Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Pernah Merantau

18 Agustus 2018   16:17 Diperbarui: 18 Agustus 2018   16:32 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampungnya kini dijuluki sebagai kampung majelis taklim. Dengan percaya diri seorang ketua RT membubuhkan tulisan di gapura masuk kampungnya: Selamat Datang di Kampung Majelis Taklim. 

Dari malam Senin hingga malam Sabtu berlangsung pengajian majelis taklim kaum laki-laki. Malam Jumat pengajian berlangsung  di masjid jami, malam-malam lainnya bergiliran, di musala  dan rumah warga yang ada di empat wilayah RT. Pengajian kaum perempuan berlangsung setiap Kamis pagi di majelis taklim khusus. Suaranya tersiar nyaring  melalui pengeras suara, terdengar hingga ke kampung tetangga.  

Malam Minggu dimanfaatkan sejumlah warga untuk kongko-kongko sambil ngopi di balai warga. Sebagian dari mereka aktif di komunitas kongko. Mereka bebas bicara ngalor-ngidul pada setiap acara kongko. Sepintas kegiatan mereka terkesan tidak penting, bahkan ada yang mengklaim sebagai gibah dan dihukumi haram. Namun dari sekian majelis taklim yang ada bermula dari gagasan yang timbul saat acara kongko berlangsung. 

Kegiatan upacara 17-an besar-besaran tingkat kampung pun pernah terlaksana berkat gagasan dan prakarsa komunitas ini. Belakangan komunitas ini juga mengagas berdirinya badan pembinaan dan penyantunan anak-anak yatim. 

Badan ini kemudian berhasil menyantuni puluhan anak yatim setiap bulannya.  Dananya dari berbagai sumber, termasuk dari pasar yang masih berada di wilayah kampung mereka. Mereka bergerak dengan menyediakan sejumlah kotak amal di warung-warung, mendekati warga yang berpunya agar bersedekah, mengajukan permintaan kepada rekan-rekan sepekerjaan, dan melakukan publikasi di media sosial.

Dia belum terlalu tua. Untuk ikut serta dalam aktivitas warga sesunguhnya dia masih mampu. Tenaganya juga masih kuat. Namun dia memilih pribadi yang cenderung tertutup, tidak peduli dengan urusan lingkungan. 

Tak jarang para tetangganya mengajak dia untuk menghadiri pengajian, tapi dia menolak. Terhadap suara ustaz di pengeras suara yang seolah mengungkit-ungkit kesalahannya di masa lalu pengang juga telinganya.

Belakangan kesibukannya mengurusi toko kelontongnya di pasar kecamatan terhenti. Usahanya itu bangkrut. Dia tertipu. Dananya banyak mengalir kepada seseorang untuk biaya kerjasama penambangan emas  ilegal di kawasan Banten Selatan. 

Setitik pun dia belum pernah menerima emas yang dijanjikan. Tak jelas, apakah uangnya digunakan untuk biaya operasional perburuan emas atau sengaja digelapkan oleh kenalannya itu.

"Aku bakar sekalian musalanya nanti!" Dia kalut, emosinya meletup. Suara ustaz berjuluk UPT alisa Ustaz Peci Tinggi di majelis taklim dirasakannya sangat mengganggu. Dia juga kerap mengutuk-ngutuk orang yang menipunya. Dia nyaris stres. Berhari-hari dia tidak keluar rumah. Istrinya diminta agar tidak mengganggunya. Nun jauh di lubuk hatinya seolah ada suara yang menggugah kesaradannya, sehingga timbullah keinginan untuk menebus kesalahannya di masa lalu.

Dalam awal tahun 1980 dia bersama sepuluh rekannya merantau ke Bandar Lampung. Merantau bukan menjadi kebiasan warga kampungnya, sehingga mereka dianggap sebagai orang-orang nekad walaupun sebenarnya berjarak tidak terlampau jauh dibandingkan dengan menyeberang ke pulau Kalimantan misalnya, ataupun jadi TKI ke Saudi. 

Di Bandar Lampung mereka mendapat pekerjaan di toko-toko dengan beragam jenis pekerjaan, dari bagian panggul barang, bagian keamanan sampai pelayan toko. Seiring waktu, berkat kinerjanya yang baik dia dipercaya untuk menjemput tagihan kepada para pelanggan. 

Tak jarang uang hasil tagihan memenuhi tas yang dibawanya. Namun karena kemalaman dan toko telah tutup dia kerap membawa uang hasil tagihan ke rumah kontrakannya. Dia tinggal bersama sejumlah rekannya, sesama perantau.  Demi keamanan, tas kembung berisi gepokan uang  digunakannya sebagai bantal tidur.

"Isinya duit semua Sar?" Suminta, seorang temannya, penasaran.

Segera dia mengeluarkannya dan memperlihatkannya kepada rekannya itu. Semuanya uang kertas beragam nominal.

Matanya terbelalak. "Aboooohhhhh! Itu duit asli semua? "

"Kalau duit palsu, gambar orangnya cemberut kayak mukamu!" Segera dia memasukkannya kembali ke dalam tas dan memulai tidur.

"Ajak aku mimpi indah, Sar!"

Dia tidak menyahut.

***

Minggu pagi, karena malamnya begadang dan jam kerjanya pun agak siang, dia bangun pukul tujuh.  

"Tidur berbantal duit mimpinya apa Sar?" cetus seorang teman lainnya.

"Mimpi jadi orang kaya dong!" guraunya.

"Sekali-sekali aku nyobain dong, biar jadi orang kaya betulan!"

"Memangnya kalau jadi orang kaya kamu mau apa?"

"Jelas mau kawin lagi dong!"

"Itu si Saonah mau dikemanakan?"

"Apa salahnya punya istri lebih dari satu, kayak orang-orang, Sar!"

"Jelas salah Dul, tidak sesuai dengan garis tangan. Garis tanganmu kacau. Kalau kamu kawin lagi bisa jatuh miskin. Maksudku, jauh lebih miskin dari keadaan sekarang."

"Ah, sok tahu kamu Sar! Tapi apa urusanmu, kemiskinan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu orang miskin harus dilestarikan."

"Ah, ngaco kamu!"

***

 Malam, 7 Maret 1986. Dia tidak pulang ke rumah kontrakan. Tak seorang pun rekan-rekannya yang tahu. Setelah diperiksa ternyata barang-barang berharga miliknya pun tak ada. Informasi bahwa dia melarikan uang majikan segera diketahui rekan-rekannya sehari kemudian.  Berselang sepekan dua polisi datang mencarinya. Tak seorang pun rekannya yang mengaku tahu ihwal keberadaannya.

Seperti yang mereka duga, ternyata dia pulang ke kampungnya, Kampung Gurubale. Kendati polisi berhasil menemukan Kampung Gurubale, tapi gagal menemukan jejaknya. Setelah situasi dianggap aman, gepokan duit milik majikan digunakannya untuk membeli rumah yang kemudian ditempati bersama istri dan seorang anaknya. 

Menyusul beberapa hari kemudian dia membeli kios dan berjualan barang kelontong di Pasar Malabere, berjarak sekitar empat kilometer ke utara dari kampungnya. Kabar  kesuksesannya merantau menyebar di seantero kampung. Gelang emas yang melilit di kaki istrinya menjadi buah bibir kaum perempuan di majelis taklim ketika itu.

Beberapa tahun kemudian teman-temannya yang juga kembali ke kampung tak seorang pun yang bercerita ihwal kasusnya. Mereka tutup mulut dan tetap menjaga rahasia, sehingga tak seorang pun warga kampungnya yang tahu. 

Sekalipun ada yang bercerita tentang kehidupan di rantau, mereka hanya bercerita tentang hal yang baik-baik saja. Kalau ada yang bertanya, mengapa  mereka tak lagi merantau?  Mereka menjawab, karena mereka selalu rindu kampung halaman, suatu alasan yang mudah diterima akal sehat karena merantau bukan budaya warga Kampung Gurubale.

***

"Apa yang bisa aku serahkan kepada Koh Shun Lie demi menebus kesalahanku." Batinnya merana. Waktu telah berlalu, lebih dari tiga puluh tahun. Dia baru didera rasa bersalah yang luar biasa. Inilah puncak penyesalannya, penyesalan yang seakan tidak tepat waktu. Dia ingin meminta maaf dan mengembalikan uang majikannya. Jika diukur dengan nilai uang sekarang jumlahnya meningkat puluhan kali lipat. 

Dia menggelapkan uang majikannya ketika harga emas 24 karat per gramnya tujuh ribu lima ratus rupiah. Sekarang harga emasnya lebih dari lima ratus ribu per gram, suatu jumlah yang tak mungkin dia dapat mencapainya. 

Namun tekadnya bulat, dia akan mencari mantan majikannya, sampai titik darah penghabisan. Andai pun mantan majikan telah tiada dia akan mencari ahli warisnya untuk menyerakhan uang pengganti sebanyak yang dia punya. Jumlahnya tentu masih jauh dari jumlah yang sepantasnya. Andaipun nyawa yang harus dia bayarkan, dia siap, demi menebus kesalahan di masa lalunya.  

***

Sebuah insiden mengagetkan, Avanza putih tercebur di parit dengan ketinggian air sekitar dua meter, di depan ruko, di kawasan perumahan elite Galing Semprong. Menurut saksi mata, mobil baru saja selesai ganti oli dan hendak parkir, tapi kemudian meluncur mundur tak terkendali dan menerabas trotoar hingga melompat ke parit sedalam hampir dua meter. 

Karena masih musim hujan airnya cukup dalam, sehingga mobil hanya tampak bagian atasnya. Orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian segera melakukan pertolongan. 

Namun karena sulitnya medan tiga korban yang berada di dalamnya tak dapat segera diselamatkan. Korbannya baru terangkat setelah hampir satu jam kemudian dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dialah satu di antara tiga korban itu. Menyusul alat berat mengangkat mobil naas tersebut. Kasusnya kemudian ditangani oleh pihak Polsek setempat.

Sebuah ambulans tiba di rumahnya bakda asar. Isak tangis istri dan anaknya nyaris tak terbendung. Beberapa temannya yang pernah sama-sama merantau pun hadir. Mereka tak banyak bicara, kecuali mengucapkan bela sungkawa yang mendalam dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Salat jenazah dilaksanakan di musala terdekat, diimami oleh Ustaz Peci Tinggi. Jamaahnya sebagian besar adalah mereka yang sering hadir di majelis taklim.

"Para jamaah, apakah almarhum orang yang baik?" tanya sang imam sebelum mensalati.

"Baik!" jawab sebagian jamaah serempak. Sementara sejumlah hadirin lainnya seperti mengamini walau tak bersuara.

Seperti biasa pertanyaan itu diulang sampai tiga kali. Tampaknya pertanyaan itu dimaksudkan sebagai doa, semoga alharnum sebagai orang baik dan tutup usia dengan khusnul khatimah.[]   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun