Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kiai NU, Cak Imin, dan Bingkai Nasionalis-Religius

7 Agustus 2018   10:24 Diperbarui: 7 Agustus 2018   10:43 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti yang dilansir media nasional, pertemuan para kiai NU dengan KH. Said Aqil Siradj di kantor PBNU Jakarta terkait kondisi terkini menghadapi kontestasi Pilpres 2019 diawali dengan tahlil dan do'a untuk keselamatan bangsa.

Menurut berita yang penulis baca, tahlil dan do'a untuk keselamatan bangsa itu dipimpin oleh KH. Subhan Makmun pengasuh Ponpes Assalafiyah Luwungragi Kab. Brebes Jawa Tengah atas permintaan KH. Said Aqil Siradj.

Saking tawadlunya, setelah kiai Said mempersilahkan ke KH. Subhan beliau tidak lantas langsung menuruti permintaan itu, beliau malah menyerahkan mik kepada Gus Ali Masyhuri Pengasuh Ponpes Bumi Sholawat Sidoarjo yang duduk disebelahnya.

Begitupun halnya dengan Gus Ali, atas akhlaq tawadlunya beliau tidak langsung mengambil mik yang disodorkan oleh kiai Subhan, sambil bercanda Gus Ali malah berkelakar: "ya sudah, saya keluar saja".  Para kiai yang hadir diruangan pun nampak ger-geran merespons kedua kiai yang dikenal alim itu.

Setelah Gus Ali mempersilahkan, kiai Subhan pun langsung lantunkan kalimat-kalimat tahlil dan do'a yang kemudian diikuti oleh para kiai yang hadir. Suasana ruangan pun dipenuhi dengan suasana hening dan khusuk.

Begitulah kiranya prosesi di kantor PBNU setiap kali akan membicarakan urusan bangsa yang melibatkan para kiai, selalu diawali dengan tahlilan dan do'a yang berkahnya ditujukan kepada para pendiri NU dan lebih khusus untuk keselamatan bangsa.

Fakta itu penulis kira menggambarkan bahwa keluhuran ilmu kiai NU tidak berujung pada sikap merasa diri paling hebat. Lebih dari itu, mereka lebih mendahulukan kemaslahatan masyarakat banyak sebagai elemen bangsa dibanding memikirkan pribadi dan kelompoknya.

Para kiai yang hadir adalah sebagai figur dan tokoh sentral di masing-masing daerahnya, dan tentunya memiliki pengikut dan jejaring yang kuat. Tetapi keadaan itu tidak membuat mereka jumawa kala bertemu dalam satu 'riungan' kiai NU.

Konon dalam forum itu, para kiai sepuh yang merupakan perwakilan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Yogyakarta menyampaikan beberapa situasi terkini terkait masalah gangguan terhadap keutuhan bangsa.

Diantara persoalan yang sangat krusial yang disampaikan diantaranya rongrongan pihak luar yang tidak ridlo bila NKRI ini masih berdiri kokoh ditengah segala perbedaan yang dirawatnya. Yang sedang hangat adalah "ideologi makar" yang terus menghembuskan angin kotor bahwa pemerintah adalah Thogut, demokrasi haram, Pancasila produk kafir dan lain sebagainya.

Selain itu, ideologi kapitalis dan liberal yang terus menerus menggerogoti tubuh ekonomi negeri ini supaya daya tahannya terus menerus menurun. Sehingga masyarakat kita diseret pada satu area bernama "kemiskinan".

Kemiskinan adalah pintu masuk yang sangat leluasa bagi pihak-pihak berkepentingan untuk menanam benih ideologinya, ideologi makar salah satunya. Disamping itu, benih radikalisme yang terus menjalar ditengah masyarakat kita tak hentinya dibentengi oleh kiai NU dengan pesantrenya yang tak henti menebar nilai Islam Rahmatan Lil'alamin.

Satu untuk Cak Imin

Selain membincang soal situasi bangsa terkini, pertemuan yang digelar Sabtu malam tanggal 4 Agustus 2018 itu, para kiai nusantara ini menyampaikan satu perkembangan dimasyarakat menghadapi Pilpres yang akan digelar tahun 2019 esok.

Para kiai telah menerima aspirasi dari para warga, baik itu para santri maupun jemaah yang intinya menyampaikan bahwa sudah saatnya para kiai, santri dan masyarakat berada dalam satu barisan mengusung salah satu kader NU terbaik, yakni Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Bukan tanpa alasan tentunya, selain sebagai pewaris pendiri NU KH. Bisri Sansyuri Cak  Imin yang hari ini nahkodai kapal besar PKB adalah salah satu kader yang 'kelamin' NU nya jelas dan dianggap bisa mewujudkan harapan para kiai, santri dan masyarakat dalam hal menebar kemaslahatan bangsa.

Aspirasi kiai NU yang disampaikan kepada Kiai Said itu sebagai bagian dari hak politik warga Nahdliyin dan dilindungi konstitusi negara. Selain itu, mendorong Cak Imin untuk maju menjadi Cawapres Jokowi adalah bagian dari ijtihad politik warga NU, bukan mengotori muruah NU secara institusi seperti anggapan orang.

Menurut para kiai, mengutus Cak Imin maju sebagai Cawapres adalah ikhtiar supaya gempuran peluru radikalisme dan terorisme yang akhir-akhir ini ditujukan kepada bangsa ini senantiasa bisa dilawan atau mungkin dilenyapkan.

Para kiai NU tentu sudah bertekad bulat dan merapatkan barisan menjadi garda terdepan atas serangan ideologi radikalisme yang berujung pada rutuhnya bangunan NKRI yang telah dijaga dan berdiri kokoh selama ini.

Cak Imin tak ubahnya sebagai harapan bagi para kiai, santri dan masyarakat yang selama ini diam dan tidak mampu berucap atas keinginannya karena selalu menjadi sasaran empuk "adu domba" dari para pihak yang selalu tidak meridloi NU menjadi "penguasa" negeri ini.

Munculnya nama KH. Ma'ruf Amin, KH. Said Aqil Siradj dalam bursa Cawapres Jokowi akhir-akhir ini sebagai bukti bahwa upaya bentur-benturkan tokoh dan warga Nahdliyin tidak pernah berhenti tujuannya tentu supaya warga NU dibawah menjadi floating mass (masa mengambang) yang kemudian menjadi sasaran empuk kepentingan politik "mereka".

Alasan lainnya, pendiri NU termasuk leluhur Cak Imin dan kiai NU yang hari ini masih tidak menghentikan ihktiar merawat "NKRI harga mati" dari segala rongrongan dan gangguan hanya ingin negeri ini dilimpahi berkah sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, baldatun thaayyibatun warabbun ghafur.

Selanjutnya, para kiai berkeyakinan bahwa Pilpres 2019 adalah kesempatan terbaik dalam jalankan ikhtiar membesarkan NU. Dukungan satu suara terhadap Cak Imin semata-mata membangun peluang untuk memperbaiki kondisi bangsa ditengah segala ancamannya.

Para kiai hanya ingin hak politik warga NU yang disalurkan melalui PKB dan 11 juta suara pada Pemilu 2014 termasuk didalamnya adalah modal utama menebar manfaat dan kemaslahatan bangsa ini.

Munculnya ungkapan "kalimatin wahidah wa shaffin wahidah" (satu bahasa dan satu barisan) dari para kiai NU adalah wujud nyata bahwa para kiai siap pasang badan untuk Cak Imin. Sekaligus sebagai cara para kiai menghargai perjuangan dan kiprah leluhur Cak Imin pejuang kemerdekaan RI dan pendiri NU.

Nasionalis-Religius

Kegigihan para kiai terus mendorong Cak Imin supaya bersanding dengan Jokowi dilatari oleh narasi besar Nasionalis-Religius. Para kiai meyakini bahwa narasi ini merupakan kekuatan besar penyangga keutuhan NKRI.

Nasionalis-religius adalah obat mujarab bagi penyakit "makar" yang tak henti menjalar sebagai akibat wabah ideologi asing yang tak henti merangsek masuk ke Indonesia dengan berbagai cara dan upaya.

Para kiai berpandangan bahwa Cak Imin sangat cocok sebagai Cawapres Jokowi. Tak berlebihan kiranya bila perpaduan nasionalis dan religius seolah munculkan memori lama terkait kepemimpinan nasional kita, Gus Dur - Mega.

Gus Dur dan Mega pernah didera derita akibat perlakuan rezim Soeharto terhadap keduanya, wajar bila hubungan keduanya mejadikan mereka sulit dipisahkan. Bersatunya mereka juga seolah mengingatkan kembali jejak-jejak persahabatan yang penuh emosional antara kiai NU dengan Bung Karno.

Akhir tahun 1950 hingga awal tahun 1960 adalah masa-masa dimana NU berada dalam posisi terhormat dipanggung kekuasaan Soekarno kala itu. Walhasil, kesetiaan kiai NU terhadap Soekarno masih bertahan hingga Soekarno berada diujung kekuasannya.

Tak berlebihan kiranya bila penulis berpendapat bahwa "perkawinan" Nasionalis-Religius melalui kepemimpinan Jokowi - Cak Imin pada Pilpres 2019 yang dikehendaki para kiai terwarisi sejarah masa lalu.

Para kiai NU haqul yakin bahwa nasionalisme tidak bisa berdiri sendiri, ia harus senantiasa satu nafas dengan nilai spiritualitas keagamaan. Spiritnya adalah sila kesatu Pancasila kita: "Ketuhanan yang Maha Esa".

Fenomena yang akhir-akhir ini dialami bangsa Indonesia boleh jadi ditenggarai oleh tidak siring sejalannya nasionalisme dengan agama itu sendiri. Ditambah ia terus digempur oleh ideologi makar bahwa nasionalisme bukan bagian dari ajaran Islam.

Padahal Islam merupakan elan vital bagi terwujudnya nilai-nilai nasionalisme bangsa. Pakem "hubbul wathan minal iman", mencintai negara adalah sebagian dari iman yang digencarkan KH. Hasyim Asy'ari adalah bukti nyata bahwa nasionalisme adalah keimanan itu sendiri.

Keyakinan para kiai NU itu berlanjut kepada bahwa sesungguhnya religiusitas Islam menjadi sumber motivasi bagi kehidupan masyarakat yang kemudian ditempatkan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

Merawat bingkai Nasionalis--Religius ini sungguh tidak mudah, bahkan ujianya pun cenderung selalu berat. Kiai NU yang masih istiqomah dalam bingkai itu bukan tanpa ujian, setiap hari mereka selalu menjadi sasaran tembak peluru radikalisme berbalut agama ditengah apresiasi negara terhadap perjuangan NU seringkali tak berimbang, kiai NU selalu Ikhlas dijadikan bemper atas ideologi makar yang racuni bangsa ini.

Simbol kepemimpinan Jokowi -- Cak Imin yang didorong para kiai NU sekaligus sebagai simbol Nasionalis--Religius tentunya bukan sekedar jargon dalam konteks memaksimalkan ikhtiar. Konsistensi kiai NU dalam perspektif ini telah teruji sejarah, bahwa siapapun yang menyerang NU ujung-ujungnya ia akan "tewas" dengan sendirinya.

Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun