Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Belajar menebar kebaiakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mempelai Perempuan

17 November 2021   17:04 Diperbarui: 18 November 2021   18:39 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                 

Usman Hermawan

Demi menghargai ajakan Ustaz Munif, setelah berpikir-pikir akhirnya aku ikut juga kondangan ke acara hajatan sahabatnya, Bos Tomang, di Dukuhpisang. Karena bertetangga, aku dan Ustaz Munif terbilang akrab. Kami sering mengobrol tentang banyak hal, termasuk soal Bos Tomang yang kerap berkunjung ke rumahnya untuk berkonsultasi ataupun meminta sare'at. Jadi Ustaz Munif itu bisa dibilang sebagai guru spiritualnya. Berkat bantuan Ustaz Munif dan atas izin Allah, bisnis sayur-mayur Bos Tomang sukses. Anak buahnya banyak. Lapaknya tersebar di beberapa pasar tradisional di wilayah Tangerang Raya. 

Kendati sukses dalam bidang usaha, tapi Bos Tomang mengaku gagal dalam mendidik anak sulungnya, Boncu. Semasa Boncu SMA begitu seringnya Bos Tomang diundang ke sekolah untuk menyelesaikan masalah Boncu, karena sering bolos, merokok, mengencingi tiang bendera, tidak mau mengerjakan tugas-tugas pelajaran, sampai perkelahian gara-gara berebut cewek. Karena khawatir anaknya tidak naik kelas, Bos Tomang sering mengirim nasi kotak untuk guru-guru dan bingkisan menjelang lebaran. Menjelang pelulusan, Bos Tomang menyumbang baju batik untuk semua guru dan karyawan di sekolah. Dia senang pemberiannya tidak pernah ditolak.   

Setelah dinyatakan lulus, Boncu tidak punya rencana untuk kuliah meskipun sang ayah berusaha menyemangatinya. Dia justru minta dibelikan mobil Honda Jazz baru. Bos Tomang mengabulkan keinginannya dengan syarat Boncu ikut bekerja mengelola usahanya. Kabar bahwa terjadi kawin-cerai atas diri Boncu sempat aku dengar

Belakangan, Bos Tomang datang ke kediaman Ustaz Munif untuk menyampaikan undangan. Kabetulan aku baru saja keluar dari masjid, sehabis salat asar. Selanjutnya kami terlibat obrolan singkat.

"Bapaknya saja baru satu, ini anaknya empat kali." Bos Tomang mencetus bahwa Boncu kawin lagi untuk kali keempat, juga minta dipestakan. Katanya, kali ini istri Boncu anak tentara. Pangkatnya kapten.

Kukira Boncu berpoligami, ternyata bukan. Tak ada penjelasan mengenai penyebab Boncu mengalami perceraian hingga tiga kali. Sekarang atas permintaan Boncu pula Bos Tomang menyelenggarakan pesta pernikahannya.

Kendati pandemi belum benar-benar berakhir namun banyak warga yang mulai menggelar pesta, termasuk Bos Tomang. Kabar bahwa ada pesta pernikahan warga yang dibubarkan oleh satpol PP tidak membuat warga lainnya dengan serta-merta membatalkan niatnya. Andai pun pestanya dibubarkan petugas Bos Tomang pasrah, bahkan andai didenda sekalipun. Yang terpenting baginya, permintaan Boncu terpenuhi dan para koleganya hadir.

Kami berangkat berdelapan orang menggunakan mobil Ustaz Munif, disopiri oleh adiknya. Kedatangan kami disambut hormat oleh Bos Tomang dan istrinya dengan kostum yang istimewa, berkelap-kelip. Bos Tomang sendiri yang mengantarkan kami ke meja makan prasmanan. Hidangannya variatif, juga enak-enak. Ada bakso ikan kesukaanku. Kukira, inilah berkahnya bergaul dengan ustaz.

Sambil menikmati hidangan, tak henti aku memandang ke segala penjuru. Desain tendanya mewah dengan kombinasi warna yang serasi. Musik organ tunggal dengan suara merdu penyanyinya dan tampilannya yang enak dilihat cukup memanjakan tamu.

Pusat kemewahan  berada di area pelaminan. Yang menyita perhatian para tamu adalah adanya mobil sedan merah marun belum berplat nomor menambah kesan glamor. Kukira mobil itu harganya mahal. Tak kudapati informasi, apakah mobil itu untuk dipakai oleh Boncu atau pinjaman dari pemilik daeler kenalan Bos Tomang.

Saat kedua mempelai berfoto-foto dengan tamunya ada seorang berumur yang rasa-rasanya aku pernah melihatnya. Dari gesturnya yang berinteraksi dengan mempelai perempuan, kukira dia ibunya. Aku juga ingat pada surat undangan tertera nama mempelai perempuannya. Sahrina Wandira Putri. Melalui pelantang suara  pembawa acara di panggung musik dangdut pun menyebut nama kedua orang tua mempelai perempuan beserta alamatnya. Ibunya bernama Endarti dan ayahnya bernama Kapten Daryono. Aku penasaran, apakah mempelai perempuan adalah orang yang pernah menjadi siswaku di SMA sekira sembilan tahun silam?

Aku penasaran. Kuamati dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata betul, dia adalah Sahrina, siswa binaanku yang drop out akibat persoalan keluarga. Dia masih muda. Kini usianya sekira dua puluh lima tahun, lebih muda tujuh tahun dari mempelai pria.

***

Waktu sekolah Sahrina terbilang cewek terpandang karena kecantikannya. Hal itu diungkapkan oleh beberapa teman sekelasnya. Demikian juga pendapat beberapa guru yang mengajarnya. Namun soal absensi, alpanya paling baanyak. Sehari masuk, tiga hari bolos pun pernah beberapa kali terjadi. Sebagai wali kelas aku agak terlambat mengetahuinya. Saat aku tanya, mengapa dia sering tidak masuk, alasannya macam-macam. Dia mengaku sakitlah, sibuklah, bantu ibulah, bantu bapaklah, bahkan mengantar pacar ke dokter.

Sahrina jadi puast perhatian. Semua guru yang masuk kelas menanyakannya, mengapa dia sering tidak hadir. Padahal dalam perjanjiannya Sahrina akan rajin masuk sekolah. Jika alpa dalam tiga bulan pertama, kenaikan kelasnya akan dibatalkan. Dalam tiga bulan awal Sahrina memang selalu hadir. Namun setelah itu penyakit malasnya kumat lagi.

Aku menghela napas dan geleng-geleng kepala ketika ditanya guru lain tentang Sahrina. Wejanganku masuk telinga kiri, keluar di telinga kiri pula. Setelah dinasihati  karena kemarin tidak masuk sekolah, dua atau tiga hari ke depannya tidak masuk lagi. Begitu seterusnya, sehingga diperkirakan kehadirannya tidak memenuhi syarat kenaikan kelas. Pada kenaikan kelas yang lalu, naik kelasnya pun melalui perdebatan alot dalam rapat pleno dewan guru, antara tinggal kelas atau naik kelas.

Jika tidak mengalami kemajuan Sahrina berpeluang tidak lulus. Ancaman akan dikeluarkan dari sekolah ditanggapinya dengan sikap dingin. Sanksi skorsing berupa tidak boleh masuk sekolah tiga hari berturut-turut juga tidak berefek jera. Orang tuanya pun tidak kooperatif, tidak mau datang ketika diundang untuk datang ke sekolah dengan alasan kesibukan.

Dari tiga kali kunjungan ke rumahnya dan percakapan dengan Sahrina sendiri, serta catatan dari wali kelas sebelumnya banyaklah informasi yang diperolehnya terkait latar belakang keluarga yang berimbas pada keadaannya. Sahrina merupakan anak satu-satunya, tinggal berdua bersama ibunya. Ayahnya yang berprofesi sebagai tentara tinggal di asrama bersama keluarganya. Endarti, ibunda Sahrina berstatus sebagai istri siri. Kesibukan Endarti adalah menjalankan usaha catering dengan melayani kebutuhan konsumsi sejumlah karyawan di sebuah pabrik sepatu. Sahrina sendiri tidak banyak dituntut membantu ibunya. Pikir ibunya hal itu agar Sahrina mendapatkan keleluasaan untuk belajar. Sahrina sering sendirian di rumah. Ponsel menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya. Sebagian besar waktunya tersita untuk bermain-main dengan ponsel.

Berawal dari media sosial Sahrina mengenal Ferdian, seorang mahasiswa yang tinggal di tempat kost dan masih bergantung para biaya orang tuanya. Ferdian sering berkunjung dan sesekali pergi bersama Sahrina. Hubungan Ferdian dengan Endarti pun kian dekat. Ferdian seolah menjadi penganti peran ayah Sahrina. Ferdian sering dimintai bantuan membantu pekerjaan Endarti.

Endarti tidak dapat menolak ketika Ferdian ingin kost di rumahnya. Ferdian menyerahkan sejumlah uang sewa kepada Endarti. Sementara itu, seiring waktu karena tidak dapat membayar SPP, kuliah Ferdian terancam bangkrut. Hal itu tanpa sepengetahuan orang tuanya. Padahal kiriman orang tuanya tiap bulan tak pernah terputus.

"Ruwet Bu, ruwet!" Aku menyerahkan sejumlah catatan tentang Sahrina kepada guru Ibu Selvi, guru Bimbingan Konseling.  

"Saya terima Pak, tapi Bapak tolong bantu saya dalam menanani kasus Sahrina."

"Siap Bu, Siap."

Karena aku pun sibuk dengan urusan lain dan Bu Selvi tidak meminta bantuan, perhatianku terhadap masalah Sahrina nyaris luput. Berselang sepekan ada kabar dari Bu Selvi bahwa Sahrina akan keluar. Bu Selvi menjelaskan bahwa ternyata hubungan Sahrina dengan Ferdian telah melampaui batas. Bu Selvi menyarankan agar Sahrina dinikahkan. Penanganan kasus Sahrina berakhir dengan pengunduran atas nama ibunya. Dengan demikian berarti Sahrina keluar. Namanya dicoret dari daftar siswa. Setelah itu aku tidak lagi melihat ataupun mendengar kabar tentang Sahrina.

***

Begitu musik berjeda, seorang teman menepuk bahuku. Aku tersentak, kaget.

"He, Pak Guru melotot ke pengantin perempuan melulu dari tadi!"

 "Cantik yah! Bisaan si Boncu cari istrinya."

"Iyalah, anak bos. Kuat modalnya. Si Boncu nikah keempat kali itu. Duda sama janda, Pak Guru."

"Bagus kalau begitu."

"Apanya yang bagus, saya saja baru sekali. Saya juga mau kalau dikasih yang kayak gitu."

"Dra, gede biayanya. Ente kan yatim piatu. Gak usah belagu!"

Seketika kami pun tertawa. Tawa kami langsung dilahap intro musik dangdut. Lagu Gadis atau Janda pun dinyanyikan. Sejumlah orang nekat bergoyang di depan panggung. Satu orang menyodorkan uang seratus ribuan kepada biduan sesaat berikutnya seorang lainnya mengikuti. Para penontun bertepuk tangan.

Pada pertengahan lagu, sang biduan turun pangggung menghampiri Bos Tomang. Goyangannya menggoda iman.Tak mau kalah, Bos Tomang pun melambaikan tiga lembar uang seratus ribuan sebelum diberikan ke biduan itu. Menyaksikan hal itu Ustaz Munif senyum-senyum.

Setelah menyelesaikan makan pisang dan minum Ustaz Munif mengajak kami pulang. Umumnya kami tidak ingin berlama-lama mengingat masih banyak tamu yang akan masuk. Begitu Ustaz Munif pamit Bos Tomang meminta kami menyalami kedua mempelai di pelaminan.

Kembali aku memperhatikan mempelai perempuan, kali ini dari jarak dekat untuk memastikan bahwa dia adalah Sahrina yang pernah menjadi siswa binaanku. Seperti yang lainnya, aku pun menyalaminya dengan menyodorkan kedua tangan tanpa bersentuhan.

"Terima kasih," suaranya lembut.

Aku yakin seratus persen bahwa mempelai perempuan adalah Sahrina. Dia tidak mengenali jati diriku. Kupikir, begitu lebih baik.

Bos Tomang mengantar kami hingga di pintu keluar.

Dalam hati aku berdoa bagi kebaikan Sahrina. Semoga jodohnya dengan Boncu langgeng sebagai jodoh terakhirnya yang diberkahi kebahagiaan.[]    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun