Bunyi bel jam ketiga baru beberapa menit berlalu. Pak Darmin memasuki kelas sebelas. Sepintas dilihatnya semua kursi terisi sehingga dia tidak mengabsen siswa satu persatu. Setelah mengulas sedikit materi pelajaran pekan lalu Pak Darmin mengajak siswa untuk membahas cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A.Navis yang telah ditugaskan kepada siswa untuk membaca dan menganalisisnya pekan lalu. Sebelum sampai pada pembahasan materi terlebih dulu Pak Darmin mempersilakan siswa secara sukarela untuk menceritakan kembali isi cerita pendek tersebut di depan kelas. Seketika semua siswa terdiam. Tak ada yang bersedia maju.
"Yang maju lebih dulu akan mendapat nilai plus," Pak Darmin mencoba memberi iming-imingi.
Sebagian siswa cenderung menunduk, tak berani memandang wajah Pak Darmin. Kalau keadaannya begitu, se[erti biasa Pak Darmin lantas menunjuk siapa saja agar maju dan tidak boleh menolak seperti yang telah disepakati di awal semester. Jika siswanya membandel Pak Darmin tak akan segan mengusirnya ke luar kelas. Â Â Â Â Â
"Kalian sudah membacanya, bukan? Baiklah, pilihannya cuma dua: ke depan kelas atau keluar kelas." Selanjutnya, sembarang saja Pak Darmin menunjuk kepada seorang siswa, "Kamu, maju!"
"Saya Pak?" Jempolnya menunjuk ke diri sendiri.
"Ya. Siapa namamu?"
"Abdul Majid, Pak, alias mantan."
"Mantan apa, pacar?"
"Mantan pemakai Pak, tapi sekarang sudah insyaf dan lulus uji di panti rehabilitasi."
Beberapa siswa mencetus. "Siswa baru Pak. Pindahan."
"Ohhhhh," Pak Darmin agak kaget, baru tahu  bahwa ada siswa pindahan di kelas binaannya. Pak Darmin terlanjur menunjuk, "Silakan maju."