Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menemukan yang Berharga

3 Mei 2022   22:51 Diperbarui: 29 Mei 2022   22:00 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Austin Neill, sumber Unsplash.com   

Lea dan Osa

Melihat Osa terlihat bahagia hanya bertelpon ria dengan Lea membuat Iva teringat ketika pertama kali mereka berdua saling mengenal. 

Waktu itu Osa sangat labil dan sensitif. Sebagai selebriti, dia sudah tidak mempunyai medsos dan tidak eksis di dunia maya, namun fans dan haters tetaplah ada di dunia nyata. Terutama setelah dia menyelesaikan pertunjukan.

"Jangan posting fotoku di hari yang sama, kalau bisa tunggu sehari dua hari, baguslah," itu selalu pesan Osa pada manajer marketingnya. Iva selalu minta bernegosiasi karena ini kebutuhan promosi acaranya.

"Iva, kamu tidak mau mengerti apa yang aku hadapi kalau para fans itu memenuhi hotel kita?" Osa untuk kesekian kalinya mengeluh.

"Itu baik buat pemasaran album terbarumu, Sa," Iva masih protes. "Yang pertunjukan kemarin, aku bikin stand di lobby hotel yang menaruh merchandise album kamu terbaru. Laris manis tuh, bahkan aku minta anak marketing buat ambil stok event minggu depan."

Osa kelelahan untuk berdebat dengan Iva. Kesehatan mental Osa mudah terganggu. Tiba-tiba saja dia merasa lelah tapi tidak bisa tidur. Menarik ujung bibirnya untuk tersenyum saja terasa berat. Semua makanan kesukaannya tidak terasa di lidahnya. Semua hambar.

Iva menyadari perubahan cowok itu ketika salah satu kru mengatakan bahwa emosi Osa jelek sekali ketika membawakan lagu hitsnya. Datar, walau suara tetap bagus dan stabil. Hanya tidak ada emosi dan rasa. "He needs a break," kata krunya.

Ditemuinya cowok tampan itu di ruang makeup. Kakinya berselonjor tidak rapi. Mukanya keruh dan pucat. Matanya kosong walau memegang layar HP yang gelap, mati. 

"Aku harus meet n greet di mana?" suara Osa terdengar lemas. Matanya tidak bersinar.

"Malam ini tidak ada acara apapun habis pertunjukan," dengan berat Iva mengumumkan itu. Semua acara dinner harus dibatalkan. Diundur besok malam. Semua media digabung jadi satu, termasuk media dari luar kota yang akan menerima event selanjutnya.

"Aku bermimpi," Osa masih tidak antusias.

"Tidak, sana, keluar gih, gedung sudah sepi. Yang penting kamu kembali sebelum tengah malam. Kamu butuh istirahat," kata Iva sambil menarik tangan kekar Osa dan mendorong bahu bidangnya keluar dari ruang makeup. Osa masih menoleh ke belakang, bingung.

"Oya, minum vitamin ini kalau kamu makan sesuatu, sekalian buat suplemen," Iva memasukkan sebungkus plastik berisi pil multivitamin ke saku celana cowok itu.

Osa baru menyadari keberuntungannya ketika dia merasakan angin semilir segar malam hari di lorong gedung itu. Dia perhatikan sekitarnya sepi, sampai dia di gerbang dan hanya bertemu dua satpam yang mengenalinya sebagai kru acara karena dia pakai kaos kru. Biasanya dia bahkan tidak bisa berjalan dengan lancar karena penuh orang yang mengerumuninya.

"Saya akan kembali sebelum jam dua belas, Pak," sapanya meriah. Satpam memastikan mereka akan siap di gerbang semalaman.

Begitu keluar dari gerbang, Osa baru sadar, kebebasan ini membingungkan karena biasanya hidupnya diatur oleh manajer atau kontrak atau rundown acara. Sekarang dia bisa memutuskan akan jalan ke kiri, ke kanan, atau malah menyeberang jalanan yang sepi.

Pukul sembilan malam, masih ada beberapa lampu menyala, terutama lampu cafe dan supermarket yang buka dua puluh empat jam. 

Tiba-tiba saja Osa ingin kopi yang bukan buatan krunya. Dia menuju cafe terdekat, rencananya akan minum di sana sambil menikmati kebebasannya dari instruksi Iva.  

Di cafe itu ada beberapa meja, dan hanya dua yang terisi dengan sekelompok orang. Sepi tapi luas. Sudah ada tiga orang yang mengantri di depan kasir. Osa menikmati menjadi orang biasa, ikut mengantri. Biasanya orang lain yang mengantrikan, dia tinggal duduk di meja dan menunggu.

Sambil menunggu antrian, Osa memeriksa sakunya. Akan lucu ketika dia tidak membawa uang cash atau bahkan dompetnya. 

Sebagai seleb dia tidak pernah membayar karena sudah diurus sama manajernya. Fiuh, Osa bersiul lega. Satu dompet tipis berisi beberapa lembar ratusan ribu siap dibelanjakan. 

"Saya pesan cafe latte, Kak, tapi milknya dikurangi ya. Oya, gula dipisah bisa nggak? Double shot juga ya?" cewek di depan Osa mengutarakan pesanannya. Osa terusik, biasanya orang hanya pesan dengan menyebut menu dan jumlah, tidak sedetil ini.

"Oh ya, pisang gorengnya minyak sedikit bisa, Kak? Atau dikasih tisu banyak, ya? Bisa?" suara cewek itu membelah kesunyian malam lagi. "Atas nama Lea."

Kemudian cewek itu bergeser ke kanan setelah membayar, lalu menunggu pesanannya yang cukup cepat karena pelanggan sepi.

"Hot Americano satu," kata Osa singkat. Dia juga segera bergeser ke kanan karena sudah ada antrian satu di belakangnya. Karena agak tergesa, gugup tidak biasa pesan sendiri, Osa hampir menabrak Lea yang mungil di sebelahnya.

"Ups, sorry," Osa melihat Lea kerepotan membawa kopi dan sepiring pisang goreng. Dompet masih dikempitnya walau ada tas menggantung di bahunya. "Aku bantu?"

Lea hanya mengangguk dan memberikan pisang gorengnya pada Osa. Dia lalu berjalan menuju bangku single yang menghadap ke jalan. Osa merasa bingung dengan sikap cuek cewek itu. Biasanya cewek-cewek mengenalinya, ini tidak. Lalu dia taruh piring itu di meja Lea dan dia sendiri kembali mengambil kopinya ketika namanya dipanggil.

"Terima kasih, aku Lea," tiba-tiba saja Lea mengajaknya bicara dan mengulurkan tangannya.

"Aku ..." Osa bingung, dia jarang memperkenalkan namanya. "Eh, kamu kenal aku tidak?"

"Pertanyaan aneh, iya, kamu Osa penyanyi itu, kan?" jawaban Lea mengejutkan Osa. 

"Eh, iya. Aku ambil kopi dulu ya, boleh duduk nanti di dekatmu?" Osa tertarik mengungkap keanehan cewek itu.

Ketika Osa kembali, dia membawa sederetan pertanyaan pada Lea. 

"Dari tadi kamu tahu kalau aku Osa? Kok kamu diam saja? Kenapa kamu malam-malam di cafe? Sendirian kan? Atau ada teman?" semua pertanyaan Osa dijawab gelak tawa Lea.

"Aku tahu kamu sedang tidak ingin dikenali," jawaban Lea sungguh bijak dan tidak terduga. "Sebenarnya aku tadi ragu, tidak mungkin seorang Osa jalan sendiri ke cafe tanpa bodyguard. Jadi aku tadi nebak saja, pernah lihat postermu di mana gitu. Mirip."

Akhirnya malah Osa yang lebih banyak bercerita. Tentang kebebasannya pertama kali. Tentang tekanan yang dihadapinya setiap hari. 

Entah kenapa, Lea membuatnya damai. Dia tidak sadar bercerita hal yang belum pernah diungkapnya sama orang lain. Dia merasa mentalnya sehat. Reaksi Lea juga tidak memberi penilaian, dia hanya mendengarkan dan tertawa sesekali. 

Osa ingin bertemu Lea kembali, entah kapan. Lalu Lea memberikan nomornya, dan Osa baru ingat dia tidak bawa HPnya. Dia hapalkan sederetan nomor HP Lea dan tanpa dia ketahui dia mampu mengingatnya sampai waktu lama.

---

"Kamu menganggap Lea apa sih, Sa?" Iva masih penasaran dengan posisi Lea yang bukan siapa-siapa tapi menjadi orang paling penting di kehidupan Osa.

"Support system."

"Bukannya sudah ada aku?" tanya Iva protes.

"Lea beda."

"Apa bedanya? Apa bedanya sama aku?" Iva terdengar iri.

"Lea tidak menganggapku sebagai orang terkenal dan istimewa. Kamu sama dengan yang lain, mengistimewakan aku. Dan Lea tidak menjerit ketika bertemu aku, satu-satunya cewek yang tidak menjerit," Osa puas menjelaskan tentang Lea panjang lebar.

"Aku tidak menjerit," kata Iva, sedikit ragu.

"Tidak, kamu menjerit ketika kita satu ruangan untuk pemilihan manajer. Lalu kamu nempel aku terus, meminta ratusan kali supaya aku memilihmu jadi manajerku, kamu sudah lupa?" Osa tahu pasti hanya Lea yang tidak pernah menjeritkan namanya.

"Oh iya," Iva tersipu ketahuan. Dia pengagum Osa dari dulu. Cowok ini talented banget. Selain penyanyi dan penulis lagi, dia juga aktor film yang kadang menciptakan skor lagu filmnya sendiri.

"Lea berharga, Va," Osa menutup perbincangan karena akan menghubungi Lea yang mungkin sudah sampai di kampung halamannya untuk mudik.

+

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun