"Tak usah mimpi. Ke kamar mandi saja tak berani. Bagaimana bisa mendaki gunung tinggi?"
Hahaha. Benar juga tapi itulah impian. Andai bisa diraih merupakan hal yang luar biasa kan. Setidaknya aku cukup bahagia. Walau hanya sebatas memiliki impian saja.
***
Seiring berjalannya waktu tentu keinginan mendaki semakin bertambah kuat. Kulihat teman Mapala yang begitu hebat. Namun sayang ijin orang tua tak jua kudapat.
Aku hanya diperbolehkan menyusuri hingga lereng agar tetap bisa selamat. Padahal kakiku rasanya sudah tak sabar ingin segera meraih bebatuan yang ada di puncak tertinggi dengan kekuatan yang super cepat. Tak mungkin!
Serpihan mimpi itu begitu menghantui. Hingga akhirnya aku pun mengakui. Alam merupakan sahabat yang begitu kukagumi.
Tak bisa kuhentikan impian untuk mendekati. Walau hanya mendekati saja. Tak apalah. Yang penting aku bisa menikmati suasana alam yang menjadi mimpi.
Diam-diam aku kerap mengikuti teman Mapala tuk sekadar mencari serpihan mimpi dari balik bukit di lereng gunung. Aku merasa impianku mulai terbaca meski tak harus kugapai puncaknya. Satu per satu sebentang alam kuurai dengan bangga. Meski hanya sebatas lereng saja.
Ibuku kembali berkata,
"Kamu keras kepala. Tak diijinkan masih terus memaksa."
Ya, aku memang salah. Kerap membuat resah. Hingga ibuku nampak begitu gelisah. Beliau terlalu mengkhawatirkan keselamatanku. Namun bukan maksudku membuat gundah. Kuyakinkan jikalau aku hanya ingin lebih dekat dengan alam yang menjadi mimpi. Itu saja.
Impian memang layak diperjuangkan, tak salah kan? Asalkan impian itu bukan hal yang merugikan, atau bahkan menghancurkan. Aku rasa ini manusiawi dan patut dilanjutkan. Meski tetap saja harus memegang petuah orang tua yang jadi panutan.
Nah, itulah mimpiku. Aku yakin di luar sana begitu banyak orang yang memegang sebentuk impian. Hanya caralah yang membedakan. Bagaimana mengurai serpihan mimpi menjadi kenyataan.