"Anak-anak, sekarang kumpulkan tugas fisika yang sudah saya berikan minggu lalu," kata Bu Wati sambil meletakkan tasnya di atas meja.
Jantung Upi langsung berdegup kencang. Wajahnya pucat, dan perutnya terasa mual. Ia benar-benar lupa mengerjakan tugas itu!
Dengan panik, Upi menoleh ke arah Apip. Temannya langsung menatapnya dengan pandangan cemas. "Upi, tugasnya mana?" bisiknya pelan, jelas-jelas khawatir melihat kondisi Upi.
Upi hanya bisa menggeleng pelan. Ia merasa semua mata tertuju padanya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Fajri yang duduk agak jauh ikut melirik. Bibir Fajri bergerak, tampaknya menanyakan hal yang sama.
Dari belakang, Putin yang duduk di bangku belakangnya menyenggol lengannya dengan kaki, mencoba menarik perhatiannya. “Santai aja, Pi. Kita bisa cari cara nanti,” bisik Putin dengan suara yang berusaha terdengar tenang.
Namun, Upi tahu, situasinya tidak bisa diselesaikan begitu saja. Wajah Bu Wati tetap datar dan tegas. Ia mulai memanggil nama siswa satu per satu untuk mengumpulkan tugas mereka. Ketika giliran Upi tiba, langkahnya terasa berat. Ia berjalan menuju meja Bu Wati dengan perasaan bersalah yang menumpuk.
"Upi, mana tugasmu?" tanya Bu Wati dengan nada dingin dan penuh ekspektasi.
Upi menundukkan kepala, menatap sepatu hitamnya yang seolah menjadi lebih suram di bawah tatapan tajam gurunya. "Maaf, Bu. Saya lupa," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah keheningan kelas.
Bu Wati menggelengkan kepala. Matanya menatap tajam, seolah bisa menembus pikiran Upi. "Ini bukan pertama kalinya kamu lupa, Upi. Kamu harus lebih bertanggung jawab," katanya tegas, membuat seluruh kelas merasa tegang.
Upi kembali ke tempat duduknya. Wajahnya terasa panas, terbakar oleh rasa malu. Apip menepuk bahunya, berusaha menghibur meskipun jelas ia juga bingung harus berkata apa.
"Nggak apa-apa, Pi. Kita cari cara biar kamu nggak lupa lagi," ucap Apip pelan, suaranya lembut tapi jelas menunjukkan kekhawatiran.