Dan beberapa pertanyaan lain memenuhi kepalanya. Walaupun belum punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi dia merasa semua jawabannya mengarah pada sesuatu yang mengerikan. Menyadari itu ketakutan semakin menjalar di dalam tubuhnya.
Andri bangun saat mendengar suara ayahnya memasuki rumah. Dia pun segera keluar kamar, tapi saat menoleh ke ibunya, ibunya sedikit menganggukkan kepalanya, sepertinya memberi kode supaya Andri tidak menyampaikan apa yang tadi dibicarakan dengan ibunya.
Andri pun membalas mengangguk. Ayahnya memang terlihat letih. Ibunya menghampiri ayah dan meletakkan segelas teh manis dan sepiring pisang goreng, lalu duduk di depan ayah.
"Bagaimana kebun kita, Pak?" ibu memecah kebisuan setelah memberi waktu pada ayah untuk menikmati teh manis dan pisang goreng.
Ayah menyempatkan menghela nafas sebelum menjawab, "Sepertinya hasil panen kita sekarang tidak sebanyak tahun lalu, Bu."
"Warung kita juga akhir-akhir ini semakin sepi, Pak."
Ayah menoleh setelah meletakkan gelas, lalu menyahut, "Lho, apa hubungannya? Kok, dari nanya panen tiba-tiba belok ke warung?"
"Sepertinya memang ada yang menginginkan hidup kita susah, Pak."
"Lho ... lho, kamu itu ngomong apa, Bu? Kok aneh omonganmu itu!"
"Iya. Tadi bapak bilang panen kita tidak sebanyak tahun lalu. Terus ... warung kita seminggu terakhir ini semakin sepi saja yang beli. Biasanya yang beli tuh, sehari lebih dari sepuluh orang. Sekarang, paling-paling 2-3 orang."
"Itu memang kenyataannya, kan. Seperti itu. Lalu, ibu tadi bilang ada yang ingin kita susah, itu apa maksudnya dan siapa yang dimaksud?"