Tangerang, 14 Mei 2014
Memori akan waktu yang meninggalkan kenangan di perbatasan Kota Jakarta, bertaut dengan alunan gramofon dan keheningan senja yang menepi di angkasa. Aku berdamai dengan semesta yang mengharuskanku bersabar dan memaksaku untuk mengerti akan artinya menghargai.Â
Sebab, penyesalan selalu datang terlambat tanpa adanya permisi ataupun mengetuk pintu hati untuk sekadar memberikan salam kepada pemiliknya.
Tuhan izinkan aku untuk menemuinya kembali dalam mimpi atau hanya angan yang mengusik ilusi dalam diri...
Jakarta, 14 Mei 2005
Angin bertalu dengan kencangnya sampai menyinggung dedaunan yang tengah berdesik menirukan bunyi alam untuk memanggil haribaan Illahi. Para manusia yang memangku nasi bergantian kesana kemari untuk mengisi lambung di pagi hari.Â
Retorika hidup yang membosankan lagi-lagi harus aku jalani. Tersenyum di kala menangis, menangis di kala tersenyum, formalitas untuk mendapatkan empati harus dan lagi terjadi.
Penghormatan memang perlu, pujian memang dibutuhkan, aku tidak menampik akan hal itu. Sebagai manusia yang berakal dan bernafsu, aku ingin keduanya.Â
Tapi, haruskah berselimut kebohongan yang menutupi jiwa raga? Sampai-sampai aku tidak diperbolehkan untuk menyapa kejujuran dan kepahitan hidup yang seharusnya aku tahu. Hingga aku lupa bahwa aku manusia biasa, bukan dewa apalagi Tuhan yang mendewakan diri.
Pergolakan dalam diri itu kian menyingkap, membungkus dalam-dalam rasa hormatku kepada sesama manusia. Iya, aku terlalu angkuh sebagai manusia, persoalan duniawi selalu kuagungkan dalam naluri insaniku.Â