Tangerang, 14 Mei 2014
Memori akan waktu yang meninggalkan kenangan di perbatasan Kota Jakarta, bertaut dengan alunan gramofon dan keheningan senja yang menepi di angkasa. Aku berdamai dengan semesta yang mengharuskanku bersabar dan memaksaku untuk mengerti akan artinya menghargai.Â
Sebab, penyesalan selalu datang terlambat tanpa adanya permisi ataupun mengetuk pintu hati untuk sekadar memberikan salam kepada pemiliknya.
Tuhan izinkan aku untuk menemuinya kembali dalam mimpi atau hanya angan yang mengusik ilusi dalam diri...
Jakarta, 14 Mei 2005
Angin bertalu dengan kencangnya sampai menyinggung dedaunan yang tengah berdesik menirukan bunyi alam untuk memanggil haribaan Illahi. Para manusia yang memangku nasi bergantian kesana kemari untuk mengisi lambung di pagi hari.Â
Retorika hidup yang membosankan lagi-lagi harus aku jalani. Tersenyum di kala menangis, menangis di kala tersenyum, formalitas untuk mendapatkan empati harus dan lagi terjadi.
Penghormatan memang perlu, pujian memang dibutuhkan, aku tidak menampik akan hal itu. Sebagai manusia yang berakal dan bernafsu, aku ingin keduanya.Â
Tapi, haruskah berselimut kebohongan yang menutupi jiwa raga? Sampai-sampai aku tidak diperbolehkan untuk menyapa kejujuran dan kepahitan hidup yang seharusnya aku tahu. Hingga aku lupa bahwa aku manusia biasa, bukan dewa apalagi Tuhan yang mendewakan diri.
Pergolakan dalam diri itu kian menyingkap, membungkus dalam-dalam rasa hormatku kepada sesama manusia. Iya, aku terlalu angkuh sebagai manusia, persoalan duniawi selalu kuagungkan dalam naluri insaniku.Â
Bertahun-tahun tertanam dalam jiwa bahwa aku harus menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Menjadi juara di antara juara yang berbaris rapi menerima penghargaan.
Jakarta, 25 Januari 2007
Gempita tahun baru di bulan awal yang mengisahkan luka dan haru, hari ini menjadi hari yang benar-benar bersejarah karena untuk kesekian kalinya dilalui begitu saja.Â
Untungnya masih ada mama yang ingat hari ini, walaupun harus kuingatkan selepas subuh tadi pagi. Mama sapaan akrabnya, biasa dipanggil "Eceu" oleh kebanyakan pelanggan yang datang ke warung kami.
Semenjak perpisahan itu, aku dan mama memang hidup berdua saja, tanpa ada sosok yang lain terutama laki-laki.Â
Mungkin, bagi keduanya perpisahan adalah jalan yang terbaik, meskipun terkadang aku tidak mengerti mengapa harus perpisahan yang mereka pilih, tanpa berkompromi dengan hati mereka masing-masing.Â
Aku tidak berani bertanya mengapa demikian karena menurutku, sampai saat ini mama sudah lebih dari cukup daripada harus memaksakan kehendak yang memang tidak mungkin untuk terjadi.
Tumbuh besar tanpa papa dan menjadi anak tunggal di keluarga, membuatku menjadi anak yang keras dan terkesan tertutup kepada orang lain.Â
Tidak banyak orang yang tahu papa dan mama karena saat bersekolah pun aku lebih sering diantar oleh suster atau dengan ibu-ibu yang senantiasa menawarkan jasanya untuk mengantarkanku sampai gerbang sekolah.
Dan lagi aku kembali menjadi orang lain yang memandirikan hidup untuk bergulat dengan sejarah yang digoreskan dari orang terdahulu. Keadaan membuatku dewasa sebelum waktunya, tapi aku semakin terbiasa dan berdamai dengan keadaan.
Jakarta, 30 Desember 2008
Rasa sepi dan sendiri kerap kali menghantui aku dan mama, terkadang kami tertawa bersama. Setelah itu, kami akan berdiam seorang diri untuk meringkuk dalam rindu, menginginkan seseorang yang telah jauh di sana.Â
Tak mampu digapai dan enggan untuk tergapai oleh tangan atau hanya sekadar berpeluk kesah, mencumbu di keheningan malam yang mendingin dalam relung kalbu.Â
Sandiwara ini bukan hanya aku yang melakoninya, tapi mama sudah lebih dulu membekap mulutnya untuk tidak bertanya tentang "mengapa".
Sampai kami bertemu dengan sosok baru yang belum kukenal namanya. Sosok yang selalu menebar senyumnya dari balik bibir tipisnya dengan pakaian rapi sebagai seorang perwira.Â
Aku terkagum akan keramahan hatinya dan ketulusan kasihnya. Dan itu pula yang memikat hati mama dan menjadikannya sebagai tambatan hati mama yang baru, tapi belum tentu aku. Iya, aku malah membencinya karena bagiku ia sudah lancang menggantikan posisi papa.
Di sini aku memang terlihat jahat bukan? Begitu sombong, merasa tidak perlu bantuan orang lain. Keangkuhan ini melekat begitu saja dalam nadiku, mengalir seperti aliran darah yang berlalu lalang melalui pembuluh.Â
Tapi semua itu terjadi karena kepercayaan yang aku berikan kepada sosok laki-laki pertamaku telah hancur karena ulah ketamakan dari sepasang hati yang mengatasnamakan sebuah cinta.
Menjadi sampah dan berakhir sebagai lelucon
Hingga denting waktu berbunyi satu per satu...
Tapi Tuhan, Maaf...
Kebencian itu semakin menjadi, aku tidak mau mengakuinya. Sekadar memanggil atau bertegur sapa pun begitu enggan untuk terucap, yang ada hanya kebencian, ketidakpercayaan, dan hal lain yang membuatku semakin menutup pintu hati.Â
Aku tidak lagi mengenal kasih sayang karena tanpa itu aku masih bisa hidup dan tanpa itu pun aku masih mampu untuk tersenyum melewati kerumitan dalam hidup.
Penolakan yang aku berikan, tidak serta merta membuatnya gentar untuk mundur. Ia mencoba mendekat dan berusaha untuk bersabar meruntuhkan tembok hati yang membatu di balik karang. Tidak pernah sekalipun ia berkeluh dan mengadu kepada mama, hanya saja mama pasti tahu isi hatinya.
Lima tahun berlalu, rupanya tembok hatiku sedikit demi sedikit runtuh, kerikil yang berjatuhan, menghujam kesadaranku, bahwa dunia tidak selalu setuju dengan segala tindakanku.Â
Tapi, lagi-lagi tidak ada yang berubah dari sosoknya, ia tetap ada dengan senyuman yang sama dalam kasih yang selalu ia tebarkan sebagai pelindung bagi aku dan mama.
Di luar sana, ia begitu dikagumi dan dipuja, aku akui itu pantas untuk ia dapatkan. Bagaimana tidak? Di saat seluruh orang memanfaatkan kedudukan dan jabatan untuk mendapatkan kepuasan, ia tetap menjadi sosok yang sederhana.Â
Begitu sederhana, sampai-sampai ia tidak mau orang lain mengetahui dirinya yang sebenarnya, termasuk aku dan mama.
Bodohnya aku tidak menyadari hal itu dan enggan untuk mengakui kesalahanku, tapi semesta menyiapkan skenario yang indah antara aku dan ia. Kami memiliki kesamaan dalam berbagai hal, seperti aliran musik yang kami sukai atau selera makan yang kami jumpai.
Menghabiskan malam di tengah kota, menggunakan motor vespa kesayangannya yang disulap menjadi kereta kencana.Â
Melewati lampu jalanan yang berdiri gagah, sesekali memberikan kehangatan bagi seorang anak dan ayah yang bila dilihat begitu bahagia. Menikmati kekhidmatan sebagai seorang manusia, aku diberikan ruang dan waktu untuk menjadi diriku yang seutuhnya.
Tanpa harus menjadi orang lain ataupun meniru orang lain. Aku tidak tahu, sejak kapan pastinya aku merasa nyaman didekatnya, merasa aman saat bersamanya, dan merasa sepi jika ia tidak ada.
Namun, aku tetaplah aku dengan segala kesombongan dalam diriku yang tidak mau untuk berkata jujur, apalagi mengakui kesalahanku yang telah membencinya sejak lama. Harus kuakui mama tidak pernah salah memberinya kesempatan untuk masuk ke dalam kehidupan kami yang telah hampa dan kosong oleh raga.
Banyak hal yang kupelajari darinya, kesederhanaan, kejujuran, ketulusan, dan kesabaran, terutama kepercayaan menggoreskan cerita tersendiri bagi aku dan mama.
Jakarta, 22 Januari 2022
Papa sejauh ini aku bahagia, Terima KasihÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H