"Aku hanya membayangkan, cewek itu suka kebenaran dan keterusterangan. Kamu terbuka saja sama dia. Kalau ada penjelasan gitu kan nantinya akan sama-sama enak," jawabku panjang lebar. Ini teoriku sih, aku sendiri belum pernah mengalaminya.
"Oke, kalau kamu yakin begitu. Dan, kalau dia tidak mau aku ajak, kamu harus nemenin aku tanpa tapi," katanya lagi lebih tegas dan serius. Aku yakin Risa pasti langsung mau diajak berduaan sama Iko.
ONE HOUR LATER ...
"Hah?" aku dengar teriakan Risa di luar ruangan. Ruang dia memang di sebelah, ruang anak baru. Lega aku, Risa pasti terkejut setengah mati diajak pergi sama Iko. Eits, cewek itu harus tahu bahwa aku berkontribusi besar pada event ini. Aku langsung keluar.
"Ngapain ke bengkel? Bau tauk?" jeritan Risa masih sama tinggi nadanya. Muka dia terlihat jijik di depan Iko yang berdiri kikuk. Melihat aku, alis Iko langsung berkerut tidak senang. Duh, gejala gagal nih.
"Kamu penginnya ke mana?" herannya Iko bersuara lembut mengatasi teriakan Risa. Eh, Risa langsung tersenyum lebar.
"Ke cafe?" jawabnya genit. Iko melirik ke arahku lagi. Untung Risa sedang menunduk, tidak melihat lirikan Iko yang berarti banyak.
"Oke, ke bengkel sebentar lalu ke cafe, ya?" bujuk Iko. Aku hampir tertawa. Mobil Iko lampunya mati satu, dia panik sebenarnya.
Akhirnya mereka pergi berdua setelah Iko janji mengantar Risa ke cafe dulu. Aku bisa fokus pada kerja lemburku.
Pukul sembilan malam tepat, aku mematikan komputerku. Masih ada dua anak magang yang memang mau stay sampai pagi karena mengejar deadline. Aku minta mereka lapor ke satpam dahulu.Â
"Sudah selesai, Arimbi?" ada suara berat menyambutku di lorong lift. Suara bossku yang keren.