"Kamu nemu di mana ini, Ndri?" Ibu bertanya sambil memperhatikan benda yang dipegangnya.
"Di bawah tiang warung kita, Bu. Tiang yang sebelah kanan. Sepertinya itu sudah lama, sudah terkubur tanah," jawab Andri.
"Atau ... bisa jadi ini memang sengaja dikubur di sana."
"Maksud ibu?" Andri penasaran saat kata 'sengaja' diucapkan ibunya.
Ibunya tidak menjawab, malah sibuk membersihkan sisa tanah yang menempel di kain pembungkus benda yang ditemukan Andri. Terus dibukanya lipatan kain tersebut pelan-pelan.
"Semoga ini bukan kain kapan." Ibu berkata lirih tapi masih terdengar oleh Andri.
"Hah! Kain kapan?" Andri tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Belum terjawab kepenasarannya semula tentang kalau-kalau benda itu disimpan dengan sengaja, kini ditambah mendengar kain kapan disebut-sebutnya ibunya.
"Ma ... maksudnya apa, Bu?" tanya Andri dengan gemetar. Rupanya ketakutan mulai melanda dirinya, mengetahui kain pembungkus itu adalah kain khusus untuk membungkus mayat.
Beberapa jenak ibunya memandang Andri, sebelum berkata sambil mendekatkan benda yang dipegangnya ke wajah Andri. "Lihat! Ini pasti ada orang yang ingin berbuat jahat kepada keluarga kita. Entah kepada ibu, ke kamu, atau ke bapakmu. Lihat! Orang-orangan yang dibungkus kain kapan ini pasti sengaja dikubur di rumah kita. Ini jelas-jelas pasti ada maksud tertentu."
Andri tak bisa mengedipkan mata. Di hadapannya, masih dipegang ibu, terlihat sebuah benda membentuk tubuh manusia, lengkap ada kepala, badan, dua tangan dan dua kaki. Ukurannya kecil, hanya sepanjang telapak tangan ibu, dan terbuat dari tanah liat.
"Lalu harus kita apakan benda ini, Bu?" tanya Andri setelah beberapa saat terdiam dengan mulut menganga memandang benda yang dipegang ibunya.
"Nanti. Kita tunggu Bapakmu pulang," jawab ibunya seraya membungkus kembali benda berbentuk orang itu dengan kain yang tadi membungkusnya. "Beruntung kamu menemukan benda terkutuk ini."
Setelah dibungkus, benda itu dibawa ibu masuk ke kamarnya. Andri pun beranjak menuju kamarnya. Dia langsung merebahkan badannya di kasur. Matanya menatap ke atas, tapi bukan langit-langit yang dilihatnya, di hadapan wajahnya terbayang kembali kejadian saat dia menemukan 'boneka dibungkus kain kapan' tadi.
Saat itu Andri sedang memetik buah jambu yang tumbuh di samping warung ibunya. Saat jambu yang dipetiknya menggelinding ke bawah tiang warung. Dia melihat sebuah benda setengah terkubur, tertindih buah jambu yang jatuh.
Semula Andri mengira itu hanya sobekan kain biasa. Tapi saat dilihat dengan seksama, ternya kain itu membungkus sesuatu. Andri mengambil benda tersebut, membawanya ke dalam warung dan menyimpannya di laci meja.
Saat itu dia sedang sendirian, disuruh menjaga warung, karena ibunya ada keperluan ke rumah bu Etin. Sementara Ayahnya sedang ke kebun cabe yang sebentar lagi mau panen.
Andri baru menyerahkan benda itu ke ibunya sore ini setelah menutup warung. Tetapi karena ayahnya belum pulang, Ibunya belum bisa memutuskan harus diapakan benda berbentuk orang itu.
Andri mengira-ngira, apa yang dimaksud oleh ibunya tadi, bahwa benda itu disimpan dengan sengaja oleh seseorang, dengan niat jahat kepada keluarganya, atau kepada seseorang yang ada di rumahnya ini.
'Siapa?'
'Kenapa?'
'Perbuatan jahat apa yang akan dilakukan dengan boneka itu?'
Dan beberapa pertanyaan lain memenuhi kepalanya. Walaupun belum punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi dia merasa semua jawabannya mengarah pada sesuatu yang mengerikan. Menyadari itu ketakutan semakin menjalar di dalam tubuhnya.
Andri bangun saat mendengar suara ayahnya memasuki rumah. Dia pun segera keluar kamar, tapi saat menoleh ke ibunya, ibunya sedikit menganggukkan kepalanya, sepertinya memberi kode supaya Andri tidak menyampaikan apa yang tadi dibicarakan dengan ibunya.
Andri pun membalas mengangguk. Ayahnya memang terlihat letih. Ibunya menghampiri ayah dan meletakkan segelas teh manis dan sepiring pisang goreng, lalu duduk di depan ayah.
"Bagaimana kebun kita, Pak?" ibu memecah kebisuan setelah memberi waktu pada ayah untuk menikmati teh manis dan pisang goreng.
Ayah menyempatkan menghela nafas sebelum menjawab, "Sepertinya hasil panen kita sekarang tidak sebanyak tahun lalu, Bu."
"Warung kita juga akhir-akhir ini semakin sepi, Pak."
Ayah menoleh setelah meletakkan gelas, lalu menyahut, "Lho, apa hubungannya? Kok, dari nanya panen tiba-tiba belok ke warung?"
"Sepertinya memang ada yang menginginkan hidup kita susah, Pak."
"Lho ... lho, kamu itu ngomong apa, Bu? Kok aneh omonganmu itu!"
"Iya. Tadi bapak bilang panen kita tidak sebanyak tahun lalu. Terus ... warung kita seminggu terakhir ini semakin sepi saja yang beli. Biasanya yang beli tuh, sehari lebih dari sepuluh orang. Sekarang, paling-paling 2-3 orang."
"Itu memang kenyataannya, kan. Seperti itu. Lalu, ibu tadi bilang ada yang ingin kita susah, itu apa maksudnya dan siapa yang dimaksud?"
Ibu tidak menjawab, tetapi berdiri dan berjalan memasuki kamar. Beberapa saat kemudian Kembali dan meletakkan orang-orangan dari tanah liat di atas meja.
"Apa ini?" tanya ayah.
"Buka saja bungkusnya, itu bungkusnya pasti kain kapan."
"Kain kapan? Ah, ada-ada saja kamu, Bu." Ayah mengambil dan membuka kain yang membungkusnya. Ayah tertegun setelah melihat isinya.
"Itu yang nemu Andri, di bawah tiang warung kita, tadi siang. Ibu yakin, itu disimpan di situ dengan maksud tertentu."
"Maksud ibu, gara-gara benda ini warung ibu sepi dan panen cabe kita gagal, begitu?"
Ibu hanya menjawab dengan anggukan.
"Astaghfirullah .... Istighfar, Bu! Jangan sampai berpikiran begitu, itu syirik namanya. Dosa besar itu. Lagian siapa yang ibu maksud?"
"Entahlah, siapa. Tapi jelas, kan, Pak. Kalau tidak, lalu apa maksudnya nyimpan orang-orangan dibungkus kain kapan ini di warung kita?"
"Bagaimanapun, Bu. Kita tidak boleh percaya bahwa benda seperti ini bisa membuat warung kita sepi, atau hidup kita susah. Semua yang terjadi kepada kita itu semua kehendak Allah Swt. Terus, itu belum tentu juga kain kapan." Ayah meraih gelas dan meminum teh manisnya. "Warung kita sepi karena memang sekarang ini ekonomi sedang sulit, pandemi baru beres. Kehidupan usaha belum normal. Orang-orang sekarang sedang menghemat pengeluaran. Dan ... kebun cabe kita, panennya ga maksimal, karena musim hujan kali ini lebih lama dari tahun kemarin, akibatnya bunga-bunga cabe banyak yang berjatuhan sebelum jadi cabe."
"Lalu kita harus bagaimana, Pak?" Andri yang sedari tadi menyimak obrolan ayah dan ibunya, bertanya.
"Ya ... kita harus terus berdoa kepada Allah Swt dan bertawakal kepada-Nya. Jangan sampai terpengaruh oleh hal-hal tahayul seperti ini!" jawab ayah.
"Lalu benda ini kita apakan?" Ibu menyela.
"Simpan saja dulu, besok akan ayah bakar! Sekarang ayah mau mandi, sebentar lagi Maghrib."
Esoknya.
Andri baru habis setengah piring nasi goreng, saat Dafa, putra tantenya, yang baru kelas 5 SD masuk.
"Kak Andri ... Kak Andri, lihat boneka Dafa, gak?"
"Boneka apa? Kamu, kan, laki-laki, masa main boneka?" Andri balik bertanya.
"Bukan boneka mainan. Itu ... boneka untuk praktek pelajaran agama nanti di sekolah."
"Emang pelajarannya apa, kok praktek pake boneka, Daf?" Ibu Andri yang baru keluar dari dapur bertanya.
"Praktek mengurus jenazah, Bude. Terus praktek mensolatkannya. Nah, Dafa sama Ahmad dan Zaki dua hari lalu membuat orang-orangan dari tanah liat dan menjemurnya di depan warung Bude. Boneka dari tanah liat itu nanti seolah-olah mayatnya."
Andri dan ibunya saling memandang, lalu tersenyum bareng. Bahkan Andri terus tertawa.
"Lho, kok, malah tertawa?"
"Sebentar!" Ibu beranjak dari kursi dan berjalan ke kamarnya. Beberapa saat kemudian keluar lalu menyerahkan orang-orangan yang kemarin ditemukan Andri kepada Dafa. "Ini bukan?"
"Ya ... betul ini, Bude. Terimakasih, ya. Alhamdulillah ... akhirnya ketemu. Ya udah, Dafa pergi sekolah dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawab ibu sambil tersenyum.
Sementara Andri menjawab salam sambil menahan tawa.
------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H