***
Bandung, Sabtu 26 Desember 1992, menjelang Magrib.
Setelah menempuh perjalanan 3 jam lebih. Saya dan rombongan keluarga sampai di rumah 'calon istri'.
Karena tanggung menjelang salat Magrib, disepakati acara khitbah sekaligus aqad nikah akan dilaksanakan bada salat Magrib. Calon mertua ternyata sudah menyiapkan semuanya, termasuk pihak KUA yang sudah siap.
Selepas salat Magrib acara pun dimulai. Walaupun tidak umum, proses melamar dan langsung dilanjut aqad nikah, pihak KUA tidak banyak bertanya. Sepertinya memang sudah dikondisikan oleh calon mertuaku.
Sekitar pukul 21, tibalah saat yang mendebarkan, kejadian yang takkan kulupakan seumur hidupku. Saat saya -- setelah mengucapkan kalimat aqad di hadapan mertua -- menyerahkan mahar ke istri. Saat itulah untuk pertamakalinya saya melihat wajah istri. Begitupun sebaliknya. Untuk beberapa menit kita saling beradu pandang, dan saling melempar senyum.
Hal mendebarkan kedua terjadi setelah acara selesai. Saat seluruh keluargaku pulang. Saya merasa terasing di tengah keluarga istriku, karena baru kenal ayah mertua saja, sedangkan ibunya, kakak-kakaknya, adik-adiknya, dan saudara-saudara yang lain belum. Dengan istri pun belum kenal, tapi tidak mungkin saya memperlihatkan baru bertemu saat itu kepada keluarganya.
Sampai kini, hidup bersama selama 31 tahun, kami telah membuktikan bahwa pacaran pasca nikah itu ternyata lebih asyik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H