Rasa sepi dan sendiri kerap kali menghantui aku dan mama, terkadang kami tertawa bersama. Setelah itu, kami akan berdiam seorang diri untuk meringkuk dalam rindu, menginginkan seseorang yang telah jauh di sana.Â
Tak mampu digapai dan enggan untuk tergapai oleh tangan atau hanya sekadar berpeluk kesah, mencumbu di keheningan malam yang mendingin dalam relung kalbu.Â
Sandiwara ini bukan hanya aku yang melakoninya, tapi mama sudah lebih dulu membekap mulutnya untuk tidak bertanya tentang "mengapa".
Sampai kami bertemu dengan sosok baru yang belum kukenal namanya. Sosok yang selalu menebar senyumnya dari balik bibir tipisnya dengan pakaian rapi sebagai seorang perwira.Â
Aku terkagum akan keramahan hatinya dan ketulusan kasihnya. Dan itu pula yang memikat hati mama dan menjadikannya sebagai tambatan hati mama yang baru, tapi belum tentu aku. Iya, aku malah membencinya karena bagiku ia sudah lancang menggantikan posisi papa.
Di sini aku memang terlihat jahat bukan? Begitu sombong, merasa tidak perlu bantuan orang lain. Keangkuhan ini melekat begitu saja dalam nadiku, mengalir seperti aliran darah yang berlalu lalang melalui pembuluh.Â
Tapi semua itu terjadi karena kepercayaan yang aku berikan kepada sosok laki-laki pertamaku telah hancur karena ulah ketamakan dari sepasang hati yang mengatasnamakan sebuah cinta.
Menjadi sampah dan berakhir sebagai lelucon
Hingga denting waktu berbunyi satu per satu...
Tapi Tuhan, Maaf...
Kebencian itu semakin menjadi, aku tidak mau mengakuinya. Sekadar memanggil atau bertegur sapa pun begitu enggan untuk terucap, yang ada hanya kebencian, ketidakpercayaan, dan hal lain yang membuatku semakin menutup pintu hati.Â
Aku tidak lagi mengenal kasih sayang karena tanpa itu aku masih bisa hidup dan tanpa itu pun aku masih mampu untuk tersenyum melewati kerumitan dalam hidup.