Kalaupun saya berhaji itu cuma kedok dan sekadar pelesir sehingga saya tampak seperti orang saleh dan dipercaya orang. Pergi ke tanah suci juga bergantung niatnya. Selain menunaikan ibadah haji, saya juga mengunjungi tempat-tempat lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaan. Untuk jaga-jaga, selain punya banyak jimat saya juga punya si bongkok alias pistol secara ilegal. Saya percaya si Oping tidak mengarang-ngarang. Dia bercerita sesuai dengan hasil mendengarkannya dari omongan orang-orang.
Belum genap sepekan Sumarna datang lagi menghadap saya. Apa lagi keperluannya kalau bukan pinjam duit. Tapi kali ini lebih menyebalkan, bahkan kurang ajar dia.
"Demi Tuhan, saya benar-benar perlu Kang Haji. Dua puluh juta." Kali ini dia lebih sopan.
"Gila. Banyak amat, Sum. Untuk keperluan apa?"
"Kurangnya segitu, Kang. Sebenarnya perlunya delapan puluh juta."
"Untuk apa?"
"Biasa. Urusan bisnis tanah. Ada tanah pinggir jalan kampung yang mau dijual. Pemiliknya lagi butuh duit. Butuh banget. Katanya sih anaknya kecelakaan sehingga harus dioperasi. Sayang kan kalau tidak dibeli. Tidak lama juga tanah itu bakal laku mahal. Untungnya bisa tiga kali lipat."
"Mengapa kamu mesti minta bantuan saya?"
"Cuma Kang Haji yang bisa bantu. Nanti kalau dijual untung akan saya tambah kembalinya. Untungnya bagi dua."
"Kalau saya tidak mau kasih?"
"Jangan gitulah Kang Haji. Rahasia Kang Haji kan ada di tangan saya. Saya kan tidak perlu mengatakannya kepada siapa-siapa, terlebih kepada istri Kang Haji. Maaf istri Kang Haji sedang pergi kan?"