(Disclaimer: Tulisan ini menurut pandangan saya sebagai seorang Muslim)
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Â
Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Â
...
Di atas adalah sebagian dari syair lagu 'Panggung Sandiwara' yang pernah hits ketika dinyanyikan penyanyi asal Bandung, Nicki Astria, dan grup Band God Bless dengan Ahmad Albar sebagai vokalisnya. Pengarang lagu ini memang gitaris God Bless, Ian Antono. Tapi saya tak ingin menulis tentang lagu ini atau penyanyi yang telah membuat terkenal lagu ini. Saya lebih tertarik dengan syair dari lagu ini.
Lagu ini seperti menyadarkan kita semua, bahwa hidup itu bagai panggung sandiwara. Kehidupan di dunia ibarat sebuah cerita sandiwara yang terdiri dari berbagai kisah, ada kisah sedih, ada kisah cinta, ada kisah perjuangan, ada kisah tragis, dan kisah-kisah lainnya. Kita, manusia, tentu menjadi pemainnya yang masing-masing punya peran yang harus dilakonkan.
Semoga tidak berlebihan kalau saya mengibaratkan juga kehidupan ini sebagai sebuah novel. Sebuah novel biasanya memiliki tema, premis, outline, plot, konflik, dan tentu saja ending.
Seseorang yang akan menulis novel tentu harus memiliki tema dulu. Tema apa yang akan menjadi 'garis besar' dari cerita yang akan ditulisnya. Kemudian setelah mempunyai tema, dia harus menentukan premis dan plot cerita. Setelah itu harus dibuat outline-nya sebelum ditulis narasi lengkap yang membentuk cerita. Konflik dan ending tentu harus dimunculkan, supaya cerita itu tidak membosankan.
Lalu bagaimana hubungannya dengan kehidupan kita?
Baik. Kita mulai dengan tema. Tema besar kita, manusia, hidup di dunia ini adalah 'beribadah kepada Allah SWT', sebagaimana firman-Nya dalam surat Adz-Dzariyat ayat ke-56.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku".
Ayat di atas menjelaskan tema besar hidup manusia di dunia adalah beribadah. Mutlak! Manusia hidup itu harus beribadah. Kalau kita tidak beribadah sama saja dengan cerita novel yang keluar dari tema. Tentu itu bisa disebut novel yang gagal. Begitupun manusia. Ketika tidak beribadah, maka layak disebut manusia yang gagal dalam hidupnya. Dan kita semua tahu, apa konsekuensi dari sebuah kegagalan.
Pertanyaannya mungkin, apa yang dimaksud ibadah itu? atau bagaimana beribadahnya?
Setelah ada tema, biasanya kita membuat premis, yaitu uraian singkat dalam satu kalimat yang menjelaskan jalan cerita dari novel yang kita tulis. Lalu, bagaimana premis dari novel kehidupan kita? Mugkin seperti ini premisnya, 'Kita menjalani hidup sesuai aturan (syariat) yang telah ditetapkan-Nya dengan mencontoh figur suri tauladan (Rasulullah SAW) untuk menggapai kebahagiaan hakiki di kehidupan yang kekal (surga)'.
Setelah ada tema dan premis, langkah berikutnya untuk menulis novel adalah membuat outline. Tentu berbeda dengan novel, outline kehidupan kita bukan kita yang membuat, tetapi Sang Pencipta (Al-Kholik) yaitu Allah SWT.
Lalu bagaimana outline kehidupan manusia?
Ada empat fase yang harus dilewati seorang manusia dalam kehidupannya, yaitu fase di dalam rahim, fase di alam dunia, fase alam barzakh (kubur) dan terakhir fase di alam keabadian.
Setelah outline dibuat, maka proses penulisan novel pun dimulai. Begitu pula dengan cerita novel kehidupan kita, bisa dimulai dari fase pertama. Semua manusia sebelum terlahir ke dunia ini pasti melewati fase kehidupan di alam rahim.
Dalam Al-Quran Surat al-Mu'min ayat ke-67, Allah SWT menjelaskan bagaimana proses penciptaan manusia yang bermula dari nutfah, terlahir dan hidup menjadi remaja dan sampai tua kemudian wafat (mati) dan memasuki alam barzakh.
"Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkan-Nya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)".
Sementara proses kejadian manusia di alam rahim, dijelaskan dalam ayat-ayat berikut,
"Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu'minun: 12-14).
Di usia ke-120 hari sejak terbentuk janin di dalam rahim, Allah SWT sudah memutuskan takdir bagi setiap manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut,
"Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas'ud ra).
Dan sejak di alam Rahim semua manusia sudah mengikuti tema yang telah ditentukan, yaitu beribadah dengan mengakui Allah SWT sebagai Rabb-nya. Di ayat ke-172 surat Al-A'raaf dijelaskan, Allah SWT meminta kesaksian setiap ruh manusia dengan bertanya, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" dan setiap ruh yang ditanya akan menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)."
Jadi semua manusia yang terlahir ke dunia ini semuanya sudah menyatakan syahadat (kesaksian/pengakuan) bahwa Allah SWT adalah Rabb (Tuhan) mereka, dan konsekuensinya tentu mereka (manusia) itu harus mengabdi (beribadah) kepada-Nya.
Semua ruh? Ya!
Ruh semua manusia waktu di rahim ber-syahadat? Ya!
Termasuk yang sekarang menjadi Donald Trump, Jak Ma, Bill Gates, Dalai Lama, bahkan yang sekarang jadi Paus di Vatikan sana, dulu pernah ber-syahadat, mengakui bahwa Allah SWT adalah Rabb mereka.
Lalu, kalau begitu, mengapa mereka bisa menjadi non-muslim?
Karena lingkungan!
Ya, jawabannya adalah lingkungan yang menjadikan mereka terlahir kemudian tidak menjadi Muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits berikut.
"Dari Abu Hurairah, dia berkata; "Rasulullah SAW telah bersabda: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi." (HR. Muslim no. 4803)
Hadits di atas menjelaskan bahwa orang tuanya (lingkungannya) yang menjadikan seorang bayi yang terlahir tidak menjadi Muslim tetapi menjadi: Yahudi, Nasrani atau Majusi. Bersyukurlah kita yang terlahir dari orang tua yang Muslim, sehingga kita terlahir dan sampai sekarang menjadi seorang Muslim.
Kembali kepada tema novel kehidupan kita, yaitu ibadah. Ibadah berasal dari kata abid, bahasa Arab, artinya hamba. Jadi, ibadah artinya menghamba. Kepada siapa? Tentu saja kepada Yang Maha Pencipta, Allah SWT.
Ketika di alam rahim setiap ruh manusia bersaksi kepada Tuhannya, maka ruh itu sudah beribadah. Lalu saat ruh, yang menjadi janin, kemudian lahir (menjadi bayi), dan terlahir dari orang tua Muslim. Maka, berarti si bayi itu Muslim, dan dapat dikatakan masih sesuai tema hidup.
Lain halnya kalau si janin itu terlahir bukan dari orang tua yang Muslim, maka dia menjadi non-Muslim. Dan dia dapat dikatakan sudah keluar dari tema novel kehidupan. Walaupun, banyak juga orang-orang yang terlahir dalam status non-Muslim, tetapi dalam perjalanan hidupnya kemudian mendapat hidayah, kemudian menjadi mualaf, menjadi Muslim. Contohnya; Syafi'i Antonio, Felix Siau, Mike Tyson, dan banyak lagi.
Kalau alur cerita sebuah novel sudah keluar atau tidak sesuai dengan tema, berarti novel itu gagal. Begitupun kalau manusia terlahir lalu tidak menjadi Muslim, maka dia gagal sebagai manusia, dalam arti gagal mengemban tugas dari Allah SWT untuk beribadah.
Setelah terlahir ke dunia, berarti sudah keluar dari fase alam rahim. Fase selanjutnya sesuai outline dari novel kehidupan adalah alam dunia. Fase ini sangat menentukan apakah novel kehidupan nanti akan berakhir dengan bahagia (happy ending) atau sebaliknya. Oleh karenanya, tulisan ini akan lebih banyak mengulas bagaimana hidup manusia di dunia ini supaya kelak berakhir dengan baik (husnul khatimah). Juga, di alam dunia lah manusia harus merealisasikan tema hidupnya yaitu beribadah.
Bagaimana kita beribadah?
Kita lihat lagi premis dari novel kehidupan kita ini. Untuk mengingatkan, kita tulis lagi premisnya, 'Kita menjalani hidup sesuai aturan (syariat) yang telah ditetapkan-Nya dengan mencontoh figur suri tauladan (Rasulullah SAW) untuk menggapai kebahagiaan hakiki di kehidupan yang kekal (surga)'.
Setelah ada tema, premis dan outline, serta ending sudah ditentukan. Maka, berikutnya adalah penggarapan cerita utuh untuk menjadi sebuah novel. Dalam novel kehidupan, semua cerita tentang kehidupan manusia di alam dunia. Karena alam rahim adalah adalah modal yang diberikan oleh Allah SWT, sementara alam barzakh dan alam keabadian (akhirat) adalah efek dari sikap/perilaku manusia di alam dunia. Oleh karenaya, pembahasan berikutnya adalah bagaimana membuat cerita sesuai tema dan premis, yaitu beribadah dan menuju akhir yang bahagia.
Kata ibadah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti: Perbuatan atau penyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasari oleh peraturan agama. Jadi, apapun yang kita lakukan (selama itu bukan perbuatan jahat) dan didasari niat karena Allah dan mengikuti aturan yang benar, maka itu akan menjadi ibadah.
Sebagaimana sebuah novel yang memerlukan referensi, maka novel kehidupan pun demikian. Kita butuh referensi supaya perjalanan hidup kita sesuai aturan-Nya. Rasulullah SAW sudah mewasiatkan kepada kita, dua hal sebagai referensi itu, sebagaimana sabdanya,
"Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya selama kamu berpegang dengan kedua-duanya, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan Sunahku." (HR Al-Hakim).
Dengan berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, apapun yang kita lakukan akan bernilai ibadah. Mengisi kehidupan dengan ibadah sama saja kita menulis novel sudah sesuai dengan tema yang ditetapkan.
Jadi kalau kita urut lagi sebagaimana outline yang sudah ditetapkan, kita sudah berikrar di alam Rahim kemudian terlahir sebagai Muslim, dengan mengisi kehidupan di alam dunia dengan ibadah, maka kita akan mendapatkan ending yang bahagia, yang akan kita nikmati di alam barzakh maupun di alam keabadian.
Kalau kita baca lagi, ayat 56 surat Adz-Dzariyat menekankan bahwa tema dari cerita hidup manusia di dunia adalah ibadah, dan karena hidup kita itu sehari 24 jam. Berarti selama 24 jam itu seorang manusia harus selalu dalam kondisi ibadah. Dengan demikian, pengertian ibadah tidak cukup apa yang disebutkan dalam rukun Islam, yaitu: mengucapkan syahadat, mendirikan salat, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat dan berangkat ibadah haji.
Karena kalau yang dimaksud beribadah itu hanya melaksanakan 5 hal yang disebutkan dalam rukun Islam saja, maka akan banyak waktu tersisa di luar itu. Coba saja kita hitung. Salat yang wajib hanya 5 waktu kalau setiap salat menghabiskan waktu 10 menit, berarti sehari kita cuma perlu waktu ibadah salat 50 menit, padahal waktu kita sehari 24 jam atau 1.440 menit.
Begitupun puasa, kita diwajibkan hanya satu bulan dari 12 bulan setahun. Apalagi ibadah haji, ibadah itu hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu secara finansial, padahal lebih banyak orang yang tidak mampu daripada orang yang mampu. Padahal ibadah itu diperintahkan ke semua Muslim, bukan hanya yang mampu.
Karena sudah ditetapkan tema novel kehidupan kita atau tugas hidup kita adalah ibadah. Maka, makna ibadah ini mencakup seluruh aktivitas kita di 24 jam. Sehingga, kemudian muncul istilah ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh atau istilah ibadah ritual dan ibadah sosial.
Kalau kita ingat lagi premis novel kehidupan kita, ada kalimat tertulis 'sesuai aturan (syariat) yang telah ditetapkan-Nya dengan mencontoh figur suri tauladan (Rasulullah SAW)'. Ada dua kata kunci di sini, yaitu: sesuai aturan (syariat) dan mencontoh Rasulullah SAW. Dengan demikian, apa pun aktivitas kita, selama itu sesuai dengan syariat dan mencontoh Rasulullah, maka ia akan dinilai sebagai ibadah.
Ibadah mahdhoh atau ibadah ritual adalah ibadah yang jelas-jelas diperintahkan untuk dikerjakan dan tatacara pelaksanaannya dijelaskan secara tekstual. Seperti salat, puasa, zakat, atau haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh atau ibadah sosial, aktivitas manusia di luar ibadah mahdhoh, tetapi diniatkan sebagai penghambaan kepada Allah SWT dan pelaksanaannya mengikuti (mencontoh) Rasulullah.
Ibadah ghoiru mahdhoh ini contohnya seperti makan. Makan, kalau diawali dengan membaca basmalah dan do'a kemudian cara makan pun mengikuti Rasulullah, yaitu dengan cara duduk, tidak menggunakan tangan kiri, makan tidak tergesa-gesa dan diakhiri dengan do'a dan membaca hamdalah, maka itu bisa disebut ibadah. Begitu pun untuk mandi, tidur, bekerja, berkendaraan, belajar dan lain sebagainya.
Kalau semua aktivitas kita, sejak bangun tidur sampai kembali tidur, dilandasi keikhlasan dan dilaksanakan sesuai aturan (syariat) serta mencontoh Rasulullah, maka hidup kita dipenuhi dengan ibadah. Dengan demikian, berarti novel kehidupan kita sudah sesuai atau selaras dengan temanya, yaitu ibadah.
Tentu, kalau novel kehidupan kita sudah sesuai tema, maka akhir yang baik pun (happy ending) akan kita dapatkan. Apa yang kita dapatkan di akhir nanti? Untuk menjawabnya kita perlu lihat surat Al-Baqarah ayat 21. Di ayat itu Allah SWT berfirman,
"Wahai Manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."
Jadi muara dari pelaksanaan ibadah itu adalah menjadi orang bertakwa. Mengapa harus menjadi orang yang bertakwa? Jawabannya ada di firman Allah SWT di surat Al-Hujurat ayat 13.
"Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian".
Di ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa takwa adalah indikator satu-satunya seorang manusia mendapat kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Dan, nikmat apalagi yang bisa melebihi kemuliaan dari Allah SWT? Tidak ada!
Selain memuliakan kedudukan orang yang bertakwa nanti di alam keabadian, Allah SWT juga berjanji akan memberikan tiga hal, sebagaimana tertuang dalam surat Ath-Thalaq ayat 2, 3 dan 4, yaitu:
1. Akan diberi jalan keluar dari segala kesulitan,
2. Akan diberi rezeki dari arah yang tak disangka,
3. Akan diberi kemudahan dalam segala urusan.
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. ... Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya."
Masih banyak sebenarnya yang Allah SWT janjikan sebagai balasan untuk orang-orang yang bertakwa, kita bisa menggali sendiri dalam referensi kita, Al-Quran dan As-Sunnah.
Begitulah idealnya novel kehidupan kita. Kisah tentang perjalanan hidup kita. Selama hidup kita selaras dengan tema yang telah ditetapkan, yaitu beribadah, lalu konsisten dengan aturan (syariat) dan tetap mengacu pada referensi, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, maka kita akan mendapat akhir yang bahagia (happy ending) menjadi orang bertakwa sehingga mendapat kedudukan mulia dari Allah SWT, sampai kemudian kita dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Bagaimana dengan novel kehidupan yang sedang Anda 'tulis'?
Apakah masih konsisten dengan tema?
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H