Tahun baru ini sudah berusia sebulan lebih empat belas hari. Kimaya menjalani hari seperti biasa. Pagi bangun, langsung membuka HP untuk check in satu aplikasi yang banyak bonusnya.
Ting! Satu notifikasi aplikasi percakapan muncul.
"Kim, nanti sarapan di kantin, yuk!" tertulis pesan tanpa nama dan nomornya tidak dia kenal. Kimaya pun tidak punya sejarah chat dengan nomor ini.
"Maaf, ini siapa?" Kimaya tidak suka hanya diam. Dia tidak ingin tahu ini pesan dari siapa, dia hanya ingin sopan dan selesai urusannya saat itu juga.
HP kemudian dia taruh dan segera dia mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah. Dia sudah lupa pesan yang terlalu pagi dan cukup absurd itu.
Sampai di sekolah, Nishi menyambutnya dengan sekantong coklat dan mengayunkannya di depan Kimaya.
"Ambil satu!" perintah Nishi.
"Kenapa hanya satu?" Kimaya suka sekali dark chocolate.
"Happy Valentine's Day, Kimaya!" jawab Nishi. "Coklat ini tidak hanya untuk kamu."
"Oh, Happy Valentine's Day, Nishi," jawab Kimaya sambil lalu karena sudah sibuk membuka coklat yang terbungkus kecil hanya sekali suap habis. Nishi kejam, pikirnya.
Vanah bergabung dengan Kimaya dan Nishi. Mengambil coklat di kantung kecil itu. "Eh, satu saja," teriak Nishi. Vanah hanya tertawa. Tapi kemudian tiba-tiba dia terdiam dan melotot ke arah belakang Kimaya.
Kimaya menengok karena penasaran apa yang membuat muka Vanah kayak melihat hantu di siang bolong.
"Ayo, jadi sarapan, kan?" cowok itu menatap Kimaya tajam. Oh, batin Kimaya yang baru paham.
"Kamu sudah jadian sama Adian?" bisik Vanah. "Kok nggak bilang-bilang, sih?"
"Belum," kata Kimaya singkat namun dia mengikuti Adian ke arah kantin.
"Jadi tadi itu kamu yang chat aku pagi-pagi?" tanya Kimaya cuek.
"Kan sudah aku jawab?" sahut Adian sambil mengerutkan keningnya.
"Oh, aku belum buka HP lagi," jawab Kimaya tanpa malu.
Sebenarnya Kimaya tidak ingin sarapan tapi dia penasaran dengan Adian. Cowok itu adalah yang dia pertaruhkan akan jadian dengan dia sebelum lulus. Cowok populer yang dipertaruhkan akan takluk dengan Kimaya yang sederhana. Sejuta taruhannya.
Kimaya tersenyum teringat taruhan tahun lalu itu. Dia tidak berusaha apapun karena dia tidak tertarik dengan Adian yang tampan dan pintar idola seluruh cewek satu sekolah, bahkan guru perempuan juga.
"Apakah kamu menduga akan menang taruhan?" tiba-tiba Adian berkata setelah memesan semangkuk soto ayam dan duduk di depan Kimaya yang hanya ambil roti sobek.
Kimaya melotot.
"Kok kamu tahu tentang taruhan itu?"
"Aku tahu semua yang terjadi di sekolah ini," kata Adian dengan jumawa. Dia tidak tertarik dengan Kimaya tapi penasaran dengan usaha Kimaya mempertahankan uang sejuta. "Jadi, kamu pikir akan menang taruhan karena kita sarapan?"
"Aku tidak perlu menang," kata Kimaya singkat. Dia tidak nyaman dengan suasana ini.
"Nanti kamu kehilangan duit sejuta, kan?"
"Tidak. Duit itu sudah aku menangkan," Kimaya sendiri heran kenapa dia menceritakan semuanya kepada Adian yang baru kali ini bercakap dengannya.
"Kamu menang apa? Aku kan nggak jadian sama kamu?" Adian jadi bingung.
"Liburan kemarin aku ikut lomba fotografi. Juara tiga dan dapat tepat sejuta, beres, kan?" jawab Kimaya ringan. Adian menghela napas gemas.
Setelah menghabiskan roti sobeknya, Kimaya pamit kembali ke kelasnya, meninggalkan Adian yang tercenung karena akhir dari taruhan ini tidak dia duga.
"Kim, aku tunggu di sini ketika istirahat," teriak Adian ingin memastikan cewek itu mendengarnya. Dia lihat Kimaya hanya melambaikan tangannya.
Kimaya sendiri tidak terlalu memikirkan teriakan cowok itu. Setiap istirahat, dia selalu ke kantin.
Di kelas, pikiran Kimaya sudah disibukkan dengan kuis fisika dan latihan soal kimia. Waktu terasa terbang sampai bel istirahat pertama berdentang.
Bertiga dengan Nishi dan Vanah, Kimaya memasuki kantin dengan perut yang sudah keroncongan.
"Sudah aku pesankan bakso," suara cowok di dekat telinganya cukup keras terdengar oleh Nishi dan Vanah.
"Adian menraktir kamu?" bisik Vanah. Kimaya hanya mengedikkan bahunya, cuek.
"Ngaku saja kamu sudah berhasil menaklukkan Adian, Kim," kata Nishi panik, dia belum menyiapkan uang sejuta untuk dimenangkan Kimaya.
"Santai saja, Shi, kami belum apa-apa," sahut Kimaya sambil terbahak. Dia lalu menuju meja dan duduk di depan Adian yang sudah menaruh dua mangkuk bakso di depannya.
"Makasih," kata Kimaya singkat. Adian mengamati gerak-gerik cewek itu yang makan dengan lahap sambil menambah ini itu seperti sambal dan kecap dengan sibuk.
"Kamu tidak makan?" Kimaya kaget ketika mangkuknya hampir kosong, bakso Adian masih utuh.
"Kalau-kalau kamu kurang," jawab Adian geli. Dia lihat Kimaya menggeleng dan beranjak berdiri. "Kamu mau ke mana?"
"Kembali ke kelas lah," Kimaya sendiri bingung dengan pertanyaan Adian.
"Aku tunggu nanti di sini lagi," kata Adian yang langsung sibuk dengan baksonya. Kimaya lalu bergabung dengan Nishi dan Vanah yang mengamati di pojokan.
"Akrab?" komentar Nishi. Kimaya hanya melotot.
Dua pelajaran berikut memberikan tugas kelompok di kelas Kimaya yang harus dikumpulkan saat itu juga. Praktis dia tidak ke kantin karena anggota kelompoknya hanya bercanda sehingga tugasnya tidak kelar-kelar.
Ada ketukan di pintu ketika istirahat kedua tiba.
"Kim," ada teriakan tertahan dari arah luar.
Kimaya melototkan matanya, benar-benar di luar ekspektasinya dan seluruh kelasnya. Adian ke kelasnya untuk mengajaknya ke kantin!
"Sorry, aku mau bikin ini," Kimaya menunjukkan kertas manila di meja yang masih kosong. Teman kelompoknya terkikik-kikik geli dengan pensil warna-warni penghias poster yang belum dibuat sama sekali.
Adian menghilang. Namun beberapa saat kemudian dia kembali dan masuk ke kelas Kimaya, menaruh sekaleng softdrink dan sebungkus camilan di meja Kimaya yang sibuk dengan lem yang berantakan.
"Thanks, you don't need to do that," Kimaya terkejut dengan usaha Adian. Harusnya dia kan yang berusaha supaya menang taruhan?
"Nanti aku tunggu di tempat parkir," hanya itu respon Adian.
Sesaat kemudian, suara tepukan tangan berkumandang di kelas yang sudah cukup meriah itu.
"Nishi, pulang sekolah nanti, kamu harus ambil duit di ATM," teriak Vanah.
"Itu bukan berarti apa-apa!" sahut Kimaya sambil melambai-lambaikan tangannya, menolak ucapan Vanah.
Sepulang sekolah, Kimaya berusaha mengingat untuk berjalan ke arah parkir motor. Biasanya dia lewat gerbang yang jauh dari tempat parkir. Namun dia ingin menghargai Adian yang tumben memberi perhatian padanya.
Dia lihat Adian sedang berbincang dengan sekelompok temannya di dekat pintu masuk parkir motor. Tapi ketika melihat Kimaya di kejauhan, dia lalu melambai dan menjahui temannya untuk menuju ke arah Kimaya.
"Kamu tidak tahu motorku yang mana, kan?" kata Adian tersenyum. Jantung Kimaya serasa berhenti berdetak, itu pertama kalinya Adian tersenyum padanya, dan ternyata senyuman itu terlalu sempurna untuk jantungnya.
"Kenapa aku harus tahu motor kamu? Emangnya ada kuis?" sahut Kimaya asal. Eh, Adian malah meledak tawanya.
"Aku mau minta tolong kamu, antar aku untuk cari coklat terenak," Adian menarik tali tas Kimaya ke arah motornya. Cewek itu tidak bisa menolak, takut tali tasnya putus.
Ketika membonceng, Adian mengajaknya bicara. Jalanan terlalu ramai, Kimaya tidak mendengar apapun. Di lampu merah, dia minta Adian untuk tidak bicara apapun padanya. "Telingaku macet." Adian tertawa.
"Kamu lucu," kata Adian ketika mereka sudah sampai di toko coklat. Kimaya diam saja, menurutnya itu bukan pujian.
Sampai di dalam toko, Kimaya sudah tenggelam dalam kebahagiaan di tengah bertaburnya coklat dan banyak tester gratis untuk dia coba.Â
"Jangan lupa memilih yang enak, Kim," Adian mengingatkan.
Setelah membayar dan menghabiskan sekitar sejam lebih di situ, Adian mengajak ke resto sebelah untuk makan siang.
"Ini untukmu, Happy Valentine's Day, Kimaya!" kata Adian ketika mereka sudah duduk dan pesan makan siang. What???
Setumpuk coklat yang tadi dibeli, dia taruh di depan Kimaya yang terkaget senang dan bingung.
"Jadi, kamu tadi membeli coklat untuk aku?" Kimaya tidak suka memendam dalam hati, lebih baik bertanya langsung, batinnya.
"Iya dong, untuk siapa lagi?" Adian melempar senyum manisnya lagi yang membuat Kimaya terbatuk.
"Kenapa?"
Gantian Adian yang terbatuk.
"Pertanyaan kamu pendek tapi susah ngejawabnya," Adian terdengar kesal, walau sebenarnya dia butuh waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat.
Pesanan pasta mereka tiba. Kimaya sibuk makan dengan memutar-mutar garpunya. Adian menikmati pemandangan di depannya ini.
"Kenapa?" Kimaya kembali melemparkan pertanyaan yang sama tapi tentang Adian yang tidak juga mulai makan.
"Entah, baru-baru ini aku lebih suka melihat orang makan," Adian mengulum senyum yang dia sendiri tidak tahu bisa membuat napas Kimaya sesak.
"Tentang coklat?" kembali Kimaya melempar bom.
"Kamu suka, tidak?" Adian tidak kuasa menjawab tapi kuasa bertanya.
"Kamu memberi kesukaanku," jawab Kimaya pendek. Adian tersenyum kembali. Kimaya merasa pipinya panas padahal pastanya tanpa sambal.
"Habis ini kamu pengin ke mana?" Adian mulai makan sambil bertanya. Kimaya mengerutkan keningnya tapi cowok itu tidak melihatnya.Â
Kimaya lalu merasa dia harus memberi sesuatu pada Adian. Aku tidak mau hutang budi, coklat harus aku balas dengan sesuatu, pikir Kimaya.
"Ke toko buku," sahut cewek itu. Dia lihat mata Adian berbinar. Ah, tepat tebakanku, pikir Kimaya.
Sesampainya di toko buku, seperti yang diduga, Adian menuju ke suatu tempat. Kimaya mengamati dengan cermat. Jangan sampai terlewat, batinnya. Buku pertama yang diambil Adian tapi dikembalikan lagi ke rak adalah yang Kimaya beli.
Mereka menghabiskan waktu cukup lama karena Kimaya menemukan satu komik terbaru dan petugas toko buku itu membiarkannya membaca sampai habis. Adian juga lenyap di salah satu pojok tumpukan buku best seller.
Hari menjelang gelap ketika mereka menuju ke parkir motor.
"Ini untuk kamu," Kimaya mengulurkan bungkus plastik berisi buku yang tadi dipegang Adian. "Happy Valentine's Day, Adian!"
Cowok itu melongo. Saat itu pertama kalinya dia mendengar Kimaya mengucapkan namanya. Saat itu juga dia senang, pertama kalinya namanya terdengar indah dan merdu.
Tiba-tiba terdengar keroncongan perut Kimaya. Berdua tertawa terbahak.
Lampu di depan rumah Kimaya sudah menyala benderang. Mereka pulang setelah berputar kota mencari warung nasi goreng rekomendasi Vanah yang susah ditemukan. Ternyata memang benar enak.
Cewek itu menyimpan dalam hati keheranannya bahwa Adian tahu rumahnya tanpa dia memberi arah dan denah.
"Terima kasih untuk hari ini, Kimaya," kata Adian sebelum pamit pergi.
Entah besok? Kimaya tidak mau memikirkannya.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H