"Ada apa, Bu?" tanyaku pura-pura tidak tahu maksudnya memanggilku.
"Begini, kamu tahu, kan, warung baso kita akhir-akhir ini sepi pembeli. Keuntungannya berkurang, itu pun tidak tiap hari. Kadang-kadang malah tekor."
"Ibu, sih, kenapa ukuran basonya dikecilin?"
"Kamu ini kayak ga tau aja. Harga daging ayam sekarang mahal, belum bahan-bahan yang lainnya juga ikut naik. Ibu ga mau naikin harga baso, kasihan para pelanggan kita."
"Ya, tapi, kan, harusnya mereka pun mengerti, saat harga-harga naik, harus mau kalau harga baso pun ikut naik."
Ibuku terdiam mendengar jawabanku. Kesedihan terlihat di wajahnya. Aku agak menyesal juga melontarkan kalimat tadi.
"Nak, bagaimana ... kalau kita ganti bahan untuk membuat basonya, pakai yang lebih murah?"
Bicara ibuku pelan, seolah ada keraguan. Aku yang sudah tahu maksudnya cukup terkejut ibu ada keinginan menerima tawaran Mang Jana.
"Maksud ibu bagaimana?" Aku kembali berpura-pura tidak tahu.
"Kamu sudah tahu, kan, Mang Jana ke sini tadi? Dia kembali menawarkan ayam tiren."
"Ibu!" Aku sedikit teriak. Namun, aku kembali memelakan suara, "Ibu ... ayam tiren itu bangkai, Bu. Haram hukumnya memakan bangkai. Apa ibu mau menjual barang haram demi mengejar keuntungan?"