"Jadi, aku ntar turun di gang aja, ya?" kataku karena suasana yang nggak nyaman ini pasti bikin Iko lupa sama oleh-oleh, atau bahkan tidak tertarik lagi. Daripada aku menghadapi muka mengkerut ini di rumahku, lebih baik aku yang meninggalkan dia duluan.
"Hey, kamu nggak ikhlas bawain aku oleh-oleh?" Iko memutarkan badannya ke arahku, bikin aku panik karena dia tidak melihat ke jalan yang cukup padat. Kami masih ada di jalan raya yang ramai.
"Ikhlas ... ikhlas," jawabku cepat. "Lihat ke jalan, dong, aku nggak mau mati sebelum nikah."
Tawa Iko meledak, entah senang karena akhirnya tetap dapat oleh-oleh atau menertawakan sumpahku yang melas banget. Yang jelas, dia sudah kembali ngoceh tentang Jepang dan menebak-nebak aku bawain apa dari Jepang.
Tampang cowok ini memang seperti playboy. Manis, cakep, keren, ramah tapi dia nggak bercita-cita punya pacar. Risa boleh bermimpi dan berharap dan terus mencoba. Dia tidak tahu, hubungan seperti ini tabu buat Iko.Â
Risa pasti menyesal melihat pemandangan memalukan ini: Iko melompat-lompat kegirangan karena menemukan figurin samurai kayu pahatan dan bendera Jepang yang dia temukan di koperku yang masih terbuka. Dua benda itu termasuk dalam koleksi favoritnya. Untung ada teman di Jepang yang membantuku berburu cinderamata itu sampai ke toko terpencil di desa Ueno.
Iko tidak sekeren tampangnya di kantor, Risa. One day you'll find this out, and you'll be sorry.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H