Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Belajar menebar kebaiakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemah di Belakang Rumah

9 November 2022   11:29 Diperbarui: 30 Januari 2023   01:42 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar bahwa negeri Cina tengah dilanda  wabah korona telah sampai ke telinga orang-orang Kampung Angin. Jumlah korban jiwa terus bertambah. Negara-negara lain pun mulai mengabarkan jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia. Namun dalam logika kebanyakan warga Kampung Angin sangat kecil kemungkinannya bahkan nyaris mustahil wabah di negeri yang amat jauh itu bisa sampai ke kampung mereka kendati Kampung Angin bisa dimasuki orang luar dari empat penjuru mata angin.  Aktivitas warga berjalan seperti biasanya. Bahkan sampai ada berita di televisi yang mengabarkan bahwa mulai banyak orang di dalam negeri yang terjangkiti, warga Kampung Angin tenang-tenang saja.

Kata Kiyai Sarkum bahwa berjangkitnya wabah tersebut atas kehendak yang maha kuasa, sehingga beliau berasumsi bahwa warga Kampung Angin tidak pernah melakukan kesalahan besar sehingga tidak akan ada karma yang menghukum mereka berupa berjangkitnya wabah. Namun doa tolak bala tetap dibacakan pada setiap kesempatan pengajian, usai salat lima waktu dan khotbah jumat.

Larangan berkerumun disampaikan petugas dari kecamatan dengan toa di atas mobil keliling kampung. Namun pada waktunya, hajatan warga tetap digelar tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Terlebih pengajian, pertemuan-pertemuan komunitas warga masih berjalan seperti biasa, tanpa ada kekhawatiran terjangkit virus yang kabarnya berbahaya dan bisa mengakibatkan korban jiwa.

Berdomisili di Kampung Angin, Jumanta merasa nyaman. Tak ada kekhawatiran akan terjangkit virus korona, sehingga hanya ketika bekerja dia memakai masker. Bosnya mewajibkannya memakai masker saat mengendarai mobil. Sebagai sopir pribadi dia harus patuh terhadap bosnya jika tidak mau kehilangan pekerjaan.

Dalam waktu yang relatif cepat, jumlah korban yang terjangkit terus bertambah, juga korban yang meninggal dunia. Usai salat subuh hingga pukul sembilan telah lima kali berita kematian diumumkan. Penyebabnya diduga virus korona. Hari sebelumnya satu orang meninggal dunia dengan penyebab sama. Masjid Nurul Qolbu kemudian disatroni Polisi Binamas dan Babinsa. Kiyai Sarkum diminta agar tidak melaksanakan salat jumat sehingga tidak ada kerumunan warga.  Mereka menyampaikannya dengan bahasa yang santun dan sangat berhati-hati.

Untuk meyakinkan kedua petugas tersebut Kiyai Sarkum mengumumkan melalui toa masjid bahwa hari itu salat jumat ditiadakan karena keadaan dinilai darurat. Warga diminta melaksanakan salat zuhur di rumah masing-masing. Beberapa warga yang datang dihalaunya agar pulang. Kendati masuk waktu zuhur tak ada yang azan di masjid Nurul Qolbu. Polisi pergi sekitar pukul dua belas seperempat.

Sekira pukul tiga belas, Kiyai Sarkum menaiki lantai dua. Tanpa dikomandoi sejumlah warga berdatangan. Seolah mereka paham bahwa  Kiyai akan mengimami salat. Jamaah yang datang kurang tujuh belas orang, termasuk Supena. Azan dikumandangkan dengan suara pelan. Khotbah disampaikan secara singkat oleh Kiyai Sarkum. Demikian juga dengan imam, yang dibacanya surat pendek. Prosesi ibadah jumat berlangsung singkat.

Kejadian itu diceritakan Supena kepada Jumanta. "Ha ha ha...," Jumanta tertawa lebar, "bagus itu! Baik polisi maupun pak kiyai tidak ada yang salah. Yang salah itu orang yang hari itu tidak melaksanakan salat apa pun."

"Kurang khusyuk Man, takut polisinya datang lagi."

"Tapi nyatanya tidak kan?"

"Tidak."

"Mereka cuma menjalankan tugas."

"Lantas, keadaan di jalan bagaimana Man?"

"Penyekatan. Ada yang mau menyeberang ke Sumatera, diputar balik. Di tempat lain ada razia masker. Yang tidak memakai masker didenda."

"Gawat dong."

"Sepertinya begitu."

"Semoga tidak sampai ke kampung kita yah."

"Mudah-mudahan, Pen."

Innalillahi wainnalillahi rojiun. Selepas magrib, kabar kematian kembali terdengar dari toa masjid Nurul Qolbu. Itu info kedua, info pertama tersiarkan selepas subuh ketika Jumanta hendak berangkat kerja. Yang meninggal dunia keduanya orang dewasa berusia di atas empat puluh tahun. Tak jelas apakah kematiannya disebabkan oleh virus korona.  Mereka meninggal dunia di rumah dan dimakamkan seperti biasa.

Esok harinya, seorang warga yang sedang sakit, perempuan berusia sekira lima puluh lima tahun, dijemput petugas puskesmas berkostum putih ala astronout yang belakangan diketahui warga dikenal dengan sebutan APD (alat pelindung diri), diangkut paksa dengan mobil ambulance. Ketua RT-nya seperti kecolongan karena tanpa pemberitahuan. Tak jelas pula mengapa hal itu bisa terjadi. Padahal perempuan itu jarang ke mana-mana. Aktivitas kesehariannya di rumah saja, sehingga dianggap tidak masuk akal jika dia terjangkit virus korona. Ketua RT mencarinya ke Puskesmas tapi tidak ada, ternyata dibawa ke Rumah Sakit Umum Kabupaten.

Penjemputan itu menandakan bahwa virus korona memang dinilai sangat berbahaya. Bahkan tersiar kabar bahwa banyak tenaga kesehatan yang terjangkit dan ada yang meninggal dunia. Kampung Angin menegang. Orang-orang yang semula tidak percaya terhadap keberadaan wabah tersebut ketar-ketir ketakutan.

*** 

Sebutlah namanya Lie Chin Sih. Usahanya bergerak dalam bidang distribusi mesin kompresor pabrik dengan wilayah pemasaran pulau Jawa. Dialah bosnya yang ke mana-mana disopiri oleh Jumanta untuk menjual dan melayani purna jual. Permintaan bos belum dipenuhi Jumanta, yakni suntik vaksin tahap satu. Jumanta meminta maaf karena belum sempat.

Tengah malam, sebuah pesan masuk di HP Jumanta bahwa bosnya sakit. Namun tidak berarti kerjanya libur. Bosnya memerintahkan agar Jumanta menjemput adiknya di Karawang untuk diantar ke Kalideres. Adik bos yang katanya warga negara Cina itu sepintas tampak biasa saja sehingga tak ada kekhawatiran Jumanta terhadapnya. Dia duduk di kursi baris tengah mobil innova yang disopirinya. Karena tak ada tugas lain Jumanta kembali lebih cepat. Namun dengan kondisi badan yang agak berbeda, setelah mengandangi mobil di garasi rumah bos, dalam perjalanan naik sepeda motor Jumanta mampir ke klinik Esa Medika untuk memeriksakan diri. Menunggu hasil tes PCR (Polymerase Chain Reaction) perlu waktu hampir tiga jam. Begitu hasilnya ditunjukkan, Jumanta kaget. Dirinya positif terpapar virus korona alias covid-19! Hal itu dikabarkannya kepada istrinya. Dia diminta tidak segera pulang dan cari akal bagaimana sebaiknya agar keluarga tidak tertular. Setelah berpikir beberapa saat Jumanta meminta istrinya menyediakan tempat di belakang rumah, bekas kandang ayam. Begitu tiba, Jumanta langsung menuju tempat istirahat yang telah disediakan. Jumanta kemudian mengabari ketua RT melalui telepon.  Ketua RT-nya menanggapi, "Bagus, itu lebih baik. Lebih baik isolasi mandiri di rumah. Tempat karantina dikabarkan penuh pasien."  

Istrinya membuka pintu sedikit untuk memberikan titipan dari Ketua RT, sebotol kecil propolis dan vitamin. "Ini dari Pak Erte, suruh diminum."

 "Ning, kau masih hafal nomor PIN ATM-ku?"

"Masih ada catatannya di dompet perhiasan."

"Jika aku tutup usia gunakanlah dengan baik. Uangnya memang tidak banyak, mudah-mudahan bisa membantu."

Seketika air mata istrinya meleleh. "Kakak, jangan berkata begitu. Kakak pasti sembuh."

"Seluruh badanku sakit. Sakit sekali."

"Semangatlah kakak, bertahanlah."

"Yah, mudah-mudahan. Kalian tenang saja. Aku akan berusaha untuk sembuh. Sudah yah jangan mendekat. Akan lebih susah kita jika semuanya tertular."

"Baiklah. Maafkan kami, tidak bisa menemanimu. Sabar ya kakak."

Kondisi terkini atas dirinya, dikabarkan Jumanta kepada teman-temannya di grup WhatsApp para sopir pribadi. Satu demi satu mereka memberikan dukungan, doa dan semangat.  

Seluruh badannya terasa sakit. Dia tak bisa tidur. Malam terasa amat panjang. Obat anti nyamuk bakar tidak sepenuhnya mampu menghalau nyamuk. Dia merasa seperti berada di pengasingan yang jauh dari keluarga. Bayang-bayang kematian datang dan pergi. Dia ingat mati, tapi belum siap mati. Pikirnya, masih banyak tugas yang harus dikerjakan, terutama dua anaknya yang masih kecil, sedangkan si sulung telah selesai kuliah dan tinggal menunggu dilamar orang.

Pagi-pagi sekali, usai subuh kabar kematian kembali tersiar ke seantero penjuru Kampung Angin. Yang bersangkutan meninggal dunia di rumah sakit. Rencananya mayatnya akan dikuburkan di tempat khusus, tidak di pemakanan warga Kampung Angin. Pemandian jenazah, pengafanan, dan salat jenazah dilakukan oleh petugas. Jika demikian halnya, berarti penyebab kematiannya adalah virus korona. 

Jumanta merasa terkepung. Kematian atas dirinya serasa kian mendekat. Dia bertekat untuk melakukan perlawanan terhadap virus yang menjangkitinya. Jumanta tetap mengusahakan kesembuhan.  Untuk mendapatkan penciumannya yang hilang, pada air yang telah direbus istrinya diteteskan minyak kayu putih cukup banyak. Dia menutup diri dengan sarung. Dia menunduk sehingga wajahnya melawan uap yang panas. Dihirupnya uap air tersebut dalam-dalam dan berkali-kali. Badannya bermandi keringat.  Dia membayangkan sedang melawan virus yang tidak tampak pada dirinya.

Pagi. Panggilan telepon masuk dari Pak Hendra, adik iparnya. Di ujung obrolan, Pak Hendra menawarkan bantuan tenda untuk digunakan berkemah. Guru SMA dan pelatih pramuka itu menyarankan agar Jumanta tinggal di tenda. Area seluas enam puluh meter persegi di belakang rumahnya itu bisa dimanfaatkan untuk mendirikan tenda pramuka. Itu lebih baik daripada Jumanta tidur di bekas kandang ayam yang kotor.  Saran itu diterima Jumanta. Dalam waktu kurang dari dua jam, tenda telah berdiri dan menjadi tempat tinggal sementara bagi Jumanta. Pintu tenda mengarah ke pintu belakang rumah. Kondisinya lebih nyaman untuk ditempati. Gangguan nyamuk akan berkurang, sehingga tidak perlu mamakai obat anti nyamuk. Beruntung di sekitarnya ada pohon sirsak yang daunnya rindang sehingga dapat mengurangi teriknya sinar matahari.

Pada watku-waktu berikutnya tak ada kabar kematian yang tersiar melalui toa masjid. Sepertinya keresahan warga Kampung Angin mereda. Ternyata, Kiyai Markum yang melarang diumumkannya berita kematian. Diketahui ada dua warga Kampung Angin yang meninggal dunia di rumah sakit, dinyatakan terkena covid dan dimakamkan di tempat khusus yang disediakan pemerintah, jauh dari Kampung Angin.

Siang dan malam dilalui Jumanta dengan lebih tenang. Vitamin, beragam makanan dan minuman bergizi dikonsumsinya. Para tetangga turut memberikan bantuan berupa sayuran dan buah-buahan.  

Pada hari kesembilan Jumanta mulai mendapatkan kembali penciumannya, hingga dua hari kemudian penciumannya terasa normal dan kondisinya semakin terasa enak. Jumanta menyampaikan hal itu kepada ketua RT dan Pak Hendra, mereka menyarankan agar Jumanta mengeceknya ke klinik guna memastikan kesembuhannya. Jumanta pergi sendiri ke klinik.

Dia berharap-harap cemas menanti hasil tes PCR.

"Negatif Pak," cetus petugas klinik seraya memberikan surat keterangan.

"Alhamdulillah!"

Jumanta senang luar biasa. Dia langsung menelepon istrinya. Istrinya memintanya segera pulang. Diteleponnya juga bosnya.

"Bos, negatif. Saya sudah sembuh, Bos! Besok saya sudah bisa mulai kerja?"

"Syukur deh kalau begitu. Kamu istirahat saja dulu, mulai kerja lusa saja."

"Baik, terima kasih, Bos."

Kabar baiknya disampaikan juga kepada teman-temannya di grup WhatsApp. Dikirimnya foto surat keterangan negatif covid-19 dengan teks: sembuh![]

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun