Sehari sebelum pemberangkatan pasukan Muslim, Farukh menyerahkan sejumlah uang kepada istrinya seraya berkata, "Istriku, ini bekal selama aku berangkat. Insya Allah cukup untuk beberapa bulan, sampai aku kembali pulang."
Setelah berkata demikian, Farukh menyerahkan sebuah kotak kepada istrinya. "Dan ini adalah harta simpananku, yang telah kutabung semenjak sebelum kita menikah. Jumlah pastinya aku tidak tahu, tapi diperkirakan tidak akan kurang dari 30.000 dinar. Kutitipkan harta simpananku ini kepadamu, dan jangan sekali-kali menggunakan uang di dalam kotak ini, sebelum aku pulang."
Keesokan harinya, Suhaila mengantar suaminya sampai di depan pintu rumah. Tidak ada satu kalimat pun keluar dari mulutnya. Tatapan sendu dan airmata yang membasahi kedua pipinya cukup mewakili isi hati Suhaila.
Memahami gejolak yang terjadi di dalam hati istrinya, Farukh hanya mengucapkan satu kalimat.
"Astawdi'ukallah al-ladzi laa tadi'u wa daa 'iuhu."
(Aku titipkan engkau kepada Allah yang tak pernah menyia-nyiakan titipan)
***
Suhaila pun mengisi hari-harinya dengan penuh kesedihan. Bagaimanapun, sebagai seorang yang belum lama menikah, kesendirian dirasakannya sangat menyiksa. Apalagi kemudian dia merasakan ada yang tumbuh di dalam perutnya.
Ya, tanpa sepengetahuan suaminya, Suhaila ternyata sudah berbadan dua. Masa tiga bulan pernikahan mereka rupanya sudah berbuah.
Maka kemudian, setiap hari yang dilakukan Suhaila selain berdoa adalah mengetahui kabar tentang suaminya. Setiap ada pasukan yang tiba dari medan perang, dia selalu menanyakan kabar suaminya, dan selalu tidak ada yang mengetahui kabar suaminya.
Hari berganti hari, bulan pun bergulir berganti bulan. Tibalah saatnya Suhaila melahirkan. Dengan menggunakan sisa uang pemberian suaminya yang semakin berkurang, dia dan anaknya bertahan hidup. Dalam hatinya selalu muncul godaan untuk menggunakan uang simpanan suaminya yang berjumlah 30.000 dinar. Namun, mengingat pesan suaminya, maka ia urung menggunakannya. Untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya, terpaksa Suhaila bekerja.