"Baiklah. Maafkan kami, tidak bisa menemanimu. Sabar ya kakak."
Kondisi terkini atas dirinya, dikabarkan Jumanta kepada teman-temannya di grup WhatsApp para sopir pribadi. Satu demi satu mereka memberikan dukungan, doa dan semangat. Â
Seluruh badannya terasa sakit. Dia tak bisa tidur. Malam terasa amat panjang. Obat anti nyamuk bakar tidak sepenuhnya mampu menghalau nyamuk. Dia merasa seperti berada di pengasingan yang jauh dari keluarga. Bayang-bayang kematian datang dan pergi. Dia ingat mati, tapi belum siap mati. Pikirnya, masih banyak tugas yang harus dikerjakan, terutama dua anaknya yang masih kecil, sedangkan si sulung telah selesai kuliah dan tinggal menunggu dilamar orang.
Pagi-pagi sekali, usai subuh kabar kematian kembali tersiar ke seantero penjuru Kampung Angin. Yang bersangkutan meninggal dunia di rumah sakit. Rencananya mayatnya akan dikuburkan di tempat khusus, tidak di pemakanan warga Kampung Angin. Pemandian jenazah, pengafanan, dan salat jenazah dilakukan oleh petugas. Jika demikian halnya, berarti penyebab kematiannya adalah virus korona.Â
Jumanta merasa terkepung. Kematian atas dirinya serasa kian mendekat. Dia bertekat untuk melakukan perlawanan terhadap virus yang menjangkitinya. Jumanta tetap mengusahakan kesembuhan. Â Untuk mendapatkan penciumannya yang hilang, pada air yang telah direbus istrinya diteteskan minyak kayu putih cukup banyak. Dia menutup diri dengan sarung. Dia menunduk sehingga wajahnya melawan uap yang panas. Dihirupnya uap air tersebut dalam-dalam dan berkali-kali. Badannya bermandi keringat. Â Dia membayangkan sedang melawan virus yang tidak tampak pada dirinya.
Pagi. Panggilan telepon masuk dari Pak Hendra, adik iparnya. Di ujung obrolan, Pak Hendra menawarkan bantuan tenda untuk digunakan berkemah. Guru SMA dan pelatih pramuka itu menyarankan agar Jumanta tinggal di tenda. Area seluas enam puluh meter persegi di belakang rumahnya itu bisa dimanfaatkan untuk mendirikan tenda pramuka. Itu lebih baik daripada Jumanta tidur di bekas kandang ayam yang kotor. Â Saran itu diterima Jumanta. Dalam waktu kurang dari dua jam, tenda telah berdiri dan menjadi tempat tinggal sementara bagi Jumanta. Pintu tenda mengarah ke pintu belakang rumah. Kondisinya lebih nyaman untuk ditempati. Gangguan nyamuk akan berkurang, sehingga tidak perlu mamakai obat anti nyamuk. Beruntung di sekitarnya ada pohon sirsak yang daunnya rindang sehingga dapat mengurangi teriknya sinar matahari.
Pada watku-waktu berikutnya tak ada kabar kematian yang tersiar melalui toa masjid. Sepertinya keresahan warga Kampung Angin mereda. Ternyata, Kiyai Markum yang melarang diumumkannya berita kematian. Diketahui ada dua warga Kampung Angin yang meninggal dunia di rumah sakit, dinyatakan terkena covid dan dimakamkan di tempat khusus yang disediakan pemerintah, jauh dari Kampung Angin.
Siang dan malam dilalui Jumanta dengan lebih tenang. Vitamin, beragam makanan dan minuman bergizi dikonsumsinya. Para tetangga turut memberikan bantuan berupa sayuran dan buah-buahan. Â
Pada hari kesembilan Jumanta mulai mendapatkan kembali penciumannya, hingga dua hari kemudian penciumannya terasa normal dan kondisinya semakin terasa enak. Jumanta menyampaikan hal itu kepada ketua RT dan Pak Hendra, mereka menyarankan agar Jumanta mengeceknya ke klinik guna memastikan kesembuhannya. Jumanta pergi sendiri ke klinik.
Dia berharap-harap cemas menanti hasil tes PCR.
"Negatif Pak," cetus petugas klinik seraya memberikan surat keterangan.