Aku langsung pamit padanya dan lari ke lobby untuk menenangkan degub di jantungku ini.
Sampai di taksi, aku menarik napas panjang sekali. Tiba-tiba HPku berdering, Risa menelpon. Semoga lancar semuanya ini.
"Arimbi," aku dengar isak tangis. Risa tidak bicara cukup lama, hanya menangis. Iko sudah berkata jujur.
"Ada apa, Risa?" tanyaku. Untung aku tidak mendesak bilang bahwa pertemuannya dengan Iko adalah ideku, Risa pasti akan marah besar.
"Iko bilang dia tidak tertarik padaku," isaknya bertambah. Entah kenapa aku malah lega mendengar hal ini. Cowok itu mengikuti saranku.
"Lalu kamu mau bagaimana?" tanyaku lagi. "Pasti sedih sekali."
"Iya, sedih banget. Aku kira Iko sudah mulai memperhatikan aku ketika dia mengajak aku jalan. Tapi ternyata hanya mau bilang bahwa dia tidak ingin dekat dengan aku," isaknya mulai berhenti. "Rim, kayaknya ini yang terbaik. Aku jadi tahu posisiku. Marah dan kecewa sih sama Iko, tapi paling tidak aku tahu dia tidak suka sama aku. Aku bisa berhenti berharap dan move on."
Aku hanya butuh mendengarkan Risa. Dia sudah punya keputusan sendiri, seperti yang aku harapkan, teoriku sudah terbukti.
Hey, bagaimana dengan perasaanku pada bossku, ya? Apakah aku harus jujur kalau suka sama dia? Ah, tahan dulu deh, kali aku GR, tadi dia ramah karena merasa nggak enak bikin aku lembur.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H