Selanjutnya, para kiai berkeyakinan bahwa Pilpres 2019 adalah kesempatan terbaik dalam jalankan ikhtiar membesarkan NU. Dukungan satu suara terhadap Cak Imin semata-mata membangun peluang untuk memperbaiki kondisi bangsa ditengah segala ancamannya.
Para kiai hanya ingin hak politik warga NU yang disalurkan melalui PKB dan 11 juta suara pada Pemilu 2014 termasuk didalamnya adalah modal utama menebar manfaat dan kemaslahatan bangsa ini.
Munculnya ungkapan "kalimatin wahidah wa shaffin wahidah" (satu bahasa dan satu barisan) dari para kiai NU adalah wujud nyata bahwa para kiai siap pasang badan untuk Cak Imin. Sekaligus sebagai cara para kiai menghargai perjuangan dan kiprah leluhur Cak Imin pejuang kemerdekaan RI dan pendiri NU.
Kegigihan para kiai terus mendorong Cak Imin supaya bersanding dengan Jokowi dilatari oleh narasi besar Nasionalis-Religius. Para kiai meyakini bahwa narasi ini merupakan kekuatan besar penyangga keutuhan NKRI.
Nasionalis-religius adalah obat mujarab bagi penyakit "makar" yang tak henti menjalar sebagai akibat wabah ideologi asing yang tak henti merangsek masuk ke Indonesia dengan berbagai cara dan upaya.
Para kiai berpandangan bahwa Cak Imin sangat cocok sebagai Cawapres Jokowi. Tak berlebihan kiranya bila perpaduan nasionalis dan religius seolah munculkan memori lama terkait kepemimpinan nasional kita, Gus Dur - Mega.
Gus Dur dan Mega pernah didera derita akibat perlakuan rezim Soeharto terhadap keduanya, wajar bila hubungan keduanya mejadikan mereka sulit dipisahkan. Bersatunya mereka juga seolah mengingatkan kembali jejak-jejak persahabatan yang penuh emosional antara kiai NU dengan Bung Karno.
Akhir tahun 1950 hingga awal tahun 1960 adalah masa-masa dimana NU berada dalam posisi terhormat dipanggung kekuasaan Soekarno kala itu. Walhasil, kesetiaan kiai NU terhadap Soekarno masih bertahan hingga Soekarno berada diujung kekuasannya.
Tak berlebihan kiranya bila penulis berpendapat bahwa "perkawinan" Nasionalis-Religius melalui kepemimpinan Jokowi - Cak Imin pada Pilpres 2019 yang dikehendaki para kiai terwarisi sejarah masa lalu.
Para kiai NU haqul yakin bahwa nasionalisme tidak bisa berdiri sendiri, ia harus senantiasa satu nafas dengan nilai spiritualitas keagamaan. Spiritnya adalah sila kesatu Pancasila kita: "Ketuhanan yang Maha Esa".