Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Risiko Jadi Orang Kaya

29 Oktober 2017   21:21 Diperbarui: 31 Oktober 2017   06:21 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Serius, Sum?"

"Iya, Kang Haji. Harganya sudah deal."

Hah, omong kosong dia. Kemarin justru Babah Chun Lie membantah tanahnya akan dijual. Itu cuma gembar-gembor para calo saja. Saya tidak mau memberi pinjaman kepada Sumarna. Pikir saya, sekali-sekali dia harus diberi pelajaran.

"Sum, duitnya baru kemarin dipakai bayar Avansa dua, Fortuner satu, sama Baleno. Belakangan ini dagangan lagi sepi. Persediaan duit saya hari ini kosong. Maksud saya, duit yang ada tidak bisa dipinjamkan karena saya sudah berjanji besok mau bayar Terios."  Terpaksa saya berbohong.

"Atau lima ratus."

"Juga tidak bisa, Sum."

Sumarna termanggut-manggut, tapi tampak tidak puas. Saya kira urat malunya belum benar-benar putus, sehingga dia tidak berani memaksa. Namun saya kasihan juga. Saya memberinya lima puluh ribu rupiah sekadar untuk uang rokok. Tidak mengapa tekor duit segitu daripada enam ratus ribu tidak dibayar. Kapok saya memberi dia pinjaman.

Sumarna adalah satu dari sekian orang yang kerap berharap belas kasihan dari saya ketika mengalami masalah keuangan. Padahal dia bukan sanak saudara saya. Keramahan saya sering disalahartikan. Memangnya saya moyang mereka? Sebal saya. Namun yang tak kalah menyebalkan selain  Sumarna adalah, ah saya tak perlu menyebut namanya, suami dari kakak istri saya. Kakak ipar. Dulu dia pelitnya minta ampun. Ketika saya baru tiga tahun berumah tangga anak saya sakit keras, terpaksa dibawa ke rumah sakit. Saya tahu dia sedang berjaya. Usahanya buka toko sembako di pasar sedang lancar. Dia tahu saya dalam kesulitan, ketika saya meminta pinjaman duit, diberinya saya nasihat. Saya butuh duit untuk membayar rumah sakit, bukan nasihat. Sakit hati saya. Belakangan ini dia meminta dipinjami duit untuk tambahan modal. Tokonya diambang kebangkrutan. Ah, malas saya melayaninya.

Setelah saya renung-renung, saya jadi sadar bahwa berkat sakit hati itulah kemudian saya jadi terpacu untuk berusaha keras agar hidup saya tidak miskin. Saya bertekad agar usaha saya berhasil.  Mulanya saya ikut teman berjual-beli sepeda motor bekas. Dari ikut-ikutan sampai kemudian punya dealer sendiri, daeler motor bekas. Bisnis saya berkembang pesat.  Tapi lama-lama itu saya tinggalkan, meningkat  menjadi bisnis mobil. Saya berusaha keras agar jangan sampai bangkrut. Alhamdulillah, hasilnya lebih dari cukup. Setiap ada warga yang kesulitan keuangan datang kepada saya untuk menawarkan tanahnya. Saya membelinya dengan harga di bawah harga pasaran, kadang-kadang dicicil pula. Hingga kemudian hampir sepertiga luas tanah dari kampung yang saya tinggali adalah milik saya. Tak ada orang lain  yang punya tanah luas kecuali saya. Bukan bermaksud sombong, wajar kalau orang-orang menyebut saya sebagai orang kaya, bahkan terkaya. Tentu saja saya harus pandai-pandai mempertahankan kekayaan, bahkan kalau bisa diusahakan bertambah. Namanya juga bisnis mobil, mau tak mau saya harus berurusan dengan sistem bank, bahkan bank konvensional yang ditengarai mengandung riba. Kiyai saya menyarankan agar saya banyak sedekah sebagai pembersih harta saya. Itu sebabnya saya sering mengumpulkan kaum duafa dan fakir miskin untuk saya beri sedekah. Berkat begitu, rezeki saya bertambah lancar, selain saya terus memutar strategi bisnis semampu saya. 

Sejujurnya dengan punya banyak duit untuk mendapatkan teman sangat mudah. Di setiap kampung ada teman saya. Kalau kebetulan berkumpul di warung makan, mereka tidak menolak saat kalau mau saya traktir. Tapi saya tidak mau terlalu royal, penggunaan duit harus proporsional, karena untuk mendapatkannya tidak semudah mengedipkan mata. Saya harus  hitung-hitungan. Tidak boleh  sampai besar pasak daripada tiang.

Sesungguhnya hidup miskin atau pun kaya ada saja ujiannya. Berkat cukup duitlah saya kemudian tergoda perempuan. Saya tidak mau main perempuan. Kami saling menyukai. Katertarikan saya begitu kuat. Demi menghindari hal yang haram, tanpa sepengetahuan istri saya, saya pun menikah lagi. Sejauh ini pihak keluarga belum ada yang tahu. Jaraknya yang cukup jauh memungkinkan rahasia ini tidak terbongkar. Dan kami, saya dengan istri muda, sepakat untuk merahasiakannya. Sekurang-kurangnya sekali dalam sepekan saya harus mendatangi istri muda. Ketika saya tidak pulang dalam satu atau dua malam, cukup saya katakan bahwa saya sedang ada urusan bisnis. Istri pertama saya tidak curiga.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun