Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menaklukan Serpihan Mimpi, Belajar dari Filosofi Batu Kali

7 Juni 2020   15:12 Diperbarui: 7 Juni 2020   15:13 2200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com/jplenio

Pada titik waktu yang terus bergulir. Berputar bagai mesin pengulir. Memilin segala bentuk bulir perencanaan. Di sehampar asa tanpa sadar kita genggam beragam keinginan.

Ya, kita tentu punya keinginan bukan? Itulah yang selanjutnya kita sebut sebagai impian. Di mana menurut KBBI, impian merupakan sesuatu (barang) yang sangat diinginkan. 

Satu ketika impian hanya kita gunakan sebagai hiasan kehidupan. Namun apakah kita tak ingin menggapainya menjadi sebentuk kenyataan?

Barangkali ini tergantung bagaimana kita menyikapi kehidupan. Aku sendiri pun memiliki impian. Namun belum sepenuhnya kesampaian. Hal ini sangat mengecewakan. Tentu saja.

Tapi aku mencoba menerima. Walau disisi yang berbeda aku cukup berusaha mencari cara bagaimana agar sebentuk mimpi bisa kuurai. Meski tak harus seutuhnya kugapai. Itu jauh lebih baik ketimbang tak ada sama sekali yang tercapai.

Dulu ketika aku masih kecil impianku hanya satu, aku ingin pergi ke puncak gunung. Entahlah mungkin karena aku lahir dan besar di lereng gunung.

Sehingga itulah yang ada dihadapanku. Aku kerap berangan untuk bisa menaklukan. Ya, mendaki gunung semakin menjadi impian.

Akupun berpikir, bagaimana cara agar aku bisa menuju puncak tertinggi? Sepertinya mengasyikkan. Apapun bisa aku lihat jikalau aku sudah mencapai ketinggian. Ah, hanya mimpi. Aku pun bergumam sendiri.

Begitulah, aku kerap bicara pada diriku. Seandainya saja itu bisa terlaksana. Aku pasti akan sangat bahagia pun bangga, pada diriku tentunya. Karena berhasil menaklukan apa yang menjadi impian.

Kubayangkan satu saat nanti aku bisa dengan mudah pergi dan bermain ke gunung meski harus melewati sebentuk rintangan. Ah lupakan, itu hanya sebatas mimpi seorang bocah ingusan.

Ibuku bilang,

"Tak usah mimpi. Ke kamar mandi saja tak berani. Bagaimana bisa mendaki gunung tinggi?"

Hahaha. Benar juga tapi itulah impian. Andai bisa diraih merupakan hal yang luar biasa kan. Setidaknya aku cukup bahagia. Walau hanya sebatas memiliki impian saja.

***

Seiring berjalannya waktu tentu keinginan mendaki semakin bertambah kuat. Kulihat teman Mapala yang begitu hebat. Namun sayang ijin orang tua tak jua kudapat.

Aku hanya diperbolehkan menyusuri hingga lereng agar tetap bisa selamat. Padahal kakiku rasanya sudah tak sabar ingin segera meraih bebatuan yang ada di puncak tertinggi dengan kekuatan yang super cepat. Tak mungkin!

Serpihan mimpi itu begitu menghantui. Hingga akhirnya aku pun mengakui. Alam merupakan sahabat yang begitu kukagumi.

Tak bisa kuhentikan impian untuk mendekati. Walau hanya mendekati saja. Tak apalah. Yang penting aku bisa menikmati suasana alam yang menjadi mimpi.

Diam-diam aku kerap mengikuti teman Mapala tuk sekadar mencari serpihan mimpi dari balik bukit di lereng gunung. Aku merasa impianku mulai terbaca meski tak harus kugapai puncaknya. Satu per satu sebentang alam kuurai dengan bangga. Meski hanya sebatas lereng saja.

Ibuku kembali berkata,

"Kamu keras kepala. Tak diijinkan masih terus memaksa."

Ya, aku memang salah. Kerap membuat resah. Hingga ibuku nampak begitu gelisah. Beliau terlalu mengkhawatirkan keselamatanku. Namun bukan maksudku membuat gundah. Kuyakinkan jikalau aku hanya ingin lebih dekat dengan alam yang menjadi mimpi. Itu saja.

Impian memang layak diperjuangkan, tak salah kan? Asalkan impian itu bukan hal yang merugikan, atau bahkan menghancurkan. Aku rasa ini manusiawi dan patut dilanjutkan. Meski tetap saja harus memegang petuah orang tua yang jadi panutan.

Nah, itulah mimpiku. Aku yakin di luar sana begitu banyak orang yang memegang sebentuk impian. Hanya caralah yang membedakan. Bagaimana mengurai serpihan mimpi menjadi kenyataan.

Aku mencoba menerima walau mimpi tak sepenuhnya jadi nyata. Ya, meski julukkan "keras kepala" sempat tersemat dipundakku. Namun yang pasti hatiku tak sekeras batu. Hehehe. Jelas beda ya dengan batu.

Aha. Bicara soal batu, tetiba teringat "batu kali". Ya, menarik ini. Gegara selama meniti jejak petualang aku kerap melewati beberapa anak kali (sungai). Lalu apa hubungan mimpi dengan batu kali?

Sepintas memang tak ada hubungan ya. Mimpi di mana, batu kali di mana. Hahaha. Namun coba kita lihat batu kali yang ada di sekitar kita. Mereka memang diam. Tentu saja. Tapi dibalik itu mereka sebetulnya punya mimpi. Kok bisa? Sama kan seperti manusia. Dan sepertinya filosofinya bisa kita jadikan pelajaran berharga.

Batu kali yang tak beraturan. Liar, dan tentu saja tak memiliki ukuran yang seragam. Kalau kita perhatikan, untuk apa mereka ada di sekitar kali? Barangkali ada yang berpikir, "Lha! Ya kan sudah dari sononya begitu. Hahaha."

Betul. Pikiran itu tidak salah. Namun jika kita cermati segala yang tercipta tentu ada maksudnya bukan. Coba kita lihat, tak usah jauh-jauh ke hutan. Kita tengok kali yang ada di sekitar pemukiman. Pasti ada batu di seputaran. Walau mungkin sedikit tapi tetap ada kan?

Di antara riak kali yang tenang, mereka mencoba menciptakan gemericik nan riang. Ketika batu kali bersentuhan dengan arus sungai, seketika itu pulalah terpecah suasana berbeda namun tetap damai. Sepertinya mengajak penghuni alam agar lebih bersemangat meramaikan laju kehidupan.

Coba sejenak kita renungkan. Jikalau tak ada batu kali. Hening. Pun arus menjadi sangat kencang. Ini justru lebih membahayakan.

Apalagi jika ada manusia yang tetiba singgah. Tak ada yang aman untuk kaki berpijak. Pun malah tergelincir jatuh ke permukaan air yang tenang namun menghanyutkan.

Berbeda jika ada batu kali. Permukaan yang tak beraturan justru akan bisa menahan. Sehingga ketika dipijak tak mudah jatuh bahkan tergelincir ke permukaan air yang membahayakan.

Meski ada juga batu kali yang licin. Tapi bukan begitu seharusnya. Biasanya permukaan licin batu kali karena adanya lumut yang menyelimuti. Licin kan.

Namun sesungguhnya batu kali tak mempunyai niat menjerumuskan bahkan membahayakan. Itulah yang menjadi impian. Meski tentu ada impian lain yang belum bisa diwujudkan. Ya, batu kali tak bisa istimewa kan.

Keberadaan yang menepi kerap tak diperhatikan. Namun kehadiran batu kali tentu diharapkan. Menahan arus deras nan menghanyutkan. Menjadikan suasana sekitar menjadi lebih aman, tak membahayakan.

Manusia pun makhluk lainnya bisa dengan tenang menikmati keindahan semesta disekitarnya. Tanpa khawatirkan arus yang berbahaya. Berpijaklah pada batu kali. Dia tak kan melukai. Dan kondisi pun tetap aman terkendali.

***

Ya, begitulah kira-kira impian digambarkan. Meski terkadang jauh dari kenyataan. Pun tak semua impian dekat dengan titik pencapaian. Yakin keberadaan kita saat ini tentu lebih berharga ketimbang meraih impian yang tak mungkin dilakukan.

Lihatlah! Batu kali pun tetap merasa bahagia meski tak memiliki keberadaan yang istimewa. Namun justru keberadaan saat ini tentu memiliki makna tersendiri bagi kehidupan umat manusia.

Mimpi bisa saja ditaklukan. Namun tak semua mimpi akan jadi kenyataan.

Belajar dari filosofi batu kali. Menggapai mimpi tanpa menafikan usaha pun tetap menerima apa yang menjadi garis kehidupan. Meski keras, namun sesungguhnya tak sekeras apa yang terlihat pada catatan yang telah ditakdirkan Tuhan.

Niek~
Jogjakarta, 7 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun