Dari pembicaraan selama taaruf -- dibatasi kain hijab -- saya merasa cocok dengan akhwat ini. dan sebagai lanjutan proses, saya menemui orangtuanya.
Sekitar pukul 20 saya diterima 'calon mertua'. Hanya ayahnya. Tidak banyak yang dibicarakan. Sebagaimana umumnya orangtua, yang ingin jodoh terbaik untuk anaknya, obrolan lebih kepada ingin mengenal atau mengetahui siapa saya. Dari gestur yang diperlihatkan, saya menangkap beliau 'menerima' saya jadi menantunya. Satu jam kemudian pun kami berpamitan.
***
Sebuah Kabupaten di Jawa Barat, Rabu 23 Desember 1992
Salah satu permintaan calon mertua, saat ngobrol semalam, adalah kapan orangtua saya datang untuk melamar. Saya kaget mendengar pertanyaan itu. Antara ragu dan senang, saya menjawab, 'Insya Allah hari Sabtu'.
Maka hari ini saya cuti, pagi-pagi sekali saya pulang kampung. Ingin mengabarkan sekaligus meminta orangtuaku bersilaturrahim ke rumah 'calon mertua'.
"Hah, melamar. Gak salah?" Kalimat pendek itu diucapkan ayahku. Menggambarkan kekagetannya mendengar permintaanku.
Saya memaklumi keterkejutan orangtuaku. Sebagaimana yang dikatakan ibuku, bahwa mereka khawatir anggapan para tetangga. Selama ini kalau ada yang menikah mendadak, pasti asumsinya nikah karena 'kecelakaan'.
Saya pun menjelaskan semuanya. Dari kemungkinan dimutasi kerja, aktivitas pengajian, dan proses perjodohan. Tentu saja terjadi obrolan yang lama. Saya mengeluarkan semua argument pentingnya menikah sekarang-sekarang. Dari menjaga diri dari sampai kalau jadi pindah ke Surabaya.
"Tapi ... Ujang sudah kenal sama calonnya belum?" Ada nada khawatir dari ibuku saat bertanya. Ujang adalah panggilan saya di rumah. Ibuku pantas untuk khawatir, karena tahu betul karakterku yang pemalu. Bayangannya, bagaimana mau mengenal calon istri, kalau bicara dengan perempuan saja gugup, dan jarang gaul.
Untuk beberapa jenak saya tidak menjawab. Kebingungan melandaku. Kalau mengatakan tidak pernah bertemu langsung (saat ta'aruf dihalangi kain hijab, jadi tidak melihat wajahnya), tentu saja diskusi akan lebih panjang lama lagi. Orangtuaku pasti tidak setuju. Anggapannya mungkin seperti memilih kucing dalam karung.