"Betul ... betul." Utsman mengacungkan dua jempolnya.
Karena ingin segera sampai ke Mekkah untuk menghindari sergapan pasukan kaum Muslimin, Amr bin al-Hadhrami memutuskan untuk tidak beristirahat. Padahal kondisi unta-unta pembawa barang dan para pengawal sudah kelelahan setelah seharian berjalan.
Sebuah keputusan yang salah. Keputusan yang justru membawa mereka ke jurang petaka, beberapa meter di depan mereka.
Dan, betul saja. Belum usai tawa gembira Utsman bin Abdullah, kesunyian malam pecah oleh suara takbir yang bergelombang.
"Allaaaaahu Akbar!"
"Allaaaaahu Akbar!"
"Allaaaaahu Akbar!"
Sebelum menyadari apa yang terjadi, beberapa sosok berkelebat menerjang rombongan pedagang Quraisy. Amr bin al-Hadhrami dan pengawalnya tentu kaget. Mereka tidak menyangka mendapat serangan mendadak. Sebisa mungkin mereka melakukan perlawanan. Para pengawal pun segera mencabut pedang mereka.
Amr bin al-Hadhrami, sebagai pimpinan rombongan, punya rasa tanggung jawab. Dia menghunus pedangnya. Menyambut seseorang yang berusaha menerjangnya. Namun, situasi tidak menguntungkan mereka. Kondisi kelelahan setelah berjalan seharian, serta lengah tidak menyangka akan mendapat serangan, membuat mereka tidak bisa mengimbangi serangan dari pasukan Muslim.
Kondisi gelap membuat mereka tidak bisa melihat. Padahal jumlah pasukan Muslim hanya sepertiga jumlah mereka. Rupanya, suara takbir yang bersahutan dan bergema di tengah malam itu telah menciutkan nyali mereka.
Sebagian dari orang-orang Quraisy malah melarikan diri meninggalkan rombongan. Instruksi Amr bin al-Hadhrami yang menyuruh mereka untuk melakukan perlawanan tidak digubris.