"Mun, pinjami saya duit, buat bayar kreditan motor. Kalau tidak dibayar besok, bisa kena denda." Sumarna, sarjana sosial yang pekerjaannya sebagai calo tanah itu tergopoh-gopoh datang ke rumah saya bakda asar.
"Kamu lagi. Tidak sopan. Yang tua-tua juga jarang memanggil begitu. Memangnya tiga kali naik haji tidak pakai ongkos?!" Seketika saya mengomel setengah bergurau. Saya terbiasa dengan panggilan Haji atau Ji.
"Oh, maaf Ji, eh Kang Haji Munawar yang saya hormati."
"Juga gak gitu-gitu amat kali, lebay! Sewajarnya sajalah!"
Sumarna salah tingkah.
"Bicaralah yang jelas Sum, ada perlu apa?"
"Pinjam duit, sedikit, enam ratus."
"Sedikit? Sedikit kok mesti pinjam?"
Sumarna meremas-remas tangannya.
Saya hening sejenak. Saya jadi agak serba salah. Utang-utangnya yang lalu saja belum dilunasi, malah mau pinjam lagi. Saya memang tidak menagih utangnya, tapi tidak berarti saya mengikhlaskannya untuk tidak usah dibayar. Padahal telah beberapa kali dia mendapat keuntungan dari penjualan tanah yang dicaloinya. Kalau saya katakan bahwa saya sedang tidak punya duit dia pasti tidak percaya.
"Cuma enam ratus ribu, Mun, eh Kang Haji. Nanti setelah saya mendapat komisi dari pembayaran tanah Babah Chun Lie, pasti akan saya bayar."