Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Diary

Arimbi: Jangan Lihat dari Tampangnya

26 Oktober 2021   21:37 Diperbarui: 26 Oktober 2021   21:58 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: wirestock - www.freepik.com

Hari ini aku kembali direcoki sama pegawai baru, Risa. Bukan tentang pertanyaannya yang selalu beruntun sejak pagi sampai mau pamit kantor. Bukan pula tentang permintaan bantuan untuk mengajari ini itu, termasuk bagaimana caranya membuat kopi enak pakai mesin kopi yang tinggal pencet. Namun tentang Iko, seniornya yang dia bilang ganteng tapi masih jomblo.

"Arimbi yang baik, besok bisa nggak aku dimasukkan ke tim bersama Iko?" ini misi dia hari ini. "Kamu kan bisa atur anggota tim, kan? Pernah aku lihat kamu memindahkan seseorang buat masuk ke tim lain."

Argumen Risa memang tidak bisa didebat, tapi aku dulu melakukannya karena gender dalam tim tidak seimbang, terlalu banyak cowoknya. Hanya saja aku males menjelaskan apapun pada Risa. Satu kalimat tambahanku akan dia pakai untuk merecoki aku dalam hal lain. Entah apalagi.

Aku masuk ke ruang kantorku yang tidak mungkin diikuti oleh Risa karena pintunya hanya bisa aku buka pakai kartu pegawaiku. Dia anak baru, co-cardnya belum berfungsi di pintu ini.

"Semangat banget nempelin co-card," suara Iko mengagetkan aku. "Kamu kayak baru dapat co-card pertama kali. Aneh."

Iya, aneh, karena aku terlalu gembira menyadari Risa tidak bisa masuk ke ruangan senior ini. Iko sebaiknya aku beri tahu permintaan cewek itu nggak ya? Hm, biar saja cewek itu usaha sendiri.

"Rim, kamu nggak lupa bawa oleh-oleh dari Jepang, kan?" teriakan sahabatku Dewi langsung mendominasi telingaku. Kemarin aku lupa membawakan coklat pesanannya karena masih di dalam koper yang belum aku bongkar. Untung hari ini ingat.

"Kamu belum kasih aku oleh-oleh juga," bisik Iko di telingaku. Lalu dia melanjutkan, "Nanti deh kamu pulang sama aku, sekalian aku ambil bagianku."

Aku diam saja. Belum tentu juga Iko nanti bisa pulang bareng. Kami tidak satu tim, bisa saja timku lembur, atau tim dia pulang lebih awal, eh sama aja, ya.

"Iko menagih kamu juga, ya?" Dewi langsung membongkar tasku. "Sudah kamu siapkan oleh-oleh spesial belum?"

"Kenapa harus spesial?" aku terusik.

"Waktu kamu ke Jepang kemarin, Iko kelihatan kebingungan dan sering ke meja kamu, kangen kali?" jawab Dewi sambil terkikik pelan.

"Oh, semua catatan notulen rapat memang aku yang bikin, lupa nggak aku kasih ke dia," jawabku santai. Aneh juga, Iko tidak menghubungi aku buat bertanya. Ah, anak itu cuma mau ambil untung saja, ngapain dipikirin.

"Anak baru, si Risa, kayaknya suka sama Iko," sambung Dewi sambil menatap ke monitornya. "Hm, siapa sih yang nggak suka sama Iko yang cakep dan bodynya bagus itu. Sayangnya aku sudah mau menikah, nggak sempat nengok kanan kiri lagi."

"Dewi, ingat undangan pernikahanmu yang ada di mejaku, ya," kataku walau Dewi sudah kelihatan menyesal.

"Nah, itu, kamu mau datang sama siapa? Pacar kamu nggak punya! Teman cowok cuma Iko yang nggak suka di kerumunan, gimana, Rim?" Dewi sudah mulai sedih. 

"Aku akan datang dengan bapakku," kataku sambil lalu.

"Iya, iya, bapak kamu terlihat muda, tapi nanti kalau ada yang nanya, gimana?" Dewi semakin panik. "Masak kamu datang sama om-om?"

Hari itu berlalu dengan cepat, terutama karena aku ditugaskan ke proyek baru bersama Iko. Dia anak yang rajin dan bersemangat. Aku tinggal memuji saja, semua pekerjaanku langsung diambil alih olehnya. Risa memandang aku dengan tampang masam, kecut banget pokoknya. Hey, bukan aku yang menentukan tim, entah siapa.

"Nanti kita jadi pulang bareng, Rim," kata Iko. Jelas kami bisa pulang bareng karena hari ini satu tim. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi.

Perjalananku keluar kantor dan ke area parkir diikuti pandangan tajam Risa. Iko sedari dalam kantor sudah menarik-narik tasku supaya aku jalan lebih cepat.

"Kerja bagus, Rimbi, Iko," teriak bossku dari mobil di seberang. "Besok kalian satu tim lagi, ya? Ganti Rimbi yang jadi lead-nya."

Risa pasti mendengar pengumuman itu karena suara bossku yang berat dan keras menggema di ruang parkir yang kosong. Hanya ketawa Iko yang bisa mengatasinya. Dia geli karena aku dijadikan ketua. Padahal kalau satu tim, selalu Iko yang melakukan semuanya.

Tiba-tiba HPku berbunyi ketika aku sudah duduk di mobil Iko. Risa menelpon.

"Rim, Iko dingin banget orangnya, ya? Jahat juga. Tadi dia menolak proposalku buat satu tim sama dia, dia bilang dia sudah memilih timnya sendiri, lalu pergi. Tanpa senyum," rentetan curhat Risa memenuhi telingaku. Aku hanya melirik ke arah Iko yang senyum-senyum mau dapat oleh-oleh dari Jepang. Hm, jadi dia yang memilihku?

"Kamu jangan kejam sama pegawai baru," kataku langsung pada Iko ketika kami berhenti di lampu merah.

"Siapa? Risa?" dia menoleh ke arahku dengan tampang bingung. "Biasalah, Rim, dia aja yang suka mengganggu kalau aku sedang kerja. Orangnya agak ambis, nggak kayak anak baru yang lain, Doni sama Raka. Mereka lebih tahu diri."

Eh, Iko nggak paham, yang dia sebut memang cowok-cowok, mana ada yang mau ngejar-ngejar Iko senior populer tapi tidak tersentuh ini?

"Risa mungkin suka sama kamu," lebih baik aku menembak dia saja, supaya bisa memberi info baru ke Risa besok pagi.

"Kenapa sih kamu ungkit lagi masalah ini?" tiba-tiba suara Iko berubah sedingin es. Tak terasa aku kedinginan, AC mobilnya mungkin berkualitas tinggi. "Kamu lupa kalau aku nggak mau ada relationship? Nggak mau aku ngurusin cewek. Ribet."

"Iya, ingat," jawabku kesal karena suasana yang berubah gini. "Kali aja kamu sekarang mau nyoba. Risa baik kok anaknya, kualitas kerjaan dia juga bagus."

"Entahlah, Rim. Kamu bilang tentang Risa gitu bikin aku males ketemu dia. Bisa-bisa dia salah paham, dikiranya aku ngasih dia harapan," suara Iko masih dingin tapi sudah tidak seperti es batu lagi.

"Jadi, aku ntar turun di gang aja, ya?" kataku karena suasana yang nggak nyaman ini pasti bikin Iko lupa sama oleh-oleh, atau bahkan tidak tertarik lagi. Daripada aku menghadapi muka mengkerut ini di rumahku, lebih baik aku yang meninggalkan dia duluan.

"Hey, kamu nggak ikhlas bawain aku oleh-oleh?" Iko memutarkan badannya ke arahku, bikin aku panik karena dia tidak melihat ke jalan yang cukup padat. Kami masih ada di jalan raya yang ramai.

"Ikhlas ... ikhlas," jawabku cepat. "Lihat ke jalan, dong, aku nggak mau mati sebelum nikah."

Tawa Iko meledak, entah senang karena akhirnya tetap dapat oleh-oleh atau menertawakan sumpahku yang melas banget. Yang jelas, dia sudah kembali ngoceh tentang Jepang dan menebak-nebak aku bawain apa dari Jepang.

Tampang cowok ini memang seperti playboy. Manis, cakep, keren, ramah tapi dia nggak bercita-cita punya pacar. Risa boleh bermimpi dan berharap dan terus mencoba. Dia tidak tahu, hubungan seperti ini tabu buat Iko. 

Risa pasti menyesal melihat pemandangan memalukan ini: Iko melompat-lompat kegirangan karena menemukan figurin samurai kayu pahatan dan bendera Jepang yang dia temukan di koperku yang masih terbuka. Dua benda itu termasuk dalam koleksi favoritnya. Untung ada teman di Jepang yang membantuku berburu cinderamata itu sampai ke toko terpencil di desa Ueno.

Iko tidak sekeren tampangnya di kantor, Risa. One day you'll find this out, and you'll be sorry.

+++

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun