"Iya, Pak, analisisnya memakai format yang sama, jadi bisa lebih cepat mengerjakannya," aku ingin memberi kesan keren pada boss yang aku kagumi ini. Masih muda, tampan dan profesional. Pernah juga aku tertarik padanya karena katanya dia jomblo, tapi aku tepis karena dia bossku.
"Kamu naik apa? Sepertinya tidak pernah membawa mobil?" tanya dia lagi ketika kami ada di lift. Tidak berdua, ada satu pegawai dari kantor lain yang ikut masuk. Aman.
"Iya, Pak, biasanya saya sama Iko, tapi dia sudah duluan," hatiku agak menghangat menyadari bossku memperhatikan alat transportasiku.
"Panggil saja, Daniel, sudah aku bilang tanpa Pak, rasanya aku tua sekali," katanya untuk yang kesekian kalinya. Aku nggak mau terjatuh dalam pelukan asmara, menjaga jarak adalah strategiku, jadi aku tetap memanggil dia Pak Daniel.
"Kamu dekat dengan Iko? Kalian cocok sekali kalau satu tim, selalu senang dengan hasil proyek kalian. Klien selalu puas," katanya lagi. Lift melaju pelan ke lantai satu dari lantai tujuh.
"Terima kasih, Pak, eh. Iya, cara kerja kami sama, jadi lumayan cepat dan lancar kalau tukar ide," kataku semakin grogi.
"Iko pacar kamu?" eh akhirnya pertanyaan pribadi muncul.
"Tidak, tidak, Pak, eh, Daniel," aku sibuk melambaikan tanganku untuk menolak ide itu. Pacaran tidak ada di kamusnya, aku nggak boleh bikin kesan jelek. Dan lagi, kalau-kalau dia tertarik padaku, aku harus membuka pintu lebar-lebar, kan?
Aku lihat bossku tersenyum tipis. Percakapan berhenti di situ karena lift sudah terbuka di lantai satu.
"Mau aku antar pulang?" wuah luar biasa bossku ini. Apakah ini gara-gara aku tidak pacaran sama Iko?
"Terima kasih, D-Daniel," gagapku kembali. "Saya masih mampir-mampir."