Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepuhan Rasa

30 Agustus 2021   12:10 Diperbarui: 30 Agustus 2021   12:34 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasa itu telah menorehkan luka pada hati, setelah semua diberikan padanya. Hati tak sanggup lagi berdiri dan ia memilih untuk tenggelam dalam larutan luka yang berdarah. 

Jakarta di awal tahun, setelah kemeriahan kembang api di puncak menara emas disertai suara petasan yang lebih terdengar seperti suara dentuman, tiga hari yang lalu. Semoga tahun ini kiranya dapat memberi sedikit warna pada hidupku. Setelah tahun-tahun lalu kubiarkan pergi begitu saja, akhirnya aku bisa menghirup udara ini kembali. 

Aku mulai menjalani rutinitas yang kutinggalkan setelah libur tahun baru kemarin, sebagai seorang penyiar radio di salah satu stasiun radio swasta. Pagi-pagi sekali mama sudah membangunkanku dari mimpi tadi malam, aku sendiri tidak tahu aku bermimpi apa saja, yang kuingat hanyalah wajah mama yang tiba-tiba terbayang.   

Wanita paruh baya yang telah menemani hidupku selama 25 tahun, kurang lebih setengah dari masa hidupnya, ia habiskan untuk membesarkanku seorang diri. Setelah kepergian papa yang mendadak karena serangan jantung, mama berusaha menjadi sosok figur seorang ibu sekaligus ayah untukku. 

Hanya untukku mama bertahan hidup, itulah jawaban yang selalu mama lontarkan setiap kali ada orang yang bertanya padanya. Bukan perkara mudah untuk mama bertahan hidup, banyak sekali rintangan yang menerpa, tapi mama tetap bertahan. Lagi-lagi untukku, katanya.

Kedekatan antara aku dan mama memang belum terjalin dalam waktu yang lama. Baru sekitar beberapa bulan kami dekat secara intens, sebelumnya? Ya, begitulah. 

Semua itu, terjadi lantaran kesalahanku sendiri. Itu pula yang membuat diri ini tidak bisa memaafkan aku sepenuhnya, terlebih kekeliruan ini juga yang menyebabkan papa pergi untuk selamanya. Dulu, aku begitu egois dan kekanak-kanakkan.

            ....

Hari senin adalah hari pertamaku masuk ke sekolah mengenakan seragam putih abu-abu. Setelah seminggu yang lalu aku melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah yang membuat diri ini lelah seharian. Suasana baru di sekolah impianku ini membuat aku tidak sabar untuk beranjak dari perebahan. 

Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi, ternyata masih beberapa jam lagi. Aku yang kebingungan karena ketidaksabaran ini, akhirnya termenung di atas tempat tidur sambil mengarahkan pandangan ke arah jarum jam yang bergerak perlahan. Tak terasa, mata ini ikut kelelahan dan memilih untuk terpejam kembali.

Sinar pagi yang hangat masuk ke dalam kamarku menembus tirai-tirai hordeng jendela yang tersapu hilir angin. Semerbak aroma masakan yang sudah tidak asing bagi penciumanku ini, membuat aku terbangun karena perutku menggerutu minta diisi. Nasi goreng spesial lengkap dengan telur mata sapi yang siap memanjakan pagi yang ceria ala koki handal kami, yaitu mama. 

Setelah bersolek dan mengenakan seragam identitas baru ini, aku bergegas turun menuju sumber aroma itu. Di meja makan sudah siap segalanya, termasuk papa dan mama yang menyambutku dengan senyuman yang begitu manis.

            ....

Bahagianya aku dapat lahir di tengah keluarga ini, sampai lima belas tahun aku merasakan kebahagiaan dalam pelukan papa dan mama. Mereka berdua memang tidak sama sekali memanjakan diriku, tapi kasih sayang mereka lebih dari cukup untuk kehidupanku. 

Kebahagiaan itu menyelimuti kami, sebelum saatnya aku sendiri yang mengusik kebahagiaan itu. Aku tak pernah menyangka, aku sendiri sebagai penyebab hilangnya senyuman papa dan mama.

            ....

Setelah suapan terakhir masuk ke dalam mulutku, mama sudah siap dengan segelas susu putih di tangan kanannya. Papa juga telah berdiri menenteng tas dan merapikan sedikit dasi birunya. Sepanjang penjalanan aku sangat menikmati suasana pagi yang begitu indah, ditemani dengan senandung papa yang menyanyikan lagu jazz favoritnya. 

Jarak antara rumah dan sekolah baruku ini memang terbilang cukup jauh, dengan berkendara saja sudah memakan waktu setengah jam lebih. Padahal dalam kondisi jalanan yang tidak begitu padat, alhasil aku dan papa harus lebih memberikan waktu untuk perjalanan.

Sesampainya di tempat tujuan, aku berpamitan dengan papa, papa mencium keningku dan mencubit hidung anaknya ini. Papa melambaikan tangan padaku dan aku balas dengan lambaian tanganku pula.

Aku menatap gerbang tinggi nan megah di depanku ini, disertai lalu lalang anak-anak dengan pakaian yang senada, aku masuk melangkahkan kaki dan berharap semoga Tuhan memberikan hal yang terbaik untukku.

Di sekolah baruku ini aku mendapatkan teman-teman yang baik, guru-guru yang penyabar dan tentunya pengalaman yang mengesankan. Di antara semua itu, ada sosok pria yang berhasil merebut perhatianku, Dannis namanya. Ia adalah kapten tim basket SMA Nusa Indah, sekolah kami. 

Entahlah, sejak kapan aku bisa jatuh hati padanya. Mungkin saja karena Dannis ini adalah salah satu siswa terpopuler di sekolah. Tapi, sepertinya bukan itu ya. Aku melihat Dannis adalah sebagai seseorang yang dewasa, maklum saja, ia adalah kakak kelasku dua tingkat ke atas. Saat aku masuk, ia sebentar lagi akan lulus. 

Terlepas dari semua itu, betapa beruntungnya aku karena cintaku tidak bertepuk sebelah tangan padanya. Inikah yang dinamakan cinta oleh orang-orang? Indahnya.

Semenjak kehadiran Dannis, ia yang menggantikan posisi papa mengantarkan aku pergi dan pulang sekolah, meskipun Dannis telah satu tahun lulus. Papa dan mama memang sudah mengenal baik Dannis karena sering kali Dannis datang untuk sekadar bersilaturahmi ke rumah. 

Di rumah, papa yang paling dekat dengan Dannis. Padahal sepengetahuanku, papa adalah orang yang paling sulit untuk didekati dan terkesan apatis pada setiap orang. Tapi, Dannis lagi-lagi membuatku kagum, ia berhasil merebut hatiku dan juga papa.

Tak terasa, hari kelulusanku tiba. Papa dan mama hadir di tengah acara kelulusan dengan pakaian senada, papa dan mama setia menemaniku. Tapi, Dannis. Dannis menghilang sejak tadi pagi karena dia sedang berada di Bandung sejak dua hari sebelumnya. Rasanya kurang lengkap tanpa kehadirannya. 

Di tengah acara yang begitu khidmat, tiba-tiba aku mendengar suara dan petikkan gitar yang sepertinya sering kudengar. Ketika aku mencari sumber suara dan, laki-laki berjas putih, berkaca mata hitam, serta rambutnya yang dikuncir kuda. Oh Tuhan, Dannis. Dannis datang, ternyata ia merencanakan semua ini untuk memberi kejutan padaku, papa dan mama sudah tahu terlebih dulu.

Dannis adalah yang terbaik untukku, ia begitu setia menghiasi hari demi hari ini. Tiada kata bosan ketika bersamanya yang ada hanyalah kata bahagia. Meskipun, kami berbeda kampus, tapi Dannis tetap setia mengantarkan aku dan menjemputku kembali ke rumah. Masih sama seperti yang dulu dan aku berharap selamanya akan seperti itu.

Suatu hari, aku dan Dannis berkencan ke salah satu pusat perbelanjaan. Di sana, Dannis menemaniku membeli kado ulang tahun papa. Setelah berkeliling, saatnya untuk mengisi perut ini karena seharian berbelanja dan itu sangat melelahkan. Ketika kami sedang makan siang, di luar dugaan ada seorang wanita yang berlari ke arah kami. 

Wanita itu berdiri tepat di depan wajahku saat ini, ia menatapku dan Dannis dengan tatapan yang begitu tajam. Plak! Tangan wanita itu melayang ke pipi Dannis. Tapi, Dannis diam saja, ia malah tertunduk dan seperti ada sesuatu hal yang ia sembunyikan.

Wanita itu, aku tidak mengenal ia siapa. Tapi, sepertinya ia mengenalku karena ia langsung menyebut namaku dan mengutarakan maksud ia kemari dan berlaku demikian halnya. Ternyata, ia adalah mantan kekasih Dannis, dua bulan yang lalu. Saat itu, aku tidak bergeming, aku berpikir aku dan Dannis telah berpacaran selama tiga tahun lamanya. 

Itu berarti, selama ini Dannis mengkhianatiku dengan berselingkuh di belakangku. Pikiran itu, tak ayal membuat aku bingung dan aku menangis sejadi-jadinya, tidak peduli orang lain melihat kejadian ini. Aku berlari dari tempat dan meninggalkan mereka berdua di sana.

Brukkk! Tubuhku terpelanting dari atas tempat tidur, aku merasakan nyeri pada bagian pinggangku. Ternyata, aku bermimpi. Tapi, mengapa aku bermimpi seperti itu? Aku terdiam dalam lamunanku semalam suntuk. Mimpi itu, telah merusak tidurku dan membuat aku tidak bisa tidur kembali. Semoga saja tidak akan terjadi suatu apapun, gumamku dalam hati.

            ....

Aku tidak pernah menyangka mimpi itu memberi isyarat padaku, tapi aku terlalu buta. Sampai pada akhirnya, aku melupakan isyarat dari mimpi itu begitu saja, tanpa mencoba berpikir kembali.

            ....

Empat tahun berselang, hubungan kami sudah semakin dekat. Hari ini adalah anniversary kami yang ke 7 tahun, lagi-lagi Dannis berhasil menyentuh hatiku. Di hari spesial kami ini, ia datang dengan membawa segenggam bunga mawar putih kesukaanku dan kotak kecil berwarna merah yang ia keluarkan dari dalam saku jasnya. 

Ia bersimpuh di hadapanku dan meraih tangan kananku, membuka jemariku dan melingkarkan cincin manis bertuliskan nama kami di jari manisku. Hadirin yang menyaksikan, memberi tepuk tangan dan bersorak riuh dalam suasana yang membuat jantungku tidak berhenti berdegup. Tanganku dingin dan lemas, seakan tubuh ini melayang dalam kebahagiaan. Dannis, ia membuatku semakin percaya, ia adalah jodoh dari kuasa.

            ....

Aku sangat mempercayai Dannis, seperti aku percaya pada papa. Aku yakin Dannis bisa membahagiakan aku kelak, seperti papa membahagiakan aku dan mama selama ini.

            ....

Penyakit jantung papa kambuh lagi, terpaksa papa harus dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat secara intens. Setelah mendengar kabar dariku, Dannis segera datang ke rumah sakit, ia menemani aku yang sedari tadi menangis sesegukan. Dannis berusaha menenangkan aku dan mama di depan ruang rawat papa. 

Tiba-tiba dokter dan suster menghampiri kami, ternyata ada suatu hal yang ingin papa sampaikan padaku. Aku bergegas masuk ke dalam dan melihat kondisi papa yang memprihatinkan, di tubuhnya terpasang berbagai alat penopang kehidupannya. Perlahan aku mendekati papa dan berusaha menahan air mata.

Samar-samar kulihat mata papa terbuka perlahan, mulutnya bergerak sedikit demi sedikit. Aku berusaha mengartikan kata demi kata yang papa lontarkan. Setelah kuselami, aku tidak percaya akan ucapan papa. Terlebih, aku sendiri mengenal betul siapa orang yang papa maksud, orang itu adalah kekasihku sendiri, Dannis. 

Papa bilang, Dannis adalah anak dari pesaing bisnis papa, mereka bermusuhan karena iri hati ayah Dannis kepada papa. Bukan hanya sampai di situ saja, ternyata ada maksud tersendiri dari Dannis selama ini pada keluargaku. Tapi, aku sama sekali tidak bisa mempercayainya karena aku menganggap itu masalah papa di masa lalu.

Seketika aku meninggalkan papa seorang diri dan berlari menuju taman. Dannis yang melihatku berlari sambil menangis, ia mengejarku ke taman. Saat itu, aku mulai mengklarifikasi kebenaran ucapan papa dari Dannis sendiri. Ternyata memang benar, Dannis adalah anak pesaing bisnis papa dan ayahnya merupakan musuh bubuyutan dengan papa. 

Tapi, Dannis berusaha meyakinkan diriku. Bahwasannya, ia benar-benar mencintai aku apa adanya tanpa maksud yang papa ucapkan sebelumnya. Aku yang begitu menyayangi Dannis, memeluknya erat dan berharap semua akan baik-baik saja karena aku sangat mempercayai Dannis.

Tiga hari kemudian, Dannis datang kembali untuk menjenguk papa sambil membawa sekeranjang buah yang dibungkus rapi. Aku menemani Dannis untuk menjenguk papa yang keadaannya mulai stabil. Dannis memberikan salam pada papa tapi papa tidak menggubrisnya, ia malah mengalihkan pandangannya. 

Aku yang merasa tidak enak hati berusaha untuk mencairkan. Aku berusaha berkata yang baik kepada papa. Tapi, lagi-lagi papa tidak menggubrisku seolah enggan mendengar penjelasanku dan tetap teguh pada pendiriannya.

Setelah satu minggu papa dirawat, akhirnya papa diizinkan utuk pulang ke rumah. Dannis sudah menunggu di parkiran untuk mengantarkan kami pulang. Tapi, papa tidak mau dan menunjukkan ketidaksukaannya pada Dannis. Akhirnya papa pulang dengan mama menggunakan taksi dan aku bersama Dannis.

Di mobil, Dannis menanyakan perihal perubahan sikap papa padanya. Aku bingung untuk menjelaskannya, tapi syukurlah Dannis mengerti.

Papa semakin menjadi, ia kini melarangku untuk berhubungan dengan Dannis dan menyuruhku untuk memutuskan hubungan kami. Sontak saja aku terkejut dan marah pada papa. Sekali dua kali aku masih bisa menahan emosiku. Tapi, kali ini darahku memuncak dan aku tidak terima dengan semua perlakuan papa. 

Saat itu, aku mengemas seluruh barang-barangku dan menarik koper dari lemari untuk meninggalkan rumah. Mama menangis menahanku untuk tidak pergi, tapi papa tidak bergeming. Ia tetap duduk di atas kursi roda dan menatapku ke arah luar. Aku bulatkan tekad untuk pergi dengan maksud agar papa sadar dan kembali menerima Dannis.

Aku tak tahu harus kemana, akhirnya aku putuskan untuk menginap di rumah Dannis. Sesampainya di rumah Dannis, keadaan tampak sepi karena aku ketuk pintu beberapa kali tidak ada yang menyahut dari dalam. 

Akhirnya, aku sendiri melangkahkan kaki masuk. Kakiku terhenti di depan kamar Dannis yang terdengar gaduh, aku yang takut terjadi sesuatu, memberanikan diri untuk membuka pintunya. 

Ternyata, aku menemukan Dannis sedang bercinta dengan seorang wanita yang lain. Aku yang terkejut, berteriak menyebut namanya dan menghampiri keduanya yang berselimut putih tebal tanpa pakaian. Aku menampar Dannis, kali pertama aku melayangkan tanganku pada pipinya. 

Tapi, Dannis tidak menunjukkan rasa bersalahnya, ia malah menyeretku ke luar rumah. Saat itulah, aku mengerti bahwa Dannis tidak sebaik apa yang aku pikirkan.

Hancur lebur rasanya hati ini, kepercayaan dan cintaku dikhianati orang yang begitu berarti bagiku. Aku menyesal telah memilih Dannis dan meninggalkan papa, demi hubungan yang seharusnya tidak pernah aku jalani. Aku berlari kembali ke rumah untuk mendapatkan maaf dari papa. 

Tapi, semuanya terlambat. Sampai di rumah aku melihat kibaran bendera kuning yang terpasang di sela gerbang rumahku. Aku tergopoh-gopoh masuk untuk menemui papa dan mama. 

Betapa terkejutnya aku, melihat sosok yang terbujur kaku di depan kakiku. Aku tak sadarkan diri di samping jasad yang sangat aku kenali. Mama merangkulku dan menidurkanku di pangkuannya sambil mengusap air matanya.       

Sejak saat itu, aku merasa menjadi manusia terbodoh di dunia ini. Sampai saat ini aku belum bisa memaafkan diriku dan melupakan rasa sakitnya patah hati. 

Rasa ini terlalu berat untuk kubawa dalam kehidupanku. Aku hanya dapat berharap semoga Tuhan masih berkenan memberiku waktu untukku meminta maaf pada papa serta memberi ruang pada hati ini yang seakan sesak setelah kejadian itu, seketika aku seperti mati.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun