tahu, rasanya akan pingsan bila bibirnya menyebut namanya.

"Kamu masih merasa bersalah? Yuda memang minta kamu datang ke pentas permainan drumnya, tapi kan nggak papa kamu nggak bisa datang?" Mona mengulang kalimat yang selalu dia ucapkan waktu SD ketika Yuda tiada.

"Tapi itu permintaan terakhirnya! Dan aku selalu mengecewakan dia, sampai saat itu!" Kimaya hampir berteriak. Mona terhentak mendengar pernyataan baru pertama kali dia dengar. Itu ternyata permasalahan utamanya.

"Emangnya kamu ngapain?"

"Dia minta aku bisa main alat musik, at least gitar," bisik Kimaya lemah. "Lalu tentang janjiku bilang terima kasih sama orang tuaku, yang belum pernah aku lakukan sampai sekarang. Tentang ... ah, banyak Mon, aku nggak kuat."

"Ya, kamu sampai sekarang nggak bisa main musik apapun, memang mengecewakan. Bukan hanya Yuda yang kecewa, aku juga, ortumu juga. Mereka membelikan kamu gitar mahal, kan?" Mona membuka semua ingatan.

"Yuda yang membelikan ...," Kimaya memandang Mona dengan sayu. Akhirnya nama itu dia ucapkan, membuatnya kehilangan seluruh energi. Mona menutup mulutnya dengan tangannya, menyerah.

"Minggu depan kita sudah libur kuliah, Kim. Aku antar kamu ke Jogja. Kamu harus melupakan dia. Balik sini ketika kuliah sudah menyibukkan kamu lagi," Mona sudah tidak punya gagasan lain.

Keputusan Kimaya untuk memilih Bali sebagai tempat belajar dan berwisata ternyata salah. Bali hanya mengungkit luka lama, luka sedih yang berusaha dia lupakan selama ini. Yuda, sahabat dia, cinta pertama dia - yang akhirnya dia akui - selalu membayangi setiap sudut Bali.

Mona dan Kimaya sedang berada di Ngurah Rai ketika mereka bertabrakan dengan serombongan cowok yang bersenda gurau tanpa mempedulikan sekitar.

"Kalian ngapain sih?" sentak Kimaya. Tiba-tiba mulutnya kelu. Adian ada di tengah-tengah kelompok itu, menatapnya nanar.

"Kok ngamuknya berhenti, Kim?" Mona senang Kimaya sudah punya emosi lagi setelah seharian diam terbayang-bayang Yuda.

"Kim?"

"Adian?"

Cowok itu sudah berubah, semakin tinggi, semakin tegap berisi dann semakin keren. Mona sampai ternganga melihat ke arah Adian yang ternyata dikenal oleh Kimaya. Satu ide terlintas di benaknya.

"Kenalin dong, Kim," desak Mona. Dia dorong Kimaya ke tengah-tengah sekumpulan cowok yang kayaknya membahayakan dengan aksi mereka itu. Adian di tengah-tengah.

"Kamu kan nggak kuliah di Bali?" sahut Kimaya singkat karena Adian hanya diam menatapnya.

"Kenalin dong," Mona masih merengek di sampingnya.

"Ada tugas lapangan, baru datang," kata Adian dengan suara bergetar. "Kamu kenapa di bandara? Kuliahmu di Udayana, kan?"

Wuah, Kimaya hebat, pikir Mona, cowok keren tahu informasi tentang Kimaya.

"Bye, Adian," jawab Kimaya singkat. Dia tidak mau membuka lembaran baru dengan Adian yang sudah dikuburnya dalam-dalam ketika lulus SMA.

"Cowok pengganti Yuda nih?" tanya Mona.

Kimaya hanya terdiam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun