Entah apa salahku, hari ini pekerjaanku menumpuk sejak pagi. Satu belum selesai, sudah ada yang mengantri. Tapi rasa-rasanya aku tahu siapa yang ada di balik kecapekanku hari ini. Risa.Â
Dia pasti balas dendam karena aku tidak berusaha memasukkan dia ke dalam tim bersama Iko, gebetannya. Malah aku kerja bareng dengan Iko di beberapa proyek sekaligus.
Aku lihat Risa ikut rapat dengan boss kemarin. Pasti dia mengusulkan namaku untuk dikasih kerjaan lembur hari ini. Memang aku nggak ikut karena ada deadline yang mendadak diajukan. Kemarin Iko sudah marah-marah karena rencananya dia mau ke bengkel di sore hari. Terpaksa batal karena kami harus kerja lembur.
"Sore nanti jadi nemenin aku ke bengkel, Rim?" ajak Iko ketika melewati mejaku. Aku hanya mendelik padanya karena tidak mau kehilangan momen ide yang baru saja lewat.
"Mata kamu kecil, tidak bisa kamu menakuti aku," Iko malah menertawakan mataku yang tidak hanya sipit tapi kayak mata gajah, sebutannya, karena kecil. Dia tidak paham juga, padahal di mejaku banyak folder terbuka.
"Please, kamu ajak Risa ya?" akhirnya aku menyerah. Bukannya aku menyerah membantu Risa tapi menyerah untuk menghindari mendapatkan kerjaan lembur besok. Aku ingin menyelesaikan serial drama Korea yang tinggal episode final.
"Risa? Aku tidak suka pergi sama dia. Kamu tahu itu," kata Iko. Wajahnya sudah keruh sekali sekarang. Aku tidak peduli, yang penting dia sudah menjauh dari mejaku. Aku bisa meneruskan ideku yang hampir terlepas dari jaring-jaring di otakku.
Satu laporan analisis selesai. Aku harus bicara pada Iko supaya aku nggak lembur lagi besok.
"Ko, kali ini saja, ajak Risa. Malah gunakan kesempatan buat ngomong sama dia kalau kamu nggak suka dia ngejar-ngejar kamu," tiba-tiba aku mendapatkan usul yang berlian eh brilian itu sembari bicara. Aku sedikit bangga dan tersenyum.
"Hey, kamu malah senyum-senyum gitu, ada permainan apa, Rim?" Iko malah curiga dengan senyumanku. Waduh. Aku langsung menggeleng cepat.
"Aku hanya membayangkan, cewek itu suka kebenaran dan keterusterangan. Kamu terbuka saja sama dia. Kalau ada penjelasan gitu kan nantinya akan sama-sama enak," jawabku panjang lebar. Ini teoriku sih, aku sendiri belum pernah mengalaminya.
"Oke, kalau kamu yakin begitu. Dan, kalau dia tidak mau aku ajak, kamu harus nemenin aku tanpa tapi," katanya lagi lebih tegas dan serius. Aku yakin Risa pasti langsung mau diajak berduaan sama Iko.
ONE HOUR LATER ...
"Hah?" aku dengar teriakan Risa di luar ruangan. Ruang dia memang di sebelah, ruang anak baru. Lega aku, Risa pasti terkejut setengah mati diajak pergi sama Iko. Eits, cewek itu harus tahu bahwa aku berkontribusi besar pada event ini. Aku langsung keluar.
"Ngapain ke bengkel? Bau tauk?" jeritan Risa masih sama tinggi nadanya. Muka dia terlihat jijik di depan Iko yang berdiri kikuk. Melihat aku, alis Iko langsung berkerut tidak senang. Duh, gejala gagal nih.
"Kamu penginnya ke mana?" herannya Iko bersuara lembut mengatasi teriakan Risa. Eh, Risa langsung tersenyum lebar.
"Ke cafe?" jawabnya genit. Iko melirik ke arahku lagi. Untung Risa sedang menunduk, tidak melihat lirikan Iko yang berarti banyak.
"Oke, ke bengkel sebentar lalu ke cafe, ya?" bujuk Iko. Aku hampir tertawa. Mobil Iko lampunya mati satu, dia panik sebenarnya.
Akhirnya mereka pergi berdua setelah Iko janji mengantar Risa ke cafe dulu. Aku bisa fokus pada kerja lemburku.
Pukul sembilan malam tepat, aku mematikan komputerku. Masih ada dua anak magang yang memang mau stay sampai pagi karena mengejar deadline. Aku minta mereka lapor ke satpam dahulu.Â
"Sudah selesai, Arimbi?" ada suara berat menyambutku di lorong lift. Suara bossku yang keren.
"Iya, Pak, analisisnya memakai format yang sama, jadi bisa lebih cepat mengerjakannya," aku ingin memberi kesan keren pada boss yang aku kagumi ini. Masih muda, tampan dan profesional. Pernah juga aku tertarik padanya karena katanya dia jomblo, tapi aku tepis karena dia bossku.
"Kamu naik apa? Sepertinya tidak pernah membawa mobil?" tanya dia lagi ketika kami ada di lift. Tidak berdua, ada satu pegawai dari kantor lain yang ikut masuk. Aman.
"Iya, Pak, biasanya saya sama Iko, tapi dia sudah duluan," hatiku agak menghangat menyadari bossku memperhatikan alat transportasiku.
"Panggil saja, Daniel, sudah aku bilang tanpa Pak, rasanya aku tua sekali," katanya untuk yang kesekian kalinya. Aku nggak mau terjatuh dalam pelukan asmara, menjaga jarak adalah strategiku, jadi aku tetap memanggil dia Pak Daniel.
"Kamu dekat dengan Iko? Kalian cocok sekali kalau satu tim, selalu senang dengan hasil proyek kalian. Klien selalu puas," katanya lagi. Lift melaju pelan ke lantai satu dari lantai tujuh.
"Terima kasih, Pak, eh. Iya, cara kerja kami sama, jadi lumayan cepat dan lancar kalau tukar ide," kataku semakin grogi.
"Iko pacar kamu?" eh akhirnya pertanyaan pribadi muncul.
"Tidak, tidak, Pak, eh, Daniel," aku sibuk melambaikan tanganku untuk menolak ide itu. Pacaran tidak ada di kamusnya, aku nggak boleh bikin kesan jelek. Dan lagi, kalau-kalau dia tertarik padaku, aku harus membuka pintu lebar-lebar, kan?
Aku lihat bossku tersenyum tipis. Percakapan berhenti di situ karena lift sudah terbuka di lantai satu.
"Mau aku antar pulang?" wuah luar biasa bossku ini. Apakah ini gara-gara aku tidak pacaran sama Iko?
"Terima kasih, D-Daniel," gagapku kembali. "Saya masih mampir-mampir."
Aku langsung pamit padanya dan lari ke lobby untuk menenangkan degub di jantungku ini.
Sampai di taksi, aku menarik napas panjang sekali. Tiba-tiba HPku berdering, Risa menelpon. Semoga lancar semuanya ini.
"Arimbi," aku dengar isak tangis. Risa tidak bicara cukup lama, hanya menangis. Iko sudah berkata jujur.
"Ada apa, Risa?" tanyaku. Untung aku tidak mendesak bilang bahwa pertemuannya dengan Iko adalah ideku, Risa pasti akan marah besar.
"Iko bilang dia tidak tertarik padaku," isaknya bertambah. Entah kenapa aku malah lega mendengar hal ini. Cowok itu mengikuti saranku.
"Lalu kamu mau bagaimana?" tanyaku lagi. "Pasti sedih sekali."
"Iya, sedih banget. Aku kira Iko sudah mulai memperhatikan aku ketika dia mengajak aku jalan. Tapi ternyata hanya mau bilang bahwa dia tidak ingin dekat dengan aku," isaknya mulai berhenti. "Rim, kayaknya ini yang terbaik. Aku jadi tahu posisiku. Marah dan kecewa sih sama Iko, tapi paling tidak aku tahu dia tidak suka sama aku. Aku bisa berhenti berharap dan move on."
Aku hanya butuh mendengarkan Risa. Dia sudah punya keputusan sendiri, seperti yang aku harapkan, teoriku sudah terbukti.
Hey, bagaimana dengan perasaanku pada bossku, ya? Apakah aku harus jujur kalau suka sama dia? Ah, tahan dulu deh, kali aku GR, tadi dia ramah karena merasa nggak enak bikin aku lembur.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H