"Itu biodata akhwat yang sudah siap menikah. Ana sudah cariin yang sekiranya cocok buat Antum." Kak Indra menjelaskan, karena melihatku hanya tertegun.
Gemetar tangan saya memegang kertas itu saat membacanya. Biodata yang ditulis hanya yang umum. Nama, tempat tanggal lahir, pendidikan, alamat, nama orangtua, aktivitas atau pekerjaan, dan harapan atau visi membina rumah tangga.
"Ini ..., ini ..., serius, ta'aruf sekarang, Kak?" Tergagap lagi, tidak percaya prosesnya secepat ini.
"Iya, itu tergantung Antum. Kalau memang sudah siap, sekarang kita temui akhwatnya," ajak Kak Indra.
Perang berkecamuk di dalam kepala. Antara lanjut ta'aruf atau tidak. Kalau tidak, saya khawatir kantor memindahkanku dalam pekan-pekan ini. Tanpa pemberitahuan, tanpa persiapan. Kalau itu terjadi, di Surabaya nanti, saya harus memulai lagi. Harus beradaptasi. Dan kalau dapat calon istri pun kemungkinannya orang Surabaya.
Tapi kalau sekarang lanjut ta'aruf, masalahnya hanya persiapan saja yang belum. Persiapan saya menikah maksudnya. Sama sekali tidak ada persiapan apa pun. Karena tidak mengira akan secepat ini.
"Saran ana, Antum ikuti saja prosesnya. Kalau memang cocok dan jodoh, Allah akan memudahkan proses selanjutnya. Kalau tidak cocok, ya sudah. Kan, ini baru ta'aruf." Kak Indra mengagetkan saya. Seolah dia tahu apa yang sedang saya pikirkan.
Dengan pertimbangan tersebut saya kemudian menyetujui. Kami berdua pun kemudian berangkat ke lokasi di mana seseorang -- kalau jodoh -- yang akan menjadi istriku.
***
Bandung, Selasa 22 Desember 1992
Sesuai yang disepakati saat taaruf, saya -- ditemani Kak Indra dan seorang teman -- bersilaturrahim ke rumah akhwat.