Pak Burhan tidak langsung menjawab. Sekali lagi ia menatap wajah kami bergantian. Kemudian bercerita, "Kalian jangan kaget, ya. Kalau memang warung itu yang dimaksud, warung itu sebenarnya sudah sebulan kosong. Warung itu dibakar oleh perampok, dan pemiliknya, suami-istri, mati dibunuh."
Tentu saja kami bertiga kaget mendengarnya. Joko bahkan sampai melotot dan mulutnya menganga.
"Hai, Ndi, semalam, kan, kamu nerima uang kembalian, coba lihat!" kata Bambang.
Aku pun segera merogoh saku celanaku, telapak tanganku menyentuh sesuatu tapi terasa bukan uang kertas. Karena penasaran langsung kukeluarkan.
"Hah ... daun?" Joko dan Bambang hampir berteriak.
Ya, ditanganku bukan uang lima ribu kembalian beli air mineral, tetapi sehelain daun yang sudah mengering.
"Hai, Jok. Coba kauambil air yang kita beli," perintahku pada Joko.
"Nggak mau, ah!"
"Biar aku saja!" Bambang setengah berlari menuju mobilku.
Setelah Kembali, Bambang meletakkan kantung plastik berisi air mineral yang dibeli tadi malam. Aku pun segera membukanya. Begitu terbuka, untuk kedua kalinya mata  kami terbelalak, kaget. Kantung plastik itu memang berisi botol air mineral, tapi kondisinya kotor dan berisi air keruh, seperti baru diambil dari tempat sampah.
"Tidak salah lagi," celetuk Pak Burhan pelan.